Indonesia Masih Kalah dari Malaysia
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia justru kalah dari Malaysia sebagai negara Muslim tujuan wisata halal.
Berdasarkan Global Muslim Travel Index tahun 2017, Indonesia menduduki peringkat ketiga untuk tujuan destinasi pariwisata dalam kategori negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Peringkat pertama diduduki Malaysia dan diikuti Uni Emirat Arab.
Laporan tersebut juga menyebutkan, diperkirakan terdapat 121 juta wisatawan Muslim di dunia pada tahun 2016. Jumlah tersebut dinilai akan meningkat menjadi 156 juta wisatawan pada 2020, dengan total biaya perjalanan mencapai 220 miliar dollar AS.
Dosen Manajemen Pariwisata Fakultas Ekonomi Universitas Sahid serta anggota Tim Percepatan Pengembangan Wisata Kuliner dan Belanja Kementerian Pariwisata Ismayanti, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (27/3/2018), menyatakan, posisi tersebut membuat Indonesia akan semakin terpacu untuk menata pariwisata menjadi lebih baik.
”Indonesia memang masih terkendala dalam pemenuhan beberapa kriteria. Ditambah lagi, masih adanya ketidakterpaduan di antara berbagai pihak,” lanjut Ismayanti.
Dalam riset tersebut, Indonesia memperoleh skor 72,6. Tiga indikator terendah Indonesia berada pada jumlah kedatangan wisatawan mancanegara (17,8 poin), konektivitas udara (46 poin), dan destinasi liburan keluarga (55,1 poin).
Dibandingkan dengan Malaysia yang memperoleh skor 82,5, negara jiran tersebut memiliki indikator terendah pada jumlah kedatangan wisatawan mancanegara (59,6), destinasi liburan keluarga (63,7), dan konektivitas udara (67 poin). Permasalahan yang dihadapi kedua negara relatif sama.
”Masih ada yang berasumsi karena Indonesia mayoritas merupakan Muslim, maka tanpa label halal pun sudah pasti halal,” ujarnya. Pemikiran tersebut justru perlu dihilangkan karena wisatawan membutuhkan suatu kepastian akan suatu produk ataupun jasa.
Halalnya sesuatu dinilai tidak terbatas untuk barang yang dikonsumsi, tetapi juga gaya hidup. Halal juga termasuk dalam menjaga kebersihan toilet dan tempat umum. Ismayanti menilai, hal tersebut belum diterapkan di Indonesia.
Negara dengan mayoritas non-Muslim juga mulai menekankan wisata halal. Taiwan, misalnya, berusaha memperkenalkan citra sebagai negara yang ramah terhadap wisatawan Muslim, dengan menekankan ketersediaan masjid, mushala, dan hotel tanpa bar. Hal senada dilakukan oleh Jepang dan Korea.
Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2016 menyebutkan, jumlah angka kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia melebihi 10 juta orang. Akan tetapi, angka tersebut masih rendah jika dibandingkan dengan Singapura yang di atas 15 juta orang, Malaysia 25 juta orang, dan Thailand sekitar 30 juta orang.
Menurut Direktur PT Info Media Digital Burhan Solihin dalam diskusi ”Menggali Potensi Bisnis Startup pada Sektor Pariwisata”, di Jakarta, Selasa, Indonesia dapat mengembangkan tujuh kategori pariwisata, yaitu wisata lingkungan, agama, bisnis, amal, budaya, petualangan, serta pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran (MICE). Pengembangan ditujukan untuk menarik minat wisatawan luar negeri.
”Potensi tersebut dapat dikembangkan perusahaan rintisan Indonesia dalam sektor-sektor tersebut,” ujar Direktur PT Info Media Digital (Tempo.co), perusahaan rintisan yang bergerak di bidang bisnis media digital dan penjualan daring (e-dagang), itu.
Beberapa contoh perusahaan yang menawarkan liburan dengan perspektif yang baru adalah BlackJet, perusahaan asal Amerika Serikat yang menyediakan jasa pelayanan pesawat jet pribadi.
Selain itu, terdapat Triposo, perusahaan rintisan asal Belanda yang menyediakan referensi hotel, transportasi, tempat makan, wisata malam, dan pemandangan.
Adapun Tingo, anak perusahaan Trip Advisor asal Amerika Serikat, menyediakan jasa pencarian hotel murah. Uang yang telah dibayarkan akan secara otomatis dikembalikan ketika harga hotel turun.
CEO Goodway Vacation Club, perusahaan yang menyediakan jasa akomodasi berlibur, Andrew Soejanto menambahkan, perusahaan rintisan tidak perlu takut untuk terjun ke bisnis pariwisata. Pelaku usaha juga harus mampu menerima saran dan kritik.
”Bisnis pariwisata sudah ada sejak dulu. Tetapi, kemajuan teknologi dapat membantu kita melihat dari perspektif yang baru,” katanya.
Berdasarkan pengalamannya, liburan yang diinginkan bukan hanya sekadar tiket, tur, dan lokasi. Pengalaman dan koneksi antarmanusia merupakan hal yang juga penting.