JAKARTA, KOMPAS — Gagasan pemerintah untuk meluncurkan kredit lunak pendidikan bagi mahasiswa patut disambut sebagai keberpihakan terhadap mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah. Namun, tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana mengontrol penggunaan dan pengembalian dana tersebut kelak.
Membenahi sistem kependudukan dan menempatkan perguruan tinggi sebagai penjamin bisa disebut solusi awal menjawab tantangan tersebut. Indonesia bisa mencontoh pengalaman negara lain sebagai acuan membuat skema pinjaman, seperti Taiwan dan Singapura.
Deputi Direktur Bidang Pendidikan Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taiwan untuk Indonesia Tony Lee, Senin (26/3/2018), mengatakan, persyaratan bagi mahasiswa untuk mengambil kredit lunak di bank ialah terdaftar sebagai warga Taiwan. ”Pelamar juga wajib memiliki identitas mahasiswa, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta,” katanya melalui surat elektronik di Jakarta.
Syarat yang kedua ialah mahasiswa tersebut tidak menerima beasiswa dalam bentuk apa pun dari pemerintah, yayasan, dan lembaga-lembaga lain. Mahasiswa juga harus menyertakan bukti berkelakuan baik dan tidak memiliki jejak rekam menunggak utang.
Menurut Lee, kredit lunak juga diberikan apabila mahasiswa harus mengikuti pelatihan atau pertukaran pelajar ke luar negeri. Pengembalian utang dicicil ketika mahasiswa sudah lulus dan memasuki dunia kerja. Besar cicilan tergantung dari kesepakatan dengan bank pemberi pinjaman dan jumlah gaji yang diterima peminjam. Adapun bunga yang harus dikembalikan ialah 0,15 persen dari pinjaman.
Sementara itu, Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Singapura untuk Indonesia Khairul Azman bin Rahmat mengungkapkan, di negaranya, jumlah kredit pinjaman ditentukan oleh tiap-tiap bank. Salah satu contoh, Bank DBS melalui situs resminya menyebutkan, yang bisa mengakses kredit lunak itu selain warga negara Singapura adalah penduduk permanen dan warga negara asing. Syaratnya, ada penjamin yang merupakan warga negara Singapura.
Sistem terintegrasi
Tentang pentingnya sistem kependudukan yang terintegrasi sebelumnya dilontarkan oleh pengajar Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Zaafri Husodo (Kompas, 21/3). Dia mengingatkan, nomor induk kependudukan semestinya otomatis terhubung dengan nomor rekening bank, nomor induk mahasiswa, nomor pokok wajib pajak, dan nomor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
”Dengan demikian, pergerakan seseorang bisa dipantau pemerintah. Jika individu tersebut mangkir dari kewajiban membayar utang, layanan kesehatan, transportasi, ataupun izin pergi ke luar negeri dapat ditangguhkan,” ujar Zaafri.
Pemerintah diharapkan segera merumuskan kebijakan pinjaman lunak untuk memperluas akses ke pendidikan tinggi. Agar pinjaman itu terkontrol, sistem kependudukan harus apik.
Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Intan Ahmad meyakini, kredit pendidikan (student loan) baik untuk membantu mahasiswa dan perguruan tinggi. Saat ini, setiap perguruan tinggi menempuh berbagai upaya untuk membantu mahasiswa yang kesulitan biaya, termasuk memberikan beasiswa yang bersumber dari alumni dan swasta.
”Untuk student loan, kami sebenarnya pernah mempunyai pengalaman dengan kredit mahasiswa Indonesia. Jika skemanya baik, akan menjadi salah satu solusi untuk membantu para mahasiswa yang kesulitan membiayai kuliah mereka,” kata Intan.
Rektor Universitas Pertamina Akhmaloka mengatakan, mahasiswa yang ada kendala finansial untuk kuliah dicarikan beasiswa. Ada juga yang diberi kerja paruh waktu di Universitas Pertamina. ”Ada juga mahasiswa yang mau pinjam ke kami, tetapi, ya, kami bukan bank. Anak-anak seperti ini mungkin baik bisa pinjam lewat student loan,” ujarnya.
Rektor Universitas Tanjungpura Thamrin Usman mengatakan, mahasiswa yang kesulitan finansial sebagian besar terbantu dengan beasiswa Bidikmisi. Sumber dana lain, seperti yang didapat dari tiap aset universitas yang disewa oleh pihak lain, juga bisa dipakai untuk memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang tidak mampu.