JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta lebih serius lagi menggarap program-program yang bisa menyentuh langsung pada pencegahan kejahatan di ranah dalam jaringan, terutama kejahatan seksual terhadap anak yang modusnya terus berkembang.
Tidak cukup hanya dengan pendekatan program literasi digital yang hanya mengajarkan internet sehat kepada anak-anak, saat ini pemerintah harus bergerak dengan program-program yang mengajarkan anak-anak akan bahaya yang mengancam saat berinteraksi di dunia dalam jaringan.
Langkah mengedukasi anak-anak akan bahaya berinteraksi dalam jaringan (daring) mendesak dilakukan pemerintah karena dalam tiga tahun terakhir pelaku kejahatan seksual anak dengan difasilitasi oleh ”teknologi” telah memunculkan tren baru kejahatan daring. Bentuknya adalah saling share (berbagi), saling diskusi berbagai kejahatan dengan menggunakan platform jaringan media sosial, berbagi konten/foto, perangkat gim, dan berbagai aplikasi.
”Kementerian Komunikasi dan Informatika mengembangkan program literasi digital yang berisi edukasi pentingnya memberikan konten positif saat berinternet atau berselancar di dunia daring. Anak-anak diajarkan berinternet secara sehat. Namun, ini belum mampu menangkal kejahatan seksual anak di dunia daring yang bentuknya makin berkembang,” ujar Ahmad Sofian, Koordinator Nasional End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia, Minggu (25/3) di Jakarta.
Menurut Sofian, program literasi digital yang dilakukan pemerintah tidak mampu menanggulangi kejahatan seksual anak di ranah daring secara menyeluruh. Saat ini, setidaknya ada lima bentuk kejahatan seksual anak di ranah daring, yaitu pornografi anak, menggoda anak-anak untuk berbuat cabul, pemaksaan melakukan hubungan seksual anak, posting gambar tidak senonoh, dan siaran langsung kekerasan seksual daring.
”Seharusnya program literasi digital mengajarkan anak bagaimana mengenali bentuk-bentuk kejahatan seksual anak daring. Biayanya enggak mahal, tinggal mengintegrasikan program yang ada,” kata Sofian.
Regulasi penjualan ponsel
Seperti apa bentuk literasi digital yang bisa mengajarkan anak mengenali bentuk kejahatan seksual anak daring? Sofian mengungkapkan, pemerintah bisa mulai dengan membuat regulasi agar penjualan ponsel pintar harus dibatasi pada anak-anak usia di atas 14 tahun. Perusahaan telekomunikasi dan perusahaan penyedia ponsel pintar juga berkewajiban menyediakan perangkat parenting control dan memberikan edukasi tentang penggunaannya.
Penjualan ponsel pintar harus dibatasi pada anak-anak usia di atas 14 tahun.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengembangkan program pencegahan eksploitasi seksual anak di ranah daring yang berkelanjutan dengan melibatkan sektor swasta dan masyarakat. ”Program ini harus mampu mencegah terjadinya eksploitasi seksual anak daring, adanya mekanisme pelaporan yang mudah, serta respons Kementerian Kominfo yang cepat,” kata Sofian.
Pemerintah serius
Menanggapi kritik pemerintah tidak mampu menanggulangi kejahatan seksual anak di ranah daring, Menteri Kominfo Rudiantara menyampaikan, hingga kini pemerintah serius melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kejahatan seksual di ranah daring. Upaya tersebut dilakukan Kementerian Kominfo bersama kementerian/lembaga terkait, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, serta organisasi masyarakat sipil/lembaga swadaya masyarakat.
Bahkan, pekan lalu, Rudiantara mengaku telah berbicara dengan Menteri PPPA Yohana Yembise terkait kemungkinan pembatasan penggunaan ponsel bagi anak-anak usia tertentu. Namun, pembicaraan masih akan dilakukan dengan kementerian/lembaga terkait.
Sudah membahas kemungkinan pembatasan penggunaan ponsel bagi anak-anak usia tertentu.
”Kami pun melakukan penindakan di dunia maya melalui pemblokiran konten-konten negatif/seksual berkaitan anak-anak berdasarkan laporan masyarakat,” ujar Rudiantara yang mencontohkan, pihaknya pernah mengancam akan menutup perusahaan penyedia konten apabila dalam waktu 2 x 24 jam jika tidak membersihkan konten-konten asusila.
Kendati demikian, Rudiantara mengapresiasi kritik terhadap pemerintah. ”Saya belum tahu ekspektasi dan ukuran dari organisasi tersebut atau barangkali ada referensi di negara lain sehingga kami bisa mempelajarinya,” kata Rudiantara.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan menambahkan, Kemkominfo bersama dengan Kepolisian Negara RI hingga kini telah menangkap pelaku dalam jumlah yang banyak. ”Kalau daring kami bisa tangani karena ada jejak digitalnya,” ujar Semuel.
Pekan lalu, kata Semuel, Kementerian Kominfo bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bekerja sama dengan Unicef dan organisasi masyarakat sipil, seperti ECPAT, menggelar pertemuan tentang perlindungan anak di ranah daring.
”Yang harus ditangani juga justru yang offline. Kita harus bersama melakukan pendidikan sejak dini mengenai kesehatan repoduksi/pendidikan seksualitas sesuai dengan umur anak,” kata Semuel.
Yang harus ditangani juga justru yang offline.
Dalam diskusi tentang perlindungan anak di ranah daring pekan lalu, Teguh Arifiadi, Kepala Subdit Penyidikan dan Penindakan Direktur Keamanan Informasi Kemkominfo, menyatakan, pihaknya mengoperasikan mesin pengais/crawling (AIS) sebagai langkah untuk menangani konten-konten negatif di internet untuk pemblokiran situs dan konten, seperti pornografi. Tahun 2017, konten terbanyak yang diblokir adalah pornografi. ”Capaian jumlah pemblokiran meningkat signifikan dibandingkan sebelum penggunaan mesin AIS. Pada tahun 2017, Kementerian Kominfo memblokir 8.647 situs pornografi, dari total 14.795 situs yang diblokir,” katanya. (SON)