RUU Perkelapasawitan Dinilai Abai pada Rakyat dan Lingkungan
Oleh
DD04
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-- Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan. Mereka menilai RUU ini cenderung mengabaikan aspek sosial, lingkungan, dan lebih berorientasi pada kepentingan investasi korporasi.
Manager Kajian dan Pembelaan Hukum Lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Even Sembiring, dalam konferensi pers “Rencana Kotor di Balik RUU Perkelapasawitan” di Jakarta, menyatakan, keberpihakan pada korporasi terlihat dari data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait luas kebun kelapa sawit di Indonesia.
Dari total luas 15,7 hektar kebun kelapa sawit di Indonesia, 68,83 persen di antaranya berada di bawah penguasaan investasi swasta, sementara hanya 28,03 persen yang dimiliki oleh rakyat.
Menurutnya, dominasi pada penguasaan investasi tersebut selama ini berdampak pada berbagai krisis yang terjadi di lingkungan perkebunan kelapa sawit, baik krisis terkait lingkungan hidup maupun sosial.
Selain itu, negara juga dirugikan jika terjadi krisis yang terjadi akibat buruknya praktik bisnis perkebunan sawit.
“Mereka (pengusaha sawit) mengklaim menyumbang devisa negara terbesar dan mensejahterakan rakyat. Padahal ketika terjadi krisis, mereka justru mengalihkan tanggung jawabnya ke pemerintah. Negara juga justru terus menerus menyubsidi perusahaan-perusahaan (sawit) besar,” ujar Even.
Walhi mengidentifikasi beberapa pasal krusial pada RUU Perkelapasawitan yang menunjukkan keberpihakan terhadap kepentingan investasi korporasi.
Pada rumusan Pasal 18 dalam RUU tersebut disebutkan, pemberian fasilitas khusus atau insentif khusus kepada penanam modal atau investasi, antara lain pengurangan pajak penghasilan badan; pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang; pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi; serta keringanan pajak bumi dan bangunan.
Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi, Khalisah Khalid, berpendapat, substansi pada pasal tersebut bertentangan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak.
Seharusnya yang mendapat kemudahan dan subsidi adalah penduduk miskin bukan perusahaan skala besar seperti ini.
Pada Pasal 97 dan Pasal 98 juga dinilai rawan disalahgunakan untuk mengkriminalisasi rakyat. Khalisah mengatakan, standardisasi perawatan, panen, dan pasca panen yang ditentukan pada RUU ini sangat sulit dipenuhi oleh pekebun mandiri skala kecil.
“Rencana legislasi undang-undang ini sekadar mengakomodir kepentingan korporasi guna memastikan adanya insentif dan hak istimewa yang sebenarnya lebih baik diperuntukkan pada rakyat ekonomi lemah,” ujar Khalisah.
Selain itu, ia menambahkan, RUU Perkelapasawitan menggunakan nilai kepastian hukum sebagai alat jaminan kelancaran modal investasi guna memastikan tujuan perolehan keuntungan serta lepas dari kewajiban lingkungan, sosial, dan budaya.
Konflik Agraria
Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Fatilda Hasibuan mengatakan, beberapa konflik tercatat akibat dampak dari dominasi investasi terhadap kebun kelapa sawit Indonesia.
Berdasarkan Konsosrsium Pembaharuan Agraria (KPA) tercatat sebanyak 450 konflik agraria terjadi sepanjang 2016. Dari jumlah tersebut, 163 konflik atau sekitar 36 persen terjadi di sektor perkebunan yang didominasi ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Dominasi konflik perkebunan kelapa sawit mencakup masalah tumpang tindih dengan wilayah kelola rakyat dan alih fungsi hutan.
Merujuk pada data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sejak 1987 hingga 2016, lebih dari lima juta hektar kawasan hutan dialihfungsikan menjadi lokasi perkebunan kelapa sawit. Posisi puncak alih fungsi kawasan ini terjadi pada 2013 dan 2014.
Khalisah menilai, alih fungsi lahan tersebut melonjak menjelang pemilu.
“Tahun ini juga sudah memasuki tahun politik, tekanan partai politik begitu besar jelang pilkada serentak dan pemilihan presiden. Kami khawatir RUU ini jadi transaksi politik untuk mengebut pembahasan dan pengesahan RUU Perkelapasawitan,” katanya.
RUU ini juga dianggap bertentangan dengan Instruksi Presiden terkait moratorium atau penundaan lahan kelapa sawit yang telah digagas sejak 2016 lalu. Untuk itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk menarik diri dari pembahasan RUU Perkelapasawitan.
“Presiden harus menolak pembahasan RUU Perkelapasawitan sehingga relevansi undang-undang ini menjadi hilang,” ujar Khalisah.
Ia menambahkah, sebaiknya Presiden dan DPR RI lebih fokus pada perbaikan kelemahan UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
UU tersebut juga dinilai memiliki permasalahan terkait keberpihakan pada rakyat dan lingkungan. Pemerintah juga didesak untuk mempercepat reformasi agraria untuk mewujudkan keadilan bagi rakyat dan menyelesaikan ketimpangan penguasaan lahan.