JAKARTA, KOMPAS — Buruh migran asal Nusa Tenggara Timur rentan menjadi korban karena tindak pidana perdagangan orang. Sepanjang 2018 tercatat sudah ada 25 buruh migran dari NTT yang meninggal dengan beberapa penyebab tidak jelas.
Sekretaris Jaringan Buruh Migran (JBM) Savitri Wisnuwardhani mengatakan, berdasarkan data dari Balai Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI), selama delapan tahun (2011-2018) ada 243 kasus buruh migran asal NTT yang meninggal.
”Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ( BNP2TKI), pada 2017 ada 217 pekerja migran yang meninggal, sebagian berasal dari NTT,” ujarnya di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta, Senin (26/3).
Savitri menjelaskan, selama 2018 sudah ada 25 buruh migran asal NTT yang meninggal. Awal Maret ini ada tiga jenazah buruh migran asal NTT yang dikembalikan dari Malaysia, yakni Milka Boymau (46), warga Kabupaten Kupang, dan Mateus Seman (43), Manggarai Timur. Satu lagi, Timor Marso (30), warga Ende.
Selama 2018 sudah ada 25 buruh migran asal NTT yang meninggal.
Milka dilaporkan menderita pneumonia, tetapi jenazah korban penuh jahitan dan luka memar di bagian tengkuk. Mateus dilaporkan meninggal karena serangan jantung. Timor meninggal di Lahad Datu karena dilaporkan sakit malaria.
Perwakilan keluarga Milka dari Koalisi Peduli Perdagangan Orang NTT, Gregorius M Daeng, menjelaskan, ada kejanggalan dari otopsi Milka. Oleh sebab itu, pada Senin (26/3/2018) dilakukan otopsi ulang oleh pihak Kepolisian Kupang.
”Saat ini, keluarga menuntut kejelasan mengenai penyebab kematian Milka. Selain itu, Milka merupakan salah satu korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO),” katanya.
Milka berangkat ke Malaysia secara ilegal. Ia direkrut PT Sinar Kencana Waropa pada 2012. Saat itu, perusahaan ini memiliki kantor di Kupang, tetapi kini tidak ada lagi. ”Keluarga bahkan baru mengetahui keberadaan Milka di Malaysia pada 2015. Selain itu, dokumen Milka dipalsukan oleh perusahaan tersebut,” kata Gregorius.
Gregorius menjelaskan, kematian Milka juga janggal karena beberapa saat sebelum dikabarkan meninggal, Milka sempat menelepon keluarga korban. ”Tiba-tiba sambungan teleponnya terputus dan keluarga Milka ditelepon oleh majikannya di Malaysia. Majikan tersebut mengatakan bahwa Milka meninggal karena pneumonia,” ujarnya.
Pengacara publik LBH, Oky Wiratama, mengatakan, dalam pasal KUHP, kepolisian Malaysia memang berhak melakukan otopsi tanpa sepengetahuan keluarga korban. ”Kami menyayangkan hal tersebut. Seharusnya kepolisian Malaysia bisa lebih transparan dalam memberikan hasil penyidikan dan otopsi,” ujarnya.
Sebelumnya, di Kompas (21/2/2018) Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menjelaskan, sering terjadinya masalah penyiksaan terhadap TKI seperti di Malaysia menunjukkan bahwa negara tersebut belum serius untuk melanjutkan nota kesepahaman terkait perlindungan pekerja rumah tangga (PRT) dengan Indonesia.
Ia mengatakan, para majikan di Malaysia cenderung keberatan dengan isi nota kesepahaman tersebut sehingga masih enggan untuk diperbarui kendati Indonesia telah menyampaikan draf perjanjian bilateral baru sejak berakhirnya nota kesepahaman pada Mei 2016.
”ASEAN Consensus on Protection and Promotion on Human Rights of Workers yang ditandatangani oleh seluruh negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) juga harus dijadikan dasar dalam pembuatan nota kesepahaman yang baru,” kata Wahyu.
Dalam nota kesepahaman tersebut terdapat empat kewajiban utama yang harus ditunaikan oleh majikan dari Malaysia. Empat kewajiban itu adalah pekerja migran berhak memegang paspor, memperoleh hari libur, berorganisasi, dan dibayar sesuai standar upah.
Oky mengatakan, saat ini keluarga juga tidak tahu harus meminta pertanggungjawaban kepada siapa. Kepala BP3TKI Wilayah NTT Tato Tiran di Kupang, Senin (12/3/2018), mengatakan, Milka tidak berhak mendapatkan asuransi kematian dari perusahaan tempat mereka bekerja karena status mereka sebagai tenaga kerja ilegal.
Ketua Umum Setikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto mengatakan, pengawasan BP3TKI di daerah harus diperketat. Hal ini untuk mencegah agar kasus TPPO bisa dicegah. ”Indonesia menjadi salah satu negara utama TPPO karena banyak jalan tikus untuk menyelundupkan pekerja. Malaysia menjadi salah satu tempat transit awal sebelum para pekerja diberangkatkan ke Timur Tengah,” ujarnya.