Kualitas dan Produktivitas Manusia Indonesia Terancam
JAKARTA, KOMPAS - Besarnya jumlah anak stunting atau bertubuh pendek mengancam kualitas dan produktivitas manusia Indonesia masa depan. Jika masalah stunting tidak diselesaikan sekarang, Indonesia akan memanen lonjakan penduduk produktif bermasalah di masa puncak bonus demografi 2020-2040.
”Stunting mengindikasikan masalah yang lebih serius dari gizi kurang,” kata Guru Besar Ilmu Gizi Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Endang L Achadi dalam Rembuk Stunting di Jakarta, Selasa (27/3).
Anak stunting punya tinggi badan lebih pendek dari tinggi seharusnya sesuai standar usianya. Sementara gizi kurang hanya menunjukkan berat badan lebih rendah dari seharusnya tanpa membedakan kondisi tubuh dan status gizinya.
Proses terjadinya stunting berlangsung sejak awal pembentukan janin hingga anak berumur dua tahun atau di 1.000 hari pertama kehidupan. Karena itu, kondisi stunting berkembang bersama dengan perkembangan berbagai organ tubuh dan otak.
”Stunting berdampak serius karena memengaruhi kecerdasan dan meningkatkan risiko menderita penyakit tidak menular saat dewasa, seperti diabetes, gagal ginjal, hingga penyakit jantung dan stroke,” katanya.
Indonesia mengalami masalah anak pendek serius. Riset Kesehatan Dasar 2007, 2010, dan 2013 menunjukkan prevalensi anak balita stunting secara berurutan adalah 36,8 persen, 35,6 persen, dan 37,2 persen. Jika ada 24 juta anak balita Indonesia pada 2013, 9 juta anak balita di antaranya pendek. Jumlah itu hampir setara dengan dua kali penduduk Singapura. (Kompas, 26/2/2014)
Global Nutrition Report 2014 menempatkan Indonesia dalam kelompok lima besar negara dengan kasus stunting terbesar di dunia. Indonesia juga masuk dalam 17 negara dari 117 negara dengan beban ganda masalah gizi, yaitu anak balita pendek, kurus, dan kegemukan bersama sejumlah negara Asia Selatan dan Afrika.
”Jika anak stunting itu tumbuh dewasa, saat bonus demografi nanti berlangsung, Indonesia akan diisi penduduk usia produktif yang tidak berkualitas,” kata Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Subandi Sardjoko.
Kondisi itu dinilai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo bisa menjadi penghambat Indonesia untuk jadi negara maju. Padahal, Indonesia ditargetkan memiliki pendapatan domestik bruto terbesar ketujuh di dunia pada 2030.
”Stunting menjadi pekerjaan rumah besar yang jika tidak segera ditangani akan buat tenaga kerja kita tidak siap,” ujarnya.
Masalah anak pendek bukan hanya persoalan sektor kesehatan. Penyebab anak pendek bukan hanya karena buruknya kualitas dan pola asupan pada anak dan ibu hamil. Persoalan sosial dan infrastruktur juga bisa memicu anak pendek.
Menurut Endang, munculnya penyakit infeksi pada anak juga bisa memicu anak pendek. Penyakit infeksi itu salah satunya disebabkan buruknya sanitasi dan infrastruktur kesehatan, seperti fasilitas air bersih.
Sementara itu, Subandi menyoroti tren kurus pada remaja putri. Buruknya asupan gizi saat remaja membuat saat mereka menikah dan hamil, kondisi gizinya tidak cukup untuk mendukung berkembangnya janin yang baik hingga memicu lahirnya bayi bertubuh pendek.
Beban ekonomi
Selain buruknya kualitas sumber daya manusia, produktivitas mereka dipastikan akan rendah. Selain karena kecerdasan mereka kurang, mereka juga rentan sakit yang akan menghambat kinerjanya. Akibatnya, mereka akan makin sulit bersaing dengan tenaga kerja global.
Selain itu, tidak berkembang optimalnya organ tubuh anak pendek membuat mereka lebih berisiko menderita penyakit degeneratif saat dewasa. Dari lima penyakit tidak menular (PTM) penyebab kematian tertinggi pada 2014, empat penyakit di antaranya berkaitan dengan gizi, yaitu stroke, jantung-pembuluh darah, diabetes, dan hipertensi.
Kondisi itu dipastikan akan meningkatkan beban biaya kesehatan Indonesia. Beban program Jaminan Kesehatan Nasional yang dilaksanakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang hingga kini masih defisit anggaran dipastikan akan terus membengkak.
Meski demikian, Subandi mengingatkan, ”Mereka yang stunting bukan hanya dari masyarakat miskin, melainkan juga kelompok ekonomi mampu akibat kurangnya pemahaman terhadap gizi dan kesehatan.”
Kondisi itu tecermin dari tidak jauh berbedanya prevalensi penderita hipertensi dan penyakit jantung koroner pada 20 persen penduduk termiskin dan 20 persen penduduk terkaya.
Karena itu, pemerintah sejak 2017 sepakat menangani persoalan gizi secara terintegrasi. Program itu melibatkan 12 kementerian dan lembaga. Intervensi yang dilakukan dari sisi kesehatan, serta pembangunan prasarana air bersih hingga pendidikan calon pengantin.
”Dana desa bisa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur untuk menurunkan stunting,” kata Eko. (SEM/KOR/MZW)