Program Listrik dan Air Bersih, Pejabat Harus Menjadi Pelayan
Menjadi pejabat berkonsekuensi menjadi pelayan masyarakat. Sebagai pelayan, pejabat dipastikan harus banyak blusukan; harus terus-menerus mengunjungi masyarakat dan mendengar apa kebutuhan mereka.
”Terima kasih bapak, kami sudah menikmati lampu listrik. Kami mau minta sumur bor, bapak, karena selama ini kami harus membeli air bersih dengan perahu menerjang gelombang,” ujar tokoh yang mewakili 287 kepala keluarga (KK) yang mendiami Pulau Buaya, Alor Barat Laut, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu (24/3/2018) siang waktu setempat.
Ungkapan kebutuhan ini muncul saat video conference dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan yang berada di Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, Sabtu siang itu.
Warga Pulau Buaya baru saja menikmati pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang merupakan bagian dari Program Indonesia Terang (PIT) yang dikembangkan sejak dicanangkan Menteri ESDM di Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat, 21 April 2016.
PLN diakui terus melakukan pemasangan jaringan transmisi untuk pengadaan listrik hingga berbagai pelosok Indonesia. Namun, tak dapat dimungkiri juga jaringan ini diyakini masih akan jauh untuk menjangkau Pulau Buaya. Dengan kehadiran PLTS dari program pengembangan energi baru terbarukan (EBT) Kementerian ESDM, kini warga pulau itu dapat menikmati listrik.
Air bersih segera diatasi dengan pemasangan sumur bor. Badan Geologi ESDM diminta segera melakukan pengadaan sumur bor di Pulau Buaya.
Listrik yang kini dinikmati warga Pulau Buaya karena adanya upaya mendorong tingkat rasio elektrifikasi di sejumlah daerah di Tanah Air yang masih jauh dari rasio nasional yang saat ini sudah sekitar 98 persen.
Dari data yang ada, rasio elektrifikasi di NTT termasuk yang masih rendah, yakni rata-rata sekitar 65 persen. Rasio ini tak berbeda jauh dengan rasio di Provinsi Papua.
Pemerintah Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagaimana dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bertekad menjadikan rasio elektrifikasi nasional pada akhir tahun 2019 mencapai di atas 96,6 persen.
Sangat ideal jika rasio menyentuh 100 persen. Karena itu, segala kekuatan dari PLN dikerahkan untuk membangun pembangkit, meluaskan jaringan transmisi agar menjangkau desa-desa yang selama ini masih gelap gulita tanpa listrik.
Hanya saja, upaya pemerintah melalui PLN tidak semudah membalik telapak tangan. Sebagaimana di NTT, menurut Gubernur NTT Frans Lebu Raya, desa-desa yang belum dilayani listrik dari pembangkit PLN ini tersebar luas, tetapi terpencil dan dengan akses yang terbatas.
Seperti Pulau Buaya, akses hanya dapat dicapai dengan perahu atau kapal. Demikian pula sejumlah desa lainnya berada di balik bukit dan gunung yang menjulang.
”PLN memerlukan kerja ekstrakeras untuk bisa membangun transmisi hingga menjangkau desa-desa ini. Belum lagi tidak tersedianya tenaga manusia lokal yang bisa menjadi mitra kerja PLN di lapangan,” ujar Lebu Raya.
Namun, tidak harus menyerah pada kendala. PIT melalui pengembangan EBT menjadi jalan keluar yang jitu. Rasio elektrifikasi harus didorong.
Kementerian ESDM melalui Direktrorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi mengembangkan PLTS maupun pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) untuk menjangkau desa-desa yang belum dijangkau PLN.
Menurut Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Rida Mulyana, mereka selalu berupaya mendata desa-desa yang belum tersentuh listrik PLN. Tak sedikit juga laporan dan usulan dari pemerintah daerah kemudian ditindaklanjuti oleh ESDM.
Di sinilah peran pejabat sebagai pelayan dituntut. Mereka harus blusukan, peka akan kebutuhan masyarakat dan kemudian mengajukan usulan ke ESDM untuk mendapatkan pasokan listrik berdasarkan program EBT.
Usulan itu menyangkut berapa desa atau kepala keluarga yang memerlukan pasokan listrik. Berapa banyak dari desa atau kepala keluarga di wilayahnya yang memerlukan air bersih.
”Tolong, teman-teman para pejabat di daerah untuk mendata warga di wilayahnya yang memerlukan listrik dan air bersih, kemudian mengirim permintaan itu ke ESDM. Kami segera menyurvei dan kemudian melakukan aksi segera,” ujar Menteri Jonan.
Pada kunjungan kerja menteri ESDM ke Alor, NTT, pada 23-24 Maret lalu, diresmikan 21 unit pembangkit listrik EBT dengan total kapasitas 1.516 kilowatt yang tersebar di 21 desa di lima kabupaten di NTT. Dengan biaya Rp 113,8 miliar, sekitar 2.737 KK dapat menikmati penerangan listrik.
Unit pembangkit yang diresmikan itu terdiri dari dua PLTS Bandara yang akan memasok kebutuhan listrik bandara di Tambolaka, Sumba Barat Daya dan Waingapu, Sumba Timur; 16 PLTS terpadu yang diperuntukan memasok listrik untuk komunitas sebagaimana di Pulau Buaya; serta tiga PLTMH.
Bagi sejumlah rumah, program EBT ini juga menyediakan sekian unit lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE) yang cukup praktis untuk dipasang di tiap rumah. Lampu tenaga surya ini dibagikan gratis dari bantuan pemerintah bagian dari Program Nawacita di sektor ESDM sebagai solusi penerangan dan energi listrik.
Tentu saja sasarannya adalah warga perdesaan yang terisolasi dan sulit dijangkau listrik PLN. ”Nilai lampu tenaga surya ini sekitar Rp 3 juta, di mana setiap rumah mendapat empat titik lampu dengan setiap lampu berkapasitas setara 40 watt dan sebuah colok untuk aneka keperluan,” ujar Rida.
Sejauh ini, ESDM sudah membagikan gratis lampu tenaga surya ini kepada 2.519 desa. Dengan teknologi baterai litium, lampu tenaga surya ini mampu menyala selama dua hari. Lampu juga bisa dicopot untuk dipakai sebagai senter dalam kegiatan warga di luar rumah.
Menurut Rida, berkaitan dengan upaya mendorong rasio elekrifikasi di NTT meningkat tajam mendekati rasio nasional, maka pihak ESDM akan membagikan lagi lampu tenaga surya ini kepada 1.747 KK di provinsi kepulauan ini pada sepanjang tahun 2018.
Jonan juga menambahkan, program EBT ini akan terus didorong untuk menyediakan energi listrik bagi desa-desa yang belum terjangkau aliran listrik dari PLN.
”Jadi tolong, teman-teman aparat pemerintah di daerah ikut mendata dan mengusulkan desa-desa yang perlu mendapat pasokan listrik. Juga karena semua program ini dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jadi, tolong juga agar semuanya dirawat sehingga bisa berfungsi lama,” ujar Jonan, seusai menyerahkan secara simbolis lampu tenaga surya kepada 10 KK.
Air bersih
Selain listrik, pemerintah melalui Kementerian ESDM juga membangun sejumlah sumur bor di sejumlah kabupaten dan kota di NTT. Listrik dan juga air bersih masih merupakan hal yang memprihatinkan di provinsi kepulauan seperti NTT.
Secara nasional dalam RPJMN, akses masyarakat kepada air minum layak pada tahun 2014 hanya sekitar 70 persen. Pemerintah bertekad menjadikan akses ini 100 persen pada 2019. Dan, program sumur bor yang ditangani badan Geologi ESDM menjadi pilihan yang jitu dan cepat untuk mendorong rasio akses ke air bersih ini.
”Membangun bendungan atau dam tidak bisa cepat dan tidak mungkin dilakukan di banyak tempat di negeri ini. Biayanya juga mahal. Karena itu, dengan pembangunan sumur bor, akses ke air bersih ini bisa cepat diadakan dan biayanya juga relatif murah,” ujar Jonan seusai menandatangi prasasti penggunaan air sumur bor di Welai Timur, sekitar 6,8 kilometer dari Kalabahi.
Menurut Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendra, pihaknya sudah membangun 1.795 sumur bor selama periode tahun 2005 hingga 2017. Sekitar 5,2 juta jiwa diperkirakan berhasil dilayani kebutuhan air bersihnya dengan sumur bor ini.
Untuk daerah NTT, dalam periode yang sama sudah dibangun 91 sumur bor yang tersebar di sejumlah kabupaten dan kota. Pada periode tahun 2016-2017, telah dibangun 12 belas sumur bor yang berada di delapan kabupaten, termasuk Kabupaten Alor.
Dengan biaya pembangunan sumur bor berkisar Rp 350 juta-Rp 700 juta per sumur, upaya pemerintah menyediakan air bersih bagi masyarakat cukup memadai.
Saat ini, setiap sumur bor dengan kedalaman 100 sampai 125 meter, dengan diameter pipa 6 inci dapat memasok sekitar 2,5 liter per detik. Setiap sumur bisa memasok air bersih bagi kebutuhan hingga 2.800 jiwa.
Dengan dilengkapi genset dan bak penampung kapasitas 5.000 liter, keperluan air bersih warga sekitar sumur akan terpenuhi. Semua aset ini dihibahkan ke pemerintah setempat untuk kemudian dimanfaatkan sekaligus dirawat dan dijaga.
”Warga sejauh ini sepakat mengumpulkan iuran antara Rp 30.000 hingga Rp 50.000 per KK untuk biaya perawatan dan sumur bor ini agar tetap berfungsi optimal,” ujar Jonan.
Biaya ini relatif tidak mahal jika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan masyarakat membeli air bersih menggunakan mobil tangki.
Jonan menegaskan, demi terciptanya masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan, ESDM akan terus membangun proyek sumur bor ini di sejumlah tempat yang membutuhkan air bersih.
Berkeadilan karena proyek-proyek ini harus bisa memberikan pasokan air bersih ataupun listrik yang juga terjangkau semua kalangan masyarakat. Sia-sia proyek-proyek ini jika ada warga masyarakat di sekitar proyek yang tidak bisa menikmatinya karena mahal tidak terjangkau.
Tidak heran mengapa masyarakat di Pulau Buaya bersorak gembira ketika Jonan menjanjikan sebuah sumur bor akan segera dilakukan di sana. Semua ini untuk mengatasi perjuangan berat menggunakan perahu menerjang gelombang Laut Sawu untuk membeli air bersih.
Kondisi serupa juga terlihat di pulau-pulau di kawasan pulau-pulau di Komodo, Manggarai Barat, Flores, NTT. Perahu atau kapal dengan tangki bergerak menawarkan air bersih bagi penduduk di pulau yang kesulitan mendapatkan air bersih. Upaya mendapat air bersih dengan perahu ini jelas membutuhkan upaya besar dan biaya yang tidak sedikit.
Berbagai program mengatasi kebutuhan listrik dan air bersih sudah dicanangkan pemerintah. Agar program ini efektif dan bisa dilaksanakan segera, bantuan aparat pemerintah di daerah untuk proaktif mencari dan memberikan usulan kepada kementerian yang melayaninya.
Dalam kondisi itu, aparat jelas harus tampil seperti pelayan. Banyak blusukan, mendengar, dan menggali informasi kebutuhan masyarakat. Aparat yang tampil seperti pejabat jelas tidak akan proaktif. Tidak akan blusukan, terutama ke tempat-tempat yang sulit, rumit, dan jauh dari jalan raya.