Pertemuan Pemerintah dan Pengusaha Belum Membuahkan Hasil
Oleh
DD01
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertemuan antara pemerintah dan perusahaan penyedia aplikasi belum menjawab tuntutan dari para pengojek. Belum ada kepastian mengenai nilai batas bawah tarif ojek dan payung hukum yang menaungi keberadaan mereka. Para pengojek kecewa karena tidak dilibatkan dalam pertemuan.
Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko di Jakarta, Rabu (28/3/2018), mengatakan, berdasarkan hasil rapat dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, serta perwakilan perusahaan penyedia aplikasi Go-Jek dan Grab, batas bawah tarif ojek dalam jaringan (daring) akan ditentukan perusahaan.
Dalam pertemuan tersebut, kata Moeldoko, pemerintah hanya menjadi tempat berkonsultasi.
”Besaran tarif yang pasti adalah hak perusahaan untuk menentukan, kami tidak boleh menekan karena mereka memiliki penghitungan sendiri untuk menentukan tarif ojek per kilometer,” kata Moeldoko di Kantor Staf Presiden (KSP), Jakarta.
Meski demikian, lanjutnya, perusahaan berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan pengojek. Oleh karena itu, besaran tarif akan dibuat secara proporsional.
Menurut Budi Karya Sumadi, tarif batas bawah ojek daring per kilometer yang laik adalah Rp 2.000 per kilometer. Nilai tersebut merupakan hasil penjumlahan dari harga pokok, yaitu Rp 1.400-Rp 1.600 ditambah keuntungan dan jasa pengojek.
”Jadi rata-rata batas bawah yang laik itu Rp 2.000, tetapi itu bersih, tidak dipotong lagi menjadi Rp 1.600,” ujarnya.
Ia melanjutkan, kepastian mengenai batas bawah tarif ojek daring masih akan dibicarakan oleh perusahaan dan pengojek. Pemerintah berharap keputusan dari mereka sudah ada pada Senin pekan depan.
Pemerintah juga belum bisa memutuskan pembuatan payung hukum keberadaan ojek daring. Budi mengatakan, pertemuan pertama ini fokus pada pemecahan masalah agar pengojek mendapatkan penghasilan yang cukup dan perusahaan tetap eksis. ”Tahap-tahap lain akan kami bicarakan lebih lanjut,” ujarnya.
Dari sisi ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri juga belum bisa memastikan status pengojek daring. ”Kami akan dalami persoalan ini sesegera mungkin, penerapan hubungan kerjanya seperti apa, skemanya seperti apa,” ujar Hanif.
Menurut dia, pengojek daring merupakan bentuk pekerjaan nonstandar. Pekerjaan tersebut muncul dari jenis bisnis yang baru muncul sehingga pemerintah membutuhkan waktu untuk mengkaji konsep hubungan antara perusahaan dan mitranya.
”Kami ingin tetap ada perlindungan terhadap tenaga kerja. Dari sisi industi juga bisa tumbuh,” kata Hanif.
Pengojek kecewa
Pertemuan antara pemerintah dan perusahaan penyedia aplikasi bermula dari unjuk rasa besar-besaran pengojek daring di Jalan Medan Merdeka Selatan kemarin. Ketika tengah berunjuk rasa, secara mendadak Presiden Joko Widodo menerima lima pengojek untuk berdiskusi.
Dalam pertemuan itu, Presiden meminta Menhub dan Menkominfo untuk berkumpul dengan pengojek, membahas dan mencari jalan penyelesaian mengenai tarif ojek (Kompas, 28/3/2018).
Akan tetapi, dalam pertemuan hari ini, para pengojek daring tidak dilibatkan. Sebanyak tujuh pengojek daring yang tergabung dalam Gerakan Aksi Roda Dua Indonesia (Garda) tidak diperbolehkan masuk ke KSP oleh petugas pengamanan dengan alasan tidak ada agenda. Mereka merasa berhak mengikuti pertemuan tersebut karena diundang secara lisan oleh Presiden.
Ketua Umum Solidaritas Driver Go-Jek Adrianus Sulisyanto, salah satu dari tujuh pengojek itu, mengatakan, sudah datang ke areal Istana Negara sejak pukul 15.00. Hingga pukul 17.30, mereka masih berada di koridor KSP. Mereka pun tidak mengetahui hasil pertemuan antara pemerintah dan perusahaan. ”Kami merasa seperti dipermainkan,” kata Andrianes.
Pengojek lain, Badai, dari Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Pengemudi Transportasi Jasa Daring Indonesia mengatakan, status pengojek adalah mitra perusahaan. Oleh karena itu, mereka berhak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan perusahaan mengenai ojek daring agar tidak ada keputusan sepihak.
Ia menambahkan, pengojek konsisten mengajukan batas bawah tarif adalah Rp 3.500 per kilometer. Nilai tersebut didasarkan pada pengalaman bahwa Go-Jek pernah menerapkan batas bawah sebesar Rp 4.000 per kilometer. Saat ini, batas bawah di Go-Jek adalah Rp 2.000 per kilometer lalu dipotong 20 persen, menjadi Rp 1.600.
Taksi daring
Selain membahas mengenai tuntutan ojek daring, pertemuan pemerintah dengan perusahaan penyedia aplikasi juga membahas ihwal tuntutan pengemudi taksi daring yang tergabung dalam Aliansi Nasional Driver Online (Aliando).
Aliando yang menemui Moeldoko kemarin menolak penerapan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek pada 1 April.
Para pengemudi menolak aturan yang mewajibkan mereka bergabung dalam koperasi karena dianggap mengurangi kemandirian. Selain itu, keharusan pengemudi mengganti SIM A dengan SIM A Umum juga dirasa mahal dan sulit. Kewajiban menggunakan stiker identitas di kendaraan juga ditolak (Kompas, 28/3/2018).
Budi mengatakan, penerapan PM No 108/2017 akan ditunda. Pemerintah masih akan mengkaji ulang aturan tersebut berdasarkan poin penolakan para pengemudi.
”Kami berusaha menampung aspirasi pengemudi bahwa keberadaan koperasi dan badan usaha itu tidak ada,” ucap Budi.
Meski belum ada solusi konkret, baik untuk ojek daring maupun taksi daring, pertemuan pemerintah dan perusahaan menyepakati pengubahan bentuk perusahaan.
Budi mengatakan, bentuk perusahaan penyedia aplikasi akan diubah menjadi perusahaan jasa angkutan. Dalam bentuk baru tersebut, perusahaan tidak hanya menyediakan aplikasi, tetapi juga bertanggung jawab atas jasa angkutan. Alur kontrol dari perusahaan juga menjadi lebih jelas.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi mengatakan, perusahaan jasa angkutan tersebut nantinya akan diatur dalam peraturan menteri perhubungan. Namun, ia belum bisa menjelaskan mengenai konsep tersebut lebih lanjut karena baru akan dibahas dengan perusahaan pada Senin pekan depan.