Tiga Pelaku Terorisme Sepakat dengan Ajaran Terdakwa Bom Thamrin
Oleh
DD09
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terpidana bom Samarinda, terpidana pembantu aksi teror Thamrin, dan pelaku aksi teror Markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara hadir sebagai saksi dalam sidang dengan terdakwa bom Thamrin, Aman Abdurrahman atau Oman Rochman. Dalam kesaksiannya, mereka sepemikiran dengan Aman terkait demokrasi sebagai sistem yang tidak sesuai dengan paham agama mereka.
Sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (27/3/2018). Ketua Majelis Hakim Akhmad Jaini memimpin sidang serta didampingi oleh Irwan, Sudjarwanto, Ratmoho, dan Aris Bawono Langgeng sebagai anggota hakim.
Tiga saksi itu terdiri dari terpidana bom Samarinda, Joko Sugito; terpidana pembantu aksi teror Thamrin, Dian Priatna alias Indra Prasetyo; serta terpidana aksi teror Markas Polda Sumatera Utara, Syawaluddin Pakpahan. Kesaksian ketiganya terpisah dan tidak dalam sesi yang bersamaan.
Dalam kesaksiannya, Joko mengatakan mengenal Aman sekitar tahun 2010. Saat itu, dia mendengarkan ceramah dari Aman.
Joko juga pernah membaca buku berjudul Seri Materi Tauhid yang ditulis Aman. Akhmad bertanya, ”Apa isi buku itu?”
”Sistem demokrasi tidak sesuai dengan paham agama yang saya anut,” jawab Joko. Ia mengatakan, sistem demokrasi tersebut merupakan hal yang paling menarik dari ceramah Aman.
Irwan bertanya, ”Apakah hal itu juga Anda sampaikan saat ceramah?”
”Tidak. Hanya obrol-obrol saja,” jawab Joko.
”Salah satunya kepada Juhanda?”
”Ya,” ucap Joko. Juhanda juga merupakan terpidana bom Samarinda.
Selain itu, pada akhir 2015, Joko mengikuti pertemuan Jamaah Anshor Daulah (JAD) yang berlangsung selama tiga hari di Malang. Pada akhir pertemuan, dia ditunjuk sebagai pimpinan JAD wilayah Kalimantan Timur.
Sekitar setahun setelah pertemuan itu, tepatnya Oktober 2016, Joko menceritakan dalam sidang, dirinya dan Juhanda berlatih membuat bom. Latihan itu dilakukan sebelum tahun 2010.
Antek juga sepakat
Tak hanya Joko yang sepakat dengan pemahaman Aman. Dian, antek teror bom dan senjata pada peristiwa Thamrin, juga setuju. Dian pernah membesuk Aman di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pada 2015 bersama kakaknya, Abu Gar atau Saiful Munthohir.
Dian juga hadir sebagai saksi. Dalam sidang, Dian menceritakan, dirinya melihat dari jarak sekitar 2 meter Aman, Abu Gar, dan Rois alias Iwan Darmawan Muntho bergerombol pada saat besuk itu. Rois adalah terpidana bom Kuningan.
Dalam kesaksiannya, Dian mengatakan pernah membaca buku Seri Materi Tauhid. Ia mengetahui bahwa buku itu merupakan tulisan Aman dari Muhammad Ali, pelaku bom Thamrin yang tewas di tempat.
Mayasari, salah satu anggota jaksa penuntut umum, bertanya, ”Apakah Ali juga sudah membaca buku Seri Materi Tauhid?”
”Ya,” ucap Dian.
Pada saat Dian memberikan kesaksian, jaksa penuntut umum menunjukkan senjata api yang menjadi barang bukti peristiwa bom Thamrin. Dian mengenal senjata tersebut karena pernah ikut membersihkannya.
Akhmad bertanya, ”Kapan Anda membersihkan ini?”
”Oktober 2015. Ali memanggil saya untuk membersihkan senjata di rumahnya,” jawab Dian.
”Ali dapat dari mana?”
”Dia hanya bilang dari Rois.”
”Kenapa dibersihkan?”
”Karena sudah lama tertanam dan berkarat. Saya membersihkannya dengan penghilang karat,” ujar Dian.
”Saat dicoba, pelatuknya masih berfungsi?”
”Masih.”
Dian mengaku mengetahui peristiwa teror Thamrin. Dalam kesaksiannya, dia mengatakan, Ali ada di lapangan saat peristiwa itu terjadi.
Relawan NIIS sepaham
Syawaluddin pernah membaca tulisan Aman dari aplikasi ponsel Telegram. Sudjarwanto bertanya, ”Anda tadi mengatakan tidak mengenal terdakwa. Apakah Anda mengetahui nama terdakwa?”
”Ya, saya membaca tulisan terdakwa,” ucap Syawaluddin.
Anita Dewayani, salah satu anggota jaksa penuntut umum, membacakan berita acara pemeriksaan Syawaluddin, ”Apakah tulisan yang dibagikan sama dengan pemahaman Anda terkait thogut adalah pemerintah tidak berlandaskan hukum Allah seperti pegawai negeri, TNI, Polri, jaksa, hakim, MPR, DPR?”
”Benar.”
”Berapa kali Anda mendapatkan tulisan terdakwa lewat Telegram?”
”Lebih dari tiga kali.”
”Menurut Anda, hukum di Indonesia itu sesat karena merupakan sistem buatan manusia?”
”Ya.”
”Apakah ini sama dengan tulisan terdakwa yang dibagikan di Telegram?”
”Ya.”
Dalam kesaksiannya, Syawaluddin mengatakan mendapatkan tulisan itu setelah dirinya pulang dari Suriah pada 2013. Dia ke Suriah dalam rangka bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Di sana, dia menghabiskan waktu selama enam bulan.
Pandangan terkait sistem demokrasi bertentangan dengan paham agama yang diyakini Syawaluddin sudah ada sejak sebelum dia membaca tulisan Aman. Pemahaman itu dia bagikan kepada rekan aksi teror di Mapolda Sumatera Utara sebelum eksekusi.
Tujuan eksekusi itu ialah untuk merampas senjata sehingga dapat melakukan aksi teror di Medan. Syawaluddin juga menyatakan, aksinya itu merupakan wujud pelaksanaan perintah pemimpin NIIS, Abu Bakar al-Baghdadi.
”Saya terpicu akibat pernyataan pejabat Pemerintah Indonesia yang ingin menggempur daulah di Marawi, Filipina,” katanya dalam persidangan.
Meskipun tidak mengenalnya, Syawaluddin memeluk Aman erat-erat dan menyentuhkan pipi kiri dan kanannya pada Aman sebelum keluar dari ruang sidang. Dua saksi lainnya juga terlihat memeluk, berjabatan tangan, dan menyentuhkan pipi mereka pada Aman sebelum mereka keluar dari ruang sidang.