Konflik di Timur Tengah Makin Kompleks dan Sulit Terurai
Oleh
Haris Firdaus
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS – Fenomena Musim Semi Arab yang terjadi di Timur Tengah tahun 2011 mewariskan beragam persoalan di sejumlah negara di kawasan itu, misalnya perang sudara, stagnasi ekonomi, dan menguatnya kelompok ekstremis. Berbagai persoalan itu diyakini tidak akan mudah diurai dan diselesaikan karena berkait dengan beragam faktor yang kompleks.
Demikian terungkap dalam Seminar Middle East Update bertema “Readers Strategy and The Hostile Media: Upaya Menentukan Sikap” di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (27/3).
Pembicara dalam seminar itu, pemerhati masalah Timur Tengah yang juga dosen UIN Sunan Kalijaga, Ibnu Burdah; Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Trias Kuncahyono; serta peneliti Middle Eastern Studia Islamia (Messia), Reza Bakhtiar.
Trias mengatakan, fenomena Musim Semi Arab atau Arab Spring melahirkan berbagai masalah yang belum terselesaikan hingga sekarang. Sejumlah negara di Timur Tengah, misalnya Suriah, Libya, Yaman, dilanda perang saudara sampai saat ini. Selain itu, beberapa negara juga masih mengalami stagnasi ekonomi, sementara kekuatan kelompok radikal dan ekstremis di beberapa wilayah Timur Tengah justru mengalami penguatan.
“Warisan lain dari Arab Spring adalah peningkatan kompetisi di antara kekuatan politik dan sektarian yang ada di Timur Tengah. Yang paling nyata, pertarungan politik Arab Saudi dan Iran,” ungkap Trias yang telah menerbitkan sejumlah buku tentang Timur Tengah.
Dia menambahkan, Musim Semi Arab juga melahirkan perubahan konfigurasi di Timur Tengah. Perubahan itu antara lain ditandai dengan kemunduran sejumlah negara yang selama ini memusuhi Israel, seperti Suriah, Irak, dan Libya. Di sisi lain, beberapa negara Timur Tengah yang menganut Islam Sunni, misalnya Arab Saudi, Mesir, dan Yordania, justru secara diam-diam menjalin hubungan dengan Israel.
“Aktor lain yang juga bermain di Timur Tengah adalah kelompok-kelompok non-state (bukan negara), misalnya ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) dan Ikhwanul Muslimin,” tutur Trias.
Ibnu menyatakan, sejumlah masalah yang terjadi di Timur Tengah beberapa tahun terakhir sangat kompleks. Hal ini karena beragam peristiwa tersebut, misalnya perang di Suriah dan Yaman, melibatkan banyak aktor dan kepentingan.
“Peristiwa-peristiwa di Timur Tengah beberapa tahun terakhir menunjukkan tingkat kompleksitas yang luar biasa,” katanya.
Oleh karena itu, Ibnu menilai, beragam persoalan yang terjadi di Timur Tengah seusai Musim Semi Arab tidak akan mudah diurai dan diselesaikan. Salah satu contoh persoalan di Timur Tengah yang sangat sulit diselesaikan adalah perang Suriah.
“Usaha untuk mencapai proses perdamaian di Suriah gagal karena terjadi saling jegal di antara negara-negara besar yang terlibat. Hal ini karena sejumlah negara merasa realitas di lapangan belum sesuai dengan yang mereka inginkan sehingga proses perdamaian dalam situasi sekarang sangat merugikan mereka. Karena itu, mereka berusaha mengulur waktu,” ungkap Ibnu.
Sementara itu, Reza mengatakan, persoalan yang terjadi di Timur Tengah juga diwarnai oleh “perang informasi” di antara sejumlah media massa, baik media lokal maupun media internasional. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Reza dan sejumlah rekannya terhadap pemberitaan terkait konflik di Ghouta, Suriah, sejumlah media memiliki kecenderungan berbeda dalam memberitakan konflik tersebut.
“Ada media yang terlihat mengarahkan pembaca agar selalu mendukung pemerintah Suriah, tapi ada juga media yang kontra dengan pemerintah Suriah,” ujar Reza.