JAKARTA, KOMPAS -- Transplantasi ginjal mampu meningkatkan harapan hidup dan kualitas hidup penderita kerusakan ginjal yang mengalami kegagalan fungsi organ. Namun, pasien tetap harus waspada sebab risiko mengalami rejeksi atau penolakan organ cukup tinggi. Pencegahan dan deteksi dini menjadi kunci meminimalkan dampak terjadinya rejeksi.
Jumlah penderita penyakit ginjal kronik di Indonesia hampir 100.000 orang, 25.000 di antaranya mengikuti program dialisis atau cuci darah. Namun, yang tertangani dialisis hanya 10.000-an dan yang melakukan transplantasi ginjal hanya sekitar 15 persen.
Mereka yang transplantasi ginjal, sebanyak 70 persen berisiko mengalami rejeksi. Dari 70 persen ini, sebanyak 40 persennya biasanya mengalami rejeksi akut (mendadak dan cepat memburuk) dan 30 persennya mengalami rejeksi kronik (menahun).
“Rejeksi bisa terjadi beberapa saat setelah transplantasi, bisa juga setahun sesudahnya, bahkan tujuh tahun. Pasien transplantasi ginjal bisa dikatakan aman dari risiko rejeksi apabila sudah berhasil hidup dengan ginjal barunya lebih dari 10 tahun,” kata dokter spesialis penyakit dalam RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Maruhum Bonar Marbun, dalam seminar bertajuk Kenali Ciri-ciri Gejala Rejeksi Ginjal pada Pasien Transplantasi yang diselenggarakan Yayasan Komunitas Cangkok Ginjal Indonesia di Jakarta, Sabtu (24/3).
Kenali perubahan
Menurut Bonar, rejeksi terjadi karena sistem imun tubuh pasien akan mengenali ginjal yang ditransplantasikan sebagai benda asing sehingga memicu reaksi penolakan. Gejala rejeksi antara lain merasa tidak nyaman, demam, nyeri pada ginjal transplantasi, atau produksi urin berkurang.
Gejala lain, tekanan darah tidak terkontrol. Akan tetapi, banyak kasus rejeksi tidak menunjukkan gejala klinis dan hanya terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium secara rutin.
Oleh karena itulah, pasien harus waspada, mengenali perubahan yang terjadi, serta rajin kontrol. Hal itu merupakan upaya deteksi dini terjadinya rejeksi. Semakin dini terdiagnosa rejeksi, diharapkan semakin mudah penanganannya dan semakin besar peluang keberhasilannya.
Untuk mencegah terjadinya rejeksi, lanjut Bomar, orang dengan transplantasi ginjal diwajibkan minum obat imunosupresan. Kepatuhan minum obat sesuai dosis penting sebab sangat menentukan keberhasilan pengobatan. Pasien dilarang keras mengubah dosis atau jenis obat alias menjadi ‘dokter’ untuk diri sendiri sebab dapat berakibat fatal.
“Hal lain yang harus dilakukan adalah menjalankan pola hidup sehat melalui konsumsi makanan bergizi seimbang, minum air putih sesuai anjuran, dan berolahraga karena dapat mengontrol berat badan serta mengurangi tekanan pikiran,” ucap Bomar.
Presiden Yayasan Komunitas Cangkok Ginjal Indonesia Supriyanto mengatakan, transplantasi memungkinkan pasien memulihkan kembali kehidupannya termasuk aktivitas ekonomi. Namun transplantasi ginjal merupakan metode pengobatan gagal ginjal yang paling sedikit ditempuh karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat.
“Selain itu, mahalnya biaya tindakan transplantasi ginjal dan sulitnya mencari donor ginjal yang cocok, kerap menjadi hambatan,” ujar Supriyanto.
Meski berisiko terjadi rejeksi, pasien transplantasi ginjal tidak boleh patah semangat. Banyak pasien yang berhasil melalui masa-masa rawan sehingga bisa hidup dengan transplantasi ginjal hingga bertahun-tahun. Salah satunya Leo yang sudah 37 tahun lebih merasakan manfaat transplantasi ginjal.
Pasien transplantasi ginjal bisa memulihkan kehidupan pribadinya, kehidupan sosial, dan tetap produktif bekerja hingga usia pensiun. Tentu semua itu sangat ditentukan oleh kepatuhan mereka dalam menjalani pengobatan dan menerapkan pola hidup sehat.