JAKARTA, KOMPAS -- Kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual terus dinantikan masyarakat, terutama korban kekerasan seksual. Karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan segera membahas dan mengesahkan rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang.
Desakan untuk pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi Undang-undang (UU) disampaikan Forum Pengada Layanan (FPL) saat bertemu dengan Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR, Selasa (27/3) di DPR.
"DPR harus segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pemerintah Pusat dan daerah harus menyediakan berbagai layanan yang mudah, murah dan memadai bagi korban baik di tingkat nasional maupun daerah," ujar Susi Handayani, Dewan Pengarah Nasional FPL.
Menanggapi hal tersebut Ketua Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang, menegaskan komitmen panja untuk menyelesaikan RUU tersebut. “Panja ini akan berkerja. Itu komitmen Panja. Tinggal ada beberapa poin-poin yang perlu disosialisasikan kepada anggota Panja, karena ada pengertian lain dari frasa yang tercantum, substansi, ruh yang dimaksudkan dalam rancangan undang-undang ini sehingga teman-teman bisa memahami dengan baik,” ujar Marwan.
Selain Marwan, pertemuan tersebut juga dihadiri Anggota Panja dari beberapa fraksi antara lain, Diah Pitaloka (Fraksi PDI-P), Rahayu S Djojohadikusumo (Fraksi Partai Gerindra), dan Abdul Halim (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan). Hadir membuka pertemuan tersebut Melani Leimena Suharli dari Kaukus Perempuan Parlemen.
Diah Pitaloka menyatakan panja RUU tersebut sudah mulai membahas dengan berbagai kalangan eksternal hingga memulai pembahasan internal, terkait penyusunan draf rancangan undang-undang tersebut.
Ia sependapat bahwa RUU tersebut sudah lama dinantikan oleh para korban kekerasan seksual. "Kita berhadapan dengan fenomena bertambahnya korban kekerasan seksual setiap hari. Indonesia bermartabat enggak mungkin dengan wajah Indonesia yang penuh kekerasan seksual," ujar Diah.
Indonesia bermartabat enggak mungkin dengan wajah Indonesia yang penuh kekerasan seksual
Karena itu, RUU tersebut akan menjadi UU yang menangani kasus kekerasan seksual secara komprehensif. "Ini satu kerja proglenas yang diharapak selesai dari masa jabatan DPR 2014-2019," kata Diah.
Adapun Rahayu menyatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus disosialisasikan kepada publik dan juga anggota DPR, agar semua pihak memiliki perspektif korban kekerasan seksual.
Kasus yang ditangani
Susi Handayani, kemarin memaparkan situasi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di berbagai daerah sepanjang 2017. Selama tahun 2017, FPL telah menangani 1.340 kasus kekerasan terhadap perempuan yang tersebar di 3 wilayah. Jenis kasus yang tertinggi adalah kekerasan dalam rumah tangga ( 702 kasus) dan kekerasan seksual ( 508 kasus).
Menurut Susi, dari 1.340 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani FPL di tahun 2017, sebanyak 67 persen terjadi di ranah domestik, 32 persen terjadi di ranah komunitas, serta 1 persen di ranah negara. Adapun jumlah korbannya tercatat sebesar 1.542 perempuan dengan jumlah pelaku sebesar 1.531 orang.
“Jumlah korban dan pelaku kekerasan ini jauh lebih besar dari jumlah kasus terhadap perempuan yang dilaporkan. Hal ini terjadi karena dalam satu peristiwa jumlah korban atau jumlah pelakunya bisa lebih dari satu orang. Misalnya kasus perkosaan dalam bentuk gang rape, pelakunya bisa berjumla tiga sampai 15 orang,” papar Susi.
Jumlah korban dan pelaku kekerasan ini jauh lebih besar dari jumlah kasus terhadap perempuan yang dilaporkan
Kendati jumlah korban mencapai 1.542 orang, hanya 30 persen yang mengakses hukum untuk menuntut keadilan dan hak-haknya.
Selain Susi, dalam pertemuan kemarin dengan Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR, sejumlah perwakilan FPL juga menyampaikan aspirasi betapa mendesaknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan.
Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu menyatakan kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat penting untuk melindungi perempuan dan anak perempuan termasuk perempuan disabilitas dari korban kekerasan.
“Banyak sekali orangtua penyandang disabilitas datang ke kami pertanyakan bagaimana jalan keluar terhadap kasus-kasus kekerasan seksual. Anak penyandang disabilitas adalah kelompok yang paling sering dan paling rentan mengalami kekerasan seksual, karena berada dalam situasi tidak bisa membela diri sendiri,” katanya.
Anak penyandang disabilitas adalah kelompok yang paling sering dan paling rentan mengalami kekerasan seksual
Kemarin, petisi berisi ribuan tanda tangan dari masyarakat terutama perempuan-perempuan yang tergabung dalam FPL disampaikan kepada DPR. Isi petisi mendesak DPR segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU.