Kewajiban Deklarasi Pemilik Akan Ungkap Otak Kasus Pencucian Uang
Oleh
DD06
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan presiden yang mewajibkan deklarasi pemilik manfaat korporasi atau beneficial owner dinilai dapat membantu pencegahan dan penegakan tindak pidana pencucian uang. Hal itu dapat mengungkap aktor pencucian uang yang selama ini bersembunyi di balik korporasi. Meski demikian, belum ada sanksi jelas bagi korporasi yang melanggar.
Kewajiban korporasi itu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilikan Manfaat dari Korporasi. Perpres yang diterbitkan awal Maret itu bertujuan untuk mengetahui pemilik manfaat sebenarnya dari korporasi.
Untuk membahas efektivitas peraturan tersebut, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengadakan acara diseminasi, Selasa (27/3/2018), di Hotel Grand Mercure, Jakarta.
Acara itu dihadiri Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM Cahyo Rahadian Muhzar, serta Kepala Grup Penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Otoritas Jasa Keuangan Heni Nugraheni.
Laode mengatakan, peraturan itu dapat membantu pemberantasan dan pencegahan tindak pidana pencucian uang (TPPU). KPK akan lebih optimal dalam penelusuran aset koruptor TPPU yang disembunyikan. Di sisi lain, akan berfungsi untuk mencegah karena mempersulit penyembunyian aset hasil korupsi.
”Dengan adanya peraturan itu, seluruh perusahaan bisa transparan siapa pemiliknya. Pemilik manfaat itu kadang tidak ada nama-namanya, tidak tercantum resmi pada perusahaan. Tetapi, mereka bisa mengendalikan perusahaan seperti remote control dan sangat berkuasa,” tutur Laode.
Kiagus menyebutkan, kejahatan pencucian uang melibatkan harta kekayaan yang sangat besar. Kejahatan itu kerap menggunakan korporasi untuk menyembunyikan identitas asli pelaku dan aset korupsi. ”Ini dimanfaatkan sebagai kendaraan untuk pencurian uang,” ucapnya.
Pelaku TPPU yang terjerat oleh KPK adalah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Dia diketahui memiliki 38 perusahaan yang digunakan untuk pencucian uang selama menjabat anggota DPR.
Nama besar lainnya adalah terdakwa kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik, Setya Novanto, yang terindikasi merupakan pemilik manfaat dari perusahaan peserta lelang KTP-el, PT Murakabi Sejahtera.
Dengan kehadiran perpres ini, korporasi wajib mendeklarasi, menilai, memverifikasi, dan menyatakan pemilik manfaat itu. Pemilik manfaat yang dimaksud adalah orang-perorangan yang memiliki kemampuan untuk menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada korporasi.
Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menilai, sering kali sopir atau tukang kebun pemilik manfaat yang ditunjuk menjadi direktur atau pendiri perusahaan. Akan tetapi, pemilik itu sendiri tidak muncul ke permukaan.
Firdaus berharap perpres itu menambah lengkap dan jelas instrumen hukum untuk memperkuat pencegahan dan pemberantasan TPPU. ”Ini yang kita harapkan menjadi pegangan untuk membuka siapa orang di balik entitas sebuah perusahaan,” lanjutnya.
Data PPATK pada 2015 menyebutkan, tingkat ancaman TPPU yang dilakukan korporasi mencapai angka 7,1. Ancaman itu lebih besar dibandingkan TPPU oleh perorangan dengan angka 6,74.
Perjelas aturan
Meski demikian, Firdaus mengatakan, perpres itu tidak cukup tanpa ada teknis pelaksanaannya. Untuk itu, perlu ada kejelasan terkait kewenangan lembaga yang akan menjalankan perpres itu. Sanksi pun harus diperjelas bagi korporasi yang tidak patuh.
”Perpres ini mewajibkan membuka pemilik manfaat. Pertanyaannya, kalau korporasi tidak mau membuka, apa sanksinya? Apakah dikenai aturan keterbukaan informasi publik atau apa? Dan, apakah korporasi bisa dikenai pidana? Ini perlu diperjelas,” kata Firdaus.
Selain itu, sanksi tersebut juga perlu dibuat standardisasi. Hal itu untuk menciptakan perlakuan yang sama. ”Teknis dan koordinasi lembaga harus jelas. Jangan hanya punya instrumen hukum, tetapi tidak bisa dikerjakan,” ucap Firdaus.
ICW berharap, dalam jangka panjang, perpres itu bisa dikembangkan menjadi peraturan pemerintah atau undang-undang. Ini karena undang-undang bisa menjangkau seluruh persoalan teknis, dari pajak hingga pencucian uang. Adapun kewajiban deklarasi pemilik manfaat dalam undang-undang sudah diaplikasikan di Inggris.
Sementara itu, Kiagus menuturkan, sanksi akan diserahkan pada aturan kementerian dan lembaga masing-masing, seperti aturan OJK. Ini karena perpres tidak bisa mengatur sanksi.
Adapun sistem dan teknisnya akan dibicarakan dengan kementerian dan lembaga yang berkaitan. ”Ini sedang dimulai (pembicaraannya). Saya tidak bisa menargetkan kapan rampung karena berdasarkan tiap-tiap kementerian,” ujar Kiagus.