BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Dalam 10 tahun terakhir, Provinsi Lampung dilirik banyak pihak sebagai salah satu tujuan wisata unggulan. Letaknya yang dekat Ibu Kota, bisa ditempuh sekitar 30 menit dengan pesawat, membuat sejumlah tujuan wisata di Lampung menjadi alternatif pilihan bagi warga di Jabodetabek.
Namun, pantauan Kompas di sejumlah destinasi wisata andalan Lampung pekan lalu, seperti Pulau Pahawang di Kabupaten Pesawaran, Pusat Latihan Gajah Taman Nasional Way Kambas di Lampung Timur, hingga wisata pantai Tanjung Setia, Kabupaten Pesisir Barat, belum dikelola maksimal. Akses jalan ke lokasi belum baik. Untuk mendapatkan suvenir tentang gajah, yang menjadi ikon Lampung, misalnya, pun tidak mudah.
Kepala Desa Pahawang, Kecamatan Marga Punduh, Pesawaran, Ahmad Salim mengatakan, setiap bulan Pulau Pahawang dikunjungi ribuan orang. Namun, pulau indah dengan pesona bawah air itu belum punya sistem kelistrikan yang memadai. ”Baru ada tiang listrik, tanpa saluran listrik. Warga masih mengandalkan diesel secara mandiri,” ujar Ahmad.
Selain itu, rambu-rambu menuju Pahawang belum ada. Akibatnya, wisatawan kerap kesulitan menuju Pahawang, kecuali yang mengandalkan sopir travel. Pemandu wisata masih sekadar membawa tamu, belum turut menjaga kelestarian lingkungan.
Sejumlah pemandu wisata kadang enggan memberi batasan dan rambu-rambu saat tamunya melakukan snorkling. Akibatnya, tidak sedikit terumbu karang yang mati karena patah terinjak fins (sepatu katak).
Di Tanjung Setia, Kabupaten Pesisir Barat, jarak masih menjadi kendala. Dibutuhkan waktu sekitar 7 jam dari Bandar Lampung menuju Tanjung Setia. Sementara selama perjalanan tidak tersedia tujuan lain yang bisa dikunjungi. Tak heran, perjalanan cenderung membosankan.
Sebenarnya tersedia jalur udara menuju Pesisir Barat melalui Bandar Udara Taufik Kiemas. Namun, sejak beroperasi 2013 hingga 2016, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan menutup sementara bandara perintis itu. Maklum, penumpangnya masih sedikit.
Kepala Bandara Taufik Kiemas Novrizal Muklis mengatakan, bandara dengan panjang landasan 1.100 meter dan lebar 23 meter itu mampu melayani penerbangan untuk pesawat jenis caravan. Landasan bandara mencapai 13 pavement classification number (PCN).
”Tahun ini bandara akan dikembangkan dengan perpanjangan landasan menjadi 1.300 meter dan lebar 30 meter. Harapannya, tahun ini pula pesawat komersial jenis ATR 42 dapat mendarat di Bandara Taufik Kiemas,” kata Novrizal.
Novrizal menambahkan, peningkatan kapasitas bandara dilakukan dengan memanfaatkan potensi wisata di Pesisir Barat. Pengembangan bandara diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi sisi barat Lampung.
Namun, pemilik penginapan Lovina Krui Surf, Joris Nugroho Kloer, mengatakan, pembukaan akses di Pesisir Barat membawa dua dampak yang bertentangan. ”Di satu sisi, akses akan semakin terbuka sehingga banyak kunjungan ke Pesisir Barat. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran hal itu justru membuat wisatawan asing enggan berkunjung ke sana karena terlalu ramai,” katanya.
Hal senada disampaikan Peter Wells, turis yang sudah dua kali berkunjung ke Pesisir Barat. Alasan ia kembali lagi ke Pesisir Barat ialah karena suasananya yang masih alami.
”Berlibur di Pesisir Barat sangat nyaman. Ombaknya besar, tetapi pantainya sepi. Berbeda dengan Bali yang terlalu ramai wisatawan dan padat dengan gedung-gedung. Saya berharap Pesisir Barat tetap menjaga suasana seperti ini karena kondisi ini yang kami butuhkan untuk berlibur,” ujarnya.
ASEAN Heritage
Di Lampung Timur, tujuan wisata Pusat Latihan Gajah (PLG) Taman Nasional Way Kambas (TNWK), tiga jam dari Bandar Lampung, sangat berpotensi menarik wisatawan. Taman nasional yang ditetapkan sebagai ASEAN Heritage atau Taman Warisan Asia Tenggara tahun 2016 itu berpotensi mengalahkan pariwisata gajah di Thailand.
Namun, suasana wisata konservasi pusat latihan yang memiliki 66 gajah jinak itu perlu dibenahi. Informasi tentang PLG atau pemandu tidak tersedia, toilet jauh, pembagian ruang untuk wisata dan konservasi di PLG juga tidak jelas. Sukat Hariyanto (45), wisatawan dari Solo, Jawa Tengah, berharap ada Museum Gajah yang bisa dikunjungi sebagai pusat edukasi.
Koordinator Humas Balai Taman Nasional Way Kambas Sukatmoko mengatakan, pengelolaan wisata di TNWK membutuhkan pihak ketiga atau investor. Pasalnya, saat ini, Balai TNWK selaku pengelola bekerja di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tugas dan fungsi pegawai mengarah pada upaya konservasi di TNWK.
Walaupun begitu, promosi masif tentang TNWK telah dilakukan melalui sejumlah media sosial. Jumlah kunjungan ke TNWK meningkat pesat. Pada 2017 terdapat 77.942 kunjungan, naik dari 35.989 kunjungan tahun sebelumnya. Selain investor, pengelolaan wisata juga perlu melibatkan warga yang bermukim di desa penyangga TNWK.
Vice President Tourism Indonesia Marketing Association Lampung Elkana Arlen Riswan mengungkapkan, Lampung perlu memfokuskan wisata apa yang akan ditonjolkan. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Lampung Taufik Hidayat mengharapkan pariwisata sebagai salah satu kluster pengembangan Lampung, selain kluster industri dan ketahanan pangan. (GER/VIO/WSI)