Cerita Kelu Petambak Bratasena
Empat belas tahun silam, M Muhsin (31) bersemangat saat bergabung menjadi petambak udang di PT Central Pertiwi Bahari di Desa Bratasena, Kecamatan Dente Taladas, Tulang Bawang, Lampung. Namun, terhentinya pola kemitraan antara perusahaan dan petambak plasma dua tahun lalu memaksa Muhsin dan ribuan petambak dan karyawan lain angkat kaki dari Bratasena.
”Saya keluar dari Bratasena karena tak punya modal budidaya udang mandiri,” ujar Muhsin yang pernah sepuluh tahun menjadi petambak berstatus karyawan di PT Central Pertiwi Bahari (CPB), Kamis (22/3).
Warga Desa Cabang, Kecamatan Bandar Surabaya, Lampung Tengah, sekitar 30 menit dari Desa Bratasena itu menikmati gaji Rp 1,5 juta per bulan. Ia juga mendapat bahan pokok seperti beras, minyak goreng, elpiji, dan gula. Penghasilan itu cukup untuk hidup.
Muhsin juga tidak perlu memikirkan modal budidaya udang. Kebutuhan benur, pakan, dan obat-obatan untuk udang sudah disediakan perusahaan.
Saat panen udang melimpah, Muhsin mendapatkan bonus dari perusahaan. ”Saya pernah mendapat bonus Rp 30 juta saat panen udang lebih dari 5 ton,” katanya. Namun, celakanya, saat panen gagal, petambak juga harus berutang kepada perusahaan.
Muhsin pernah menanggung utang Rp 500 juta saat udangnya terserang virus Myonecrosis (MSSV). Puluhan ton udang dibuang karena udangnya ditolak perusahaan. Sementara petambak juga tidak boleh menjual udangnya ke luar Bratasena.
”Namun, utang saya kepada perusahaan dianggap lunas saat saya keluar. Ada pemutihan utang. Sebenarnya bekerja di tambak lebih enak. Kalau ada modal, saya ingin kembali budidaya udang,” kata pria yang kini menggantungkan hidup dari sawah 0,5 hektar yang siang itu terendam banjir di Cabang.
Kondisi suram itu makin terasa ketika memasuki kawasan pertambakan udang di Desa Bratasena. Jalanan berbatu dan berlumpur. Rumput meninggi. Kawasan tambak 5.000 hektar itu ibarat perkampungan mati.
Bangunan sisa kejayaan industri tambak udang PT CPB itu kini tertutup rumput ilalang. Denyut napas hanya terlihat di pabrik pengolahan yang masih mengelola udang pasokan petambak yang ada.
Parjiman, salah satu petani plasma, telah meninggalkan tambaknya dua tahun lalu. Rumput dan perdu meninggi di tambak yang masih diliputi plastik hitam itu. Rumah karyawan di depan tambak rusak. Temboknya bolong-bolong.
”Dia (Parjiman) pulang kampung, perusahaan mengganti Rp 20 juta. Sekarang tambak ini disewakan Rp 1 juta oleh organisasi petambak,” kata Poniyo (47), petambak yang bertahan di Bratasena. ”Minimal harus ada modal Rp 40 juta untuk membuka tambak,” kata Poniyo yang bertahan karena punya lahan di luar Bratasena.
Udangnya kecil-kecil
Rudi Capah, supervisor pembelian udang di Lapak Infra Adiwerna PT CPB, mengatakan, dua tahun lalu, pembelian udang petambak mencapai 3.000 ton per bulan. ”Sekarang paling hanya 250 ton sebulan. Bulan ini malah cuma 180 ton karena udang yang kami terima kecil-kecil,” kata Rudi.
Robohnya industri tambak udang itu juga berimbas pada perekonomian masyarakat. Di Desa Pendowo Asri dan Pasiran Jaya, desa penyangga kawasan tambak udang Bratasena, kegiatan perekonomian lumpuh.
Di dua desa itu, puluhan warung dan rumah makan tutup. Ribuan kamar kos yang dulunya disewakan kini kosong.
Puluhan rumah warga juga kosong ditinggalkan penghuninya. Kantor dan mes perusahaan terbengkalai. Sejumlah fasilitas umum, seperti sekolah dan tempat ibadah, tak terurus.
Senen (37), warga Desa Pendowo Asri, mengatakan, 14 kamar kos miliknya kosong sejak empat tahun lalu. ”Dulu saya sampai nolak-nolak orang,” kata Senen.
Para petambak dan warga berharap tambak udang di Bratasena bergairah lagi. Dengan begitu, kehidupan ekonomi warga akan kembali membaik.
Hancurnya industri tambak udang di Bratasena terjadi setelah konflik antara perusahaan dan petambak plasma terjadi sekitar 2012. Saat itu, petambak yang tergabung dalam Forum Silaturahmi (Forsil) Petambak CPB menuntut perbaikan pola kemitraan dan harga jual udang. Penetapan harga pakan hingga alat produksi dinilai terlalu mahal dan tak sebanding dengan harga udang. Gagal panen membuat petambak menanggung utang selama belasan tahun.
Setelah itu, perusahaan memutuskan kemitraan dengan petambak. Perusahaan tidak lagi memberikan modal benur, pakan, ataupun obat-obatan untuk budidaya udang. Namun, perusahaan masih membeli udang dari petambak yang mengelola tambak mandiri. ”Kini kami berharap ada pola bapak angkat kepada petambak,” kata Poniyo.
Ketua Shrimp Club Lampung Ali Kuku menyesalkan berlarutnya konflik antara petambak dan PT CPB. Di tengah meroketnya harga jual udang vaname saat ini, yaitu mencapai Rp 90.000-Rp 110.000 per kilogram, industri udang di dalam negeri semestinya bangkit menyambut peluang.
”Lampung punya sarana tambak dan ada banyak petambak. Sayang jika potensi besar itu tidak dioptimalkan,” katanya.
Kondisi petambak di Bratasena berbanding terbalik dengan petambak di Kecamatan Pasir Sakti, Lampung Timur. Berkat pengelolaan dan pendampingan yang baik, ribuan petambak udang di kecamatan itu sukses membudidayakan udang vaname secara mandiri.
Imam Ashari (48), petambak udang di Desa Purworejo, Pasir Sakti, mengatakan, awalnya, petambak di kecamatan itu membudidayakan udang windu. Namun, usaha itu hancur setelah terserang penyakit jamur (white spot) pada 2013. Tepat setahun setelah runtuhnya usaha udang windu, Imam menjadi petambak udang vaname hingga kini.
(VINA OKTAVIA/AUFRIDA WISMI WARASTRI)