20 Tahun Memori Kelam Krisis Moneter (1)
Genap dua puluh tahun sudah Indonesia melewati krisis ekonomi atau lebih akrab di telinga masyarakat dengan sebutan krisis moneter. Dari peristiwa itu, pemerintah dan seluruh warga negara bisa mengambil hikmah bahwa krisis ekonomi bisa merembet ke ranah politik yang bisa memicu gejolak dan konflik sosial di masyarakat.
Krisis moneter atau krismon 1998 dikenal masyarakat dengan jebloknya kurs rupiah terhadap dollar AS hingga titik terendah sepanjang sejarah Indonesia. Pada 17 Juni 1998, kurs rupiah di pasar uang spot antarbank Jakarta ditutup pada Rp 16.900 per dollar AS. Bahkan, saat perdagangan pada 22 Januari 1998, rupiah menyentuh level Rp 17.000 per dollar AS (Kompas, 18 Juni 1998).
Padahal, sebelum krismon melanda Indonesia, kurs rupiah terhadap dollar AS pada Juni 1997 masih di kisaran Rp 2.441 per dollar AS. Artinya, hanya dalam satu tahun, kurs rupiah anjlok 690 persen atau lebih dari enam kali lipat dari posisi semula.
Pertumbuhan ekonomi berdasarkan produk domestik bruto (PDB) 1998 minus 13,1 persen. Sektor konstruksi yang paling terpukul dengan pertumbuhan minus 36,4 persen, disusul sektor keuangan, sewa, dan jasa dengan pertumbuhan minus 26,6 persen. Sektor lain, seperti pertanian, pertambangan, dan perdagangan, juga mencatat pertumbuhan minus.
Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, yakni 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 triliun menjadi Rp 196 triliun pada awal Juli 1998 (Kompas, 21 Desember 1998).
Pendapatan per kapita per tahun yang mencapai 1.155 dollar AS tahun 1996 dan 1.088 dollar AS tahun 1997 menciut menjadi 610 dollar AS tahun 1998. Sebanyak dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik (Kompas, 21 Desember 1998).
Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997.
Sebanyak 20 juta orang atau 20 persen dari angkatan kerja saat itu menganggur. Angka pengangguran tersebut merupakan yang terbesar sejak 1960-an.
Pada saat bersamaan, mengutip data Bank Indonesia (BI), inflasi pada 1998, meroket di angka 77,6 persen. Padahal, tahun sebelumnya, inflasi hanya 4,7 persen (Kompas, 21 Desember 1998)
Akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kenaikan harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk (Kompas, 21 Desember 1998).
Dampak dari data itu di lapangan adalah munculnya kerusahan sosial yang tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi, tetapi juga menimbulkan gejolak sosial. Toko-toko diserbu dan dijarah. Warga bergerak liar mengambil kebutuhan pokok dan barang-barang khawatir harga akan terus melonjak.
Kerusuhan sosial, krisis moneter, ditambah desakan dari mahasiswa dan berbagai element masyarakat saat itu bahkan mampu melengserkan Presiden Soeharto yang telah 32 tahun berkuasa pada 21 Mei 1998.
Gubernur Bank Indonesia 1993-1998 Soedradjad Djiwandono dalam artikel ”Kecil Itu Indah: Pendekatan Eklektik untuk Memerangi Inersia”, yang tertulis dalam buku 80 Tahun Mohammad Sadli: Ekonomi Indonesia di Era Politik Baru (2002), mengatakan, krisis ekonomi itu menular ke bidang lain dan menjadi krisis nasional.
”Melalui suatu proses dengan dampak penularan kejutan finansial meluas, melanda perbankan, kemudian kegiatan investasi, produksi, perdagangan, konsumsi sektor riil, sehingga seluruh perekonomian nasional mengalami krisis. Akhirnya, krisis ekonomi ini berlanjut mengenai sektor sosial, politik, sehingga proses ini menimbulkan krisis menyeluruh dan multidimensi,” ujar Djiwandono.
Tidak diduga
Krismon itu seakan menghapuskan catatan pertumbuhan ekonomi yang apik dalam dua dekade sebelumnya. Kedatangan badai krisis moneter itu tidak diduga sebab perekonomian Indonesia begitu menjanjikan.
Mengutip data Bank Dunia yang dirilis 1997, pada periode 1986-1996 pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 6,1 persen. Inflasi Indonesia juga terjaga rata-rata pada 9 persen.
”Ekonomi Indonesia pada waktu itu berada pada puncak economic boom. Siapa menyangka dalam beberapa bulan berikutnya Indonesia akan terkena krisis yang terdalam sejak 30 tahun terakhir,” ujar Boediono, wakil presiden periode 2009-2014, dalam bukunya Ekonomi Indonesia: Dalam Lintasan Sejarah (2016).
Krisis ekonomi Indonesia saat itu berawal dari melemahnya nilai tukar baht di Thailand pada pertengahan 1997. Untuk menahan pelemahan lebih lanjut, Pemerintah Thailand mengeluarkan kebijakan sistem kurs mengambang baht pada awal Juli 1997. Sejak itu, modal asing keluar secara besar-besaran dari Asia yang mengakibatkan pelemahan nilai tukar uang di kawasan ini, termasuk Indonesia.
Gubernur Bank Indonesia saat itu, Soedradjad Djiwandono awalnya yakin pelemahan nilai tukar baht itu tak bakal berdampak banyak ke Indonesia. ”Tidak ada,” kata Soedradjad di Jakarta, Minggu (18 /5), mengenai pengaruh krisis baht terhadap nilai tukar rupiah (Kompas, 19 Mei 1997).
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, krisis ekonomi adalah salah satu periode terkelam dalam sejarah Indonesia. ”Periode terburuk dalam perekonomian kita,” ujar Hariyadi akhir pekan lalu.
Berbagai upaya
Respons pertama Bank Indonesia saat itu adalah memperlebar rentang intervensi pasar dari 8 persen (+/- 4 persen dari kurs tengah BI) menjadi 12 persen (+/- 6 persen dari kurs tengah BI). Kurs intervensi dollar AS menjadi Rp 304 dari sebelumnya Rp 192. Kurs intervensi untuk batas bawah menjadi Rp 2.374 dari sebelumnya Rp 2.430 per dollar AS, sedangkan batas atas menjadi Rp 2.678 dari sebelumnya Rp 2.612 per dollar AS (Kompas/14 Juli 1997).
Perlebaran rentang intervensi dimaksudkan gelontoran devisa dari BI menemukan ruang yang lebih luas sehingga diharapkan bisa membuat kurs rupiah bisa menemukan titik keseimbangan barunya.
Namun, rupanya kurs tetap terguncang. Boediono mengatakan, langkah-langkah itu seharusnya sudah dapat meredam gejolak kurs. Namun, pasar tidak juga tenang dan kurs terus menekan batas intervensi.
Pelebaran rentang intervensi dimaksudkan gelontoran devisa dari BI menemukan ruang yang lebih luas sehingga diharapkan bisa membuat kurs rupiah bisa menemukan titik keseimbangan barunya.
Demi menjaga agar devisa tidak terkuras hanya untuk intervensi, pada 13 Agustus 1997, BI mengubah sistem intervensi dari sistem kurs mengambang terkendali (managed floating) menjadi sistem kurs mengambang penuh (fully floating). Selain untuk menjaga agar jumlah cadangan devisa tetap terjaga, kebijakan ini diharapkan dapat mendorong rupiah mencapai titik kesimbangan baru atau ekuilibrium.
Ternyata yang diharapkan itu tak terwujud. Rupiah terus melemah dan tak kunjung menemukan titik kestabilannya. Menurut Boediono, yang juga mantan Gubernur BI, dalam situasi tidak normal atau panik, mekanisme penyesuaian posisi titik keseimbangan penawaran dan permintaan untuk mencapai ekuilibrium baru juga tidak normal.
Hal ini karena, kata Boediono, kesimbangan baru tidak tercapai hanya dengan membebaskan penawaran dan permintaan yang menjadi hakikat floating system.
Pada waktu itu, merosotnya nilai rupiah justru mendorong warga mengambil kesempatan membeli dollar yang makin menurunkan pasokan dollar AS di pasaran yang malah membuat kurs rupiah makin melemah. Saat itu merebak kekhawatiran warga bahwa rupiah semakin tidak ada artinya sehingga mereka harus memburu dollar.
”Pelajaran yang bisa diambil adalah yang harus dilakukan itu mengobati sumber-sumber penyebab kepanikan, yaitu menstabilkan psikologi pelaku pasar,” ujar Boediono.
Namun, mencari sumber kepanikan saat itu tidaklah mudah. Boediono menjelaskan, adanya jeda waktu informasi antara data yang dihimpun dan kondisi riil di lapangan yang bergerak dinamis serta cepat membuat pengambil kebijakan kesulitan melihat permasalahan secara utuh saat itu.
Pemerintah terus berupaya mengeluarkan kebijakan untuk meredam pelemahan kurs, kali ini dengan menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 11,65 persen menjadi 30 persen.
Rupanya, pengetatan moneter ini ternyata mempunyai dampak sampingan, yaitu membuat perbankan kekurangan likuiditas akut. Pemborongan dollar mengakibatkan penarikan besar-besaran simpanan rupiah dari bank oleh nasabah untuk dibelikan dollar.
Kekeringan likuiditas ini kemudian coba ditangkal BI dengan mengaktifkan perannya sebagai pemberi pinjaman lini terakhir atau lender of the last resort. Inilah awal dari kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Saat itulah keburukan dunia perbankan Indonesia terungkap. Rupanya banyak sekali perbankan yang tata kelolanya buruk.
Menurut pemberitaan Kompas, 25 September 1997, BI menyuntikkan dana untuk 20 bank yang kesulitan dana menyusul krisis likuiditas selama gejolak kurs berlangsung.
Kriteria bank yang disuntik dana oleh BI itu adalah bank yang karena siklus bisnis sementara tak mampu memenuhi berbagai kewajiban jangka pendek. Namun, yang jelas, bank itu masih memiliki kinerja yang relatif bagus dan berpotensi untuk sehat kembali.