Pasal Tindak Pidana Agama Dinilai Justru Mengancam Kehidupan Beragama
Oleh
DD16
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehidupan beragama masih terancam dengan sejumlah pasal yang terdapat dalam naskah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agama dianggap sebagai suatu hal yang tidak bisa diukur pemidanaannya karena tidak ada ukuran yang jelas.
Adapun pasal-pasal yang dianggap bermasalah oleh sejumlah tokoh tersebut adalah Pasal 348-350 tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama dan Pasal 351-353 tentang Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah.
Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Uung Sendana, Senin (26/3/2018), mengatakan, undang-undang tentang pidana agama sangat sulit dibuktikan. Hal itu membuat negara masuk ke dalam ranah teologis yang bukan menjadi ranahnya.
”Pidana agama ini memberi peluang kepada negara untuk berteologi. Ketika delik hukum menyangkut agama, yang terjadi di pengadilan adalah percakapan kesaksian pembuktian dengan perdebatan teologis. Harusnya itu terjadi dalam lingkungan agama, bukan negara,” kata Uung, di Jakarta, dalam konferensi pers ”Pernyataan Lembaga Keumatan terhadap Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana”, Senin siang.
Selain Uung, tokoh-tokoh lain yang hadir dalam acara itu adalah Ketua Umum Niceren Syosyu Indonesia Suhadi Sendjaja; Sekretaris Eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Agus Ulahayanan; Ketua Bidang Ideologi dan Kesatuan Bangsa Parisadha Hindhu Dharma Indonesia Nyoman Udayana; dan Sekretaris Umum Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom; dan Ketua Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI Henrek Lokra.
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif KWI Romo Agus Ulahayanan mengatakan, negara memang punya kewenangan mengatur tata tertib bersama, termasuk hidup beragama. Namun, menurut dia, hal yang seharusnya diatur adalah perbuatan yang mengganggu praktik beragama.
”Pidana pada agama yang perlu diatur adalah perbuatan yang mengganggu, merusak, dan menghambat praktik beragama dari umat beragama,” kata Agus. ”Perlu perdebatan panjang. Tindakan pidana yang mengganggu dan merusak kerukunan hidup bersama beragama perlu dijadikan perhatian negara. Ini yang kami harapkan,” kata Agus.
Pidana pada agama yang perlu diatur adalah perbuatan yang mengganggu, merusak, dan menghambat praktik beragama dari umat beragama.
Menurut Agus, yang ada dalam RKUHP saat ini dapat menimbulkan persoalan, terutama apabila seseorang salah menafsirkan ajaran dalam suatu agama tanpa disengaja. Aturan tentang penghinaan atau penodaan agama dinilai Agus perlu diperluas dalam RKUHP yang sedang disusun.
”Orang yang beda tafsir, salah ungkap tafsir, tanpa sengaja bisa dipidana. Padahal, setiap orang bebas berpendapat selama tidak membangun kebencian atau merusak hubungan kehidupan bersama,” kata Agus.
Ketua Bidang Ideologi dan Kesatuan Bangsa Parisadha Hindhu Dharma Indonesia Nyoman Udayana mengatakan, agama adalah ranahnya perumatan. Setiap ajaran memiliki aturan masing-masing untuk menyelesaikan suatu persoalan.
”Di bidang agama ini adalah ranah dari lembaga perumatan. Kalau terjadi suatu hal, alangkah baiknya pemuka agama yang menyelesaikan dulu,” kata Nyoman. ”Dengan demikian, usulan ini perlu ditinjau kembali dan ditunda terlebih dahulu.”
Hal serupa diungkapkan oleh Ketua Umum Niceren Syosyu Indonesia Suhadi Sendjaja. Ia menyatakan, setiap agama memiliki niat baik. Negara seharusnya memberi pengaturan agar hubungan antaragama yang dijalin setiap warga negara berjalan dengan baik.
”Jangan sampai ada peluang untuk menyalahgunakan aturan ini oleh kepentingan lain sehingga kehidupan agama yang merupakan kehadiran yang suci ini jadi isu karena adanya pengaturan yang tidak proporsional,” kata Suhadi.
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, DPR belum mendengar ada yang mempersoalkan pasal tindak pidana itu secara utuh. Ia mengaku kesulitan untuk menanggapi seruan sejumlah tokoh agama itu tentang pasal-pasal tersebut.
”Saya belum mendengar yang mereka persoalkan secara lengkap. Jadi sulit untuk menanggapi,” ujar Arsul. ”Yang jelas, silakan diusulkan rumusan atau perbaikan rumusan. Saya kira, sepanjang tidak memaksakan sudut pandang bahwa seharusnya pasal-pasal itu dihapus, DPR terbuka untuk mendengarkan,” katanya.