Dampak Pemberlakuan Undang-undang Harus Jadi Pertimbangan
Oleh
DD16
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dampak terhadap pemberlakuan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana harus turut menjadi pertimbangan oleh DPR dan pemerintah dalam merumuskan undang-undang tersebut. Pembahasan harus dilakukan secara matang dan mendalam.
Pengajar hukum dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menyampaikan, secara substansial, dalam pembahasan yang tengah berlangsung masih banyak pasal yang belum bisa diputuskan.
”Banyak pasal yang belum disepakati. Kita tidak hanya bicara satu pasal. Dari segi substansi, apakah dampaknya sudah dipikirkan? Misal reformasi lembaga pemasyarakatan,” ujar Bivitri, di Jakarta, Selasa (27/3/2018).
Ia khawatir lembaga pemasyarakatan tak muat menampung orang lagi mengingat banyak pasal tambahan yang memicu seseorang untuk dipidana. ”Hukum pidana bukan satu-satunya jalan untuk memperbaiki moral masyarakat,” kata Bivitri.
Adapun pasal-pasal yang masih menuai perdebatan terkait dengan ancaman terhadap kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan kriminalisasi berlebih terhadap perempuan, termasuk pada korban kekerasan seksual. Ranah pribadi warga turut dijangkau oleh RUU itu. Hal tersebut menyebabkan penolakan dari sejumlah pihak (Kompas, 10/3/2018).
Di satu sisi, Bivitri menyetujui pengubahan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU HP). Syaratnya adalah pengubahan itu harus relevan dan ada substansi yang cukup baik.
Di tempat yang sama, ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, sebenarnya hukum pidana di Indonesia sudah maju. Hal itu ditunjukkan melalui adanya hukum pidana yang diatur secara khusus, seperti tindak pidana korupsi, terorisme, hak asasi manusia, dan narkoba.
Abdul menyebutkan, melalui RUU HP, ada upaya untuk menyatukan hukum pidana menjadi satu buku. Penyatuan itu dikhawatirkan membuat konsekuensi dari status suatu hukuman dari khusus ke umum.
”Harus ada prinsip harmonisasi dan tidak ada pertentangan dengan undang-undang yang lain. Ketika masuk dalam KUHP, ada tindak pidana umum. Artinya, degradasi dari status tindak pidana khusus menjadi tindak pidana umum,” tutur Abdul.
Ia menyatakan, penyatuan itu dapat mengakibatkan peran-peran lembaga yang aktif dan berkaitan dengan UU khusus, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Narkotika Nasional.
”Akhirnya, konsekuensinya jadi biasa-biasa saja. Nanti menghapus peran-peran lembaga yang aktif di sana. Dalam konteks harmonisasi itu, harus dipikirkan secara cermat agar tidak meminggirkan undang-undang yang sudah ada,” ujar Abdul.
Anggota Komisi III DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, mengatakan tidak ingin terburu-buru mengesahkan RUU tersebut. Menurut dia, RUU yang sedang dibahas itu harus menyerap aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat.
”Polemik ini harus disikapi secara positif. Ada penolakan berarti denyut nadi rakyat bergerak,” kata Nasir. ”Pembentuk KUHP, dalam hal ini DPR dan pemerintah, berusaha semaksimal mungkin agar ini menjadi karya agung.”
Bivitri juga mempertanyakan keseriusan anggota Dewan dalam pembahasan RUU itu. Ia menilai, kerap kali peserta sidang dalam pembahasan RUU itu sangat sedikit.
”Keseriusan anggota Dewan untuk membahas undang-undang ini dipertanyakan. Ketika sidang, terkadang yang hadir hanya lima orang. Ini jadi pertanyaan, apakah itu proses legislasi yang baik bagi undang-undang yang jumlahnya lebih dari 700 pasal,” lanjut Bivitri.
Menanggapi hal itu, Nasir mengatakan, kinerja Panitia Kerja (Panja) KUHP memang belum sempurna. Hal itu karena dijadikannya anggota suatu panja menjadi anggota panja pada bahasan lain.
”Memang belum sempurna kerja-kerja di Panja KUHP karena memang anggota panja terlibat di panja lain sehingga kadang-kadang lowong,” ujar Nasir.