JAKARTA, KOMPAS – Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Forum Pengada Layanan bagi perempuan korban kekerasan yang tersebar di 32 provinsi, meminta Dewan Perwakilan Rakyat terus memperjuangkan suara korban dan tidak gentar terhadap penolakan sejumlah kelompok masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Sebaliknya, Forum Pengada Layanan menyatakan siap memberikan dukungan data dan informasi bagi DPR, agar segera mewujudkan komitmennya untuk membahas dan mengesahkan rancangan undang-undang tersebut.
Demikian harapan yang disampaikan Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan (yang beranggotakan 115 lembaga layanan di berbagai kabupaten/kota di Tanah Air), di Jakarta, Rabu (28/3).
“Kami berharap DPR terus membahas RUU tersebut secara konsisten berdasar kebutuhan dan hak korban, serta usulan-usalan dari masyarakat yang sifatnya tidak kontrakdiktif dengan prinsip, norma dan standar yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual,” kata Susi Handayani, Dewan Pengarah Nasional FPL.
Kami berharap DPR terus membahas RUU tersebut secara konsisten berdasar kebutuhan dan hak korban
Menanggapi hal tersebut, Diah Pitaloka, anggota Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan menyampaikan apresiasi atas dukungan tersebut.
“Terima kasih sepenuh atas dukungan dari organsisasi masyarakat sipil di tengah kerja pembahasan kami mengenai RUU tersebut di DPR. Kami akan terus menerima masukan dan bekerja dalam pembahasan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujar Diah Pitaloka.
Terima kasih sepenuh atas dukungan dari organsisasi masyarakat sipil di tengah kerja pembahasan kami mengenai RUU tersebut di DPR.
Dukungan kepada DPR untuk melanjutkan proses pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disampaikan Susi Handayani dan Dewan Pengarah Nasional FPL dan pengurus FPL di daerah seperti Veni Siregar, Sri Mulyati, Wariyatun, Yustina Fendrita, dan Palupi Pusporini.
Menurut Wariyatun, selama ini anggota-anggota FPL yang melakukan berbagai upaya membangun mekanisme bersama untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Selain penguatan lembaga layanan, mengembangkan model layanan, mendokumentasikan pengalaman perempuan korban dan kerja-kerja lembaga layanan, serta mendorong lahirnya berbagai kebijakan dan instrumen hukum baik di tingkat nasional maupun daerah dalam rangka pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan.
Dari kerja FPL tersebut, terungkap persoalan kekerasan seksual semakin memprihatinkan, baik dari sisi jumlah, modus, spektrum kekerasan seksual maupun layanan bagi korban yang tidak memadai.
“Misalnya pada Tahun 2017, FPL telah menangani 508 kasus kekerasana seksual yang terdiri dari perkosaan, pelecehan seksual, exploitasi dan perbudakan seksual,” kata Wariyatun.
Masih jauh dari rasa keadilan korban
Tingginya angka kasus kekerasan seksual tersebut, menurut Veni Siregar yang juga dari LBH APIK Jakarta, tidak berbanding lurus dengan upaya perlindungan dan pemulihan untuk korban kekerasan seksual. Penanganan kasus-kasus kekerasan seksual di ranah peradilan masih jauh dari harapan dan rasa keadilan korban. Belum lagi ditambah, pemahaman aparat penegak hukum yang jauh dari perspektif korban.
“Bias jender bias pada aparat penegak hukum mengakibatkan korban kekerasan seksual kerapkali mendapatkan kekerasan berulang (reviktimasi) dari aparat penegak hukum ataupun masyarakat,” ungkap Veni.
Bias jender bias pada aparat penegak hukum mengakibatkan korban kekerasan seksual kerapkali mendapatkan kekerasan berulang
Dari berbagai fakta dan kondisi yang ditemukan di lapangan itulah, maika FPL sangat berharap pada anggota DPR khususnya Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR agar terus berjuang mewujudkan harapan masyarakat, terutama dari para korban. “Inilah saatnya DPR mewujudkan RUU tersebut menjadi UU, kalau tidak kita sudah masuk tahun politik 2019, itu berarti akan mulai dari nol lagi proses RUU tersebut,” kata Yustina.
Kepada kementrian/lembaga yang terkait juga diharapkan melibatkan kelompok penyintas, korban,keluarga korban, dan pendamping korban dalam menentukan kebijakan terutama dalam membahas draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. (son)