Kualitas Kesehatan Masih Rendah
Angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi, mencapai 359 ibu per 100.000 kelahiran (SDKI, 2012). Tingginya kematian ibu menunjukkan kualitas kesehatan sebuah bangsa masih rendah.
JAKARTA, KOMPAS -- Angka kematian ibu di Indonesia yang tinggi selama tiga dekade terakhir belum mampu ditekan. Butuh kerja bersama semua pihak mengingat pemicu kematian ibu bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga budaya, agama, dan infrastruktur.
Lingkup kasus kematian ibu hamil dan melahirkan di Indonesia sangat luas. Kasus itu terjadi di perdesaan dan perkotaan, pada berbagai kelompok ekonomi, beragam usia, persalinan yang ditangani tenaga medis maupun non medis, serta terjadi di mana saja, baik persalinan di rumah, fasilitas kesehatan tingkat pertama atau di rumah sakit rujukan.
Jumlah kematian ibu hamil dan melahirkan berdasarkan data Survei Penduduk (SP) 2010 mencapai 349 ibu per 100.000 kelahiran hidup. Sementara Survei Penduduk Antarsensus (Supas) 2015 menyebut ada 305 ibu meninggal akibat melahirkan dari setiap 100.000 kelahiran hidup. Jika setiap tahun ada 4 juta-5 juta kelahiran, maka berdasar data Supas 2015 itu terdapat 12.000-15.000 kematian ibu melahirkan di Indonesia setiap tahun.
Jika diumpamakan ibu meninggal karena melahirkan tersebut adalah penumpang pesawat Boeing 777 yang mampu mengangkut 500 penumpang kelas ekonomi, maka jumlah kematian ibu melahirkan di Indonesia setiap tahun setara dengan jatuhnya 24-30 pesawat tipe tersebut dengan semua penumpangnya meninggal.
Di luar data SP 2010 dan Supas 2015, data kematian ibu melahirkan umumnya mengacu pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang sudah beberapa kali dilakukan sejak tahun 1990-an, terakhir pada 2012. Berdasarkan SDKI 2012, kematian ibu mencapai 359 orang per 100.00 kelahiran.
Namun, apapun data kematian ibu hamil yang digunakan, “Sama-sama menunjukkan masih tingginya angka kematian ibu di Indonesia,” kata Ketua Komite Eksekutif Pengumpulan Bukti Pengurangan Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir (Evidence Summit on Reducing Maternal and Neonatal Mortality) Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Akmal Taher di Jakarta, Rabu (28/3).
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengakui masih tingginya angka kematian ibu melahirkan. Kondisi itu membuat Indonesia gagal mencapai target Tujuan Pembangunan Milenium (MDG). Saat MDG berakhir pada 2015, angka kematian ibu melahirkan Indonesia ditargetkan hanya 102 per 100.000 kelahiran.
Karena itu, pemerintah saat ini memasukkan target pengurangan kematian ibu itu dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Pada 2019, pemerintah menargetkan menurunkan kematian ibu mencapai 306 ibu per 100.00 kelahiran hidup.
Rekomendasi
Meski kematian ibu melahirkan di Indonesia sangat tinggi, namun data dan informasi yang menjelaskan kematian ibu dan bayi baru lahir itu sangat kurang. Karena itu, AIPI bekerja sama dengan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) melakukan pengumpulan bukti (evidence summit) untuk pengurangan kematian ibu dan bayi baru lahir.
Pengumpulan bukti itu dilakukan AIPI dengan menelusuri 7.831 literatur yang mengulas kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir di Indonesia selama 20 tahun terakhir. Dari telaah terhadap data yang ada dan kajian lanjutan yang dilakukan, AIPI menemukan sejumlah bukti yang jadi penyebab kematian ibu sangat beragam.
Salah satu pemicu kematian ibu melahirkan adalah belum meratanya akses terhadap pelayanan kesehatan berkualitas. Belum meratanya layanan itu tidak hanya terjadi antarwilayah yang berbeda kondisi geografisnya, namun juga antarjenjang layanan di satu daerah yang sama.
Akmal mengatakan, banyak ditemukan di satu daerah yang layanan maternal di fasilitas kesehatan dasarnya berkualitas, namun fasilitas kesehatan rujukannya kurang. Kondisi sebaliknya juga banyak ditemukan.
Karena itu, salah satu rekomendasinya adalah perbaikan layanan di berbagai fasilitas kesehatan secara utuh di satu daerah. “Perbaikan fasilitas kesehatan harus dilakukan secara utuh berdasar prinsip continum care (perawatan berkelanjutan),” katanya.
Sistem rujukan ibu hamil yang mengalami kedaruratan juga diharapkan bisa dikecualikan dari sistem rujukan berjenjang dalam program Jaminan Kesehatan Nasional. Langkah itu diharapkan akan membuat ibu hamil segera mendapat pertolongan dari dokter kebidanan dan kandungan saat terjadi kedaruratan.
Di sisi lain, kualitas persalinan di semua rumah sakit milik pemerintah dan swasta harus mengikuti standar pelayanan obstetri neonatal emergensi komprehensif (PONEK) secara terus menerus, bukan temporal. Rotasi tenaga kesehatan membuat standar PONEK di sejumlah rumah sakit tidak berkelanjutan.
Persalinan juga banyak terjadi di layanan kesehatan swasta. “Memang tidak ada bukti persalinan mana yang lebih baik, apa yang dilakukan di fasilitas kesehatan pemerintah atau swasta. Namun fasilitas kesehatan pemerintah, baik puskesmas dan rumah sakit, sudah ada aturan akreditasi. Akreditasi itu yang belum diterapkan di banyak fasilitas kesehatan swasta,” katanya.
Di sisi lain, lebih 60 persen persalinan ditangani sendirian, khususnya oleh bidan. Pola penanganan seperti itu seharusnya tidak lagi digunakan dan diganti dengan penanganan bersama oleh tim kesehatan dengan melibatkan dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain. Hal itu disebabkan penyebab kematian ibu melahirkan karena adanya komplikasi persalinan, seperti perdarahan, hipertensi dan infeksi.
Secara terpisah, Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan Eni Gustina, mengakui, tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan juga berhubungan erat dengan tidak adanya pengawasan terhadap persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan swasta dan belum semua tenaga kesehatan mengimplementaiskan pedoman proses persalinan di lapangan.
“Coba sekarang siapa yang mengampu fasilitas kesehatan swasta selama ini? Padahal, tindakan persalinan di fasilitas kesehatan banyak,” katanya.
Kematian ibu melahirkan banyak terjadi saat nifas. Namun, selama ini asuhan perawatan ibu pasca melahirkan masih banyak yang belum sesuai standar. Untuk memperbaiki pelayanan di fasilitas kesehatan pemerintah Kemenkes telah melakukan akreditasi terhadap fasilitas kesehatan. Dengan begitu, layanan yang diberikan kepada masyarakat terstandar. Kebutuhan tenaga kesehatan di seluruh daerah juga sudah dipetakan dan sebagian dipenuhi oleh pemerintah pusat.
Pengurangan kematian ibu hamil dan melahirkan juga membutuhkan peran aktif pemerintah daerah. Selama ini, pengurangan kematian ibu tidak merata karena sangat bergantung pada kepemimpinan dan kepedulian pemerintah daerah. Karena itu, perlu didorong keterlibatan aktif pemda dengan menjadikan indikator pengurangan angka kematian ibu dan anak sebagai indikator kinerja tiap kepala daerah.
salah satu contoh bagus dilakukan Pemerintah Kota Surabaya yang mempunyai program bidan pendamping calon pengantin. Para bidan membekali para calon pengantin tentang terkait pentingnya menjaga gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan bayi untuk menekan angka kematian ibu dan bayi. Selain itu juga ada program pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil.
“Pemkot Surabaya melakukan pemberian makanan tambahan kepada 1.061 bayi dan 975 ibu hamil untuk memastikan gizi mereka tercukupi selama 1.000 hari pertama kehidupan,” kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, di Surabaya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Febria Rachmanita mengatakan, prevalensi angka kematian ibu hamil dan bayi di Surabaya terus menurun. Pada 2016, prevalensi kematian ibu sebanyak 85,72 per 100.000 kelahiran hidup dan pada 2017 turun menjadi 79,40 per 100.000 kelahiran hidup. Adapun target angka kematian ibu di Jatim yakni 97,09 per 100.000 kelahiran hidup.
Non medis
Selain persoalan medis, persoalan non medis juga harus diselesaikan karena berpengaruh besar pada kematian ibu. Salah satu masalah utama non medis itu adalah tingginya perkawinan usia dini. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang membolehkan perkawinan remaja selama usia minimal mempelai perempuan 16 tahun dan mempelai laki-laki minimal 19 tahun.
Pernikahan remaja itu akan meningkatkan kematian ibu melahirkan karena pada umur itu organ reproduksi mereka belum sempurna hingga meningkatkan berbagai risiko medis. Pernikahan usia muda juga akan memperpanjang usia reproduksi hingga meningkatkan peluang melahirkan terlalu muda, terlalu banyak, terlalu rapat dan terlalu tua yang meningkatkan risiko persalinan.
“Peninjauan UU ini harus dilakukan berbasis bukti, khususnya terkait dampak kesehatan yang menyertainya,” tambah Akmal.
Peran tokoh agama dan budaya juga diperlukan untuk menekan pernikahan dini dan mencegah kematian ibu melahirkan. Kedua tokoh itu masih banyak dijadikan panutan masyarakat dalam bersikap, termasuk saat menentukan waktu pernikahan, hamil hingga mendapatkan bantuan untuk persalinan.
Hal lainnya, AIPI mendorong adanya cuti persalinan bukan hanya bagi ibu tetapi juga ayah untuk mendukung ibu menjalani persalinan dengan baik. Kepedulian keluarga juga perlu diperkuat mengingat keputusan rujukan persalinan banyak ditentukan oleh anggota keluarga lain, baik suami maupun keluarga besar.
Di sisi lain, AIPI mengusulkan pembentukan Komite Nasional Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir. Komite ini berguna sebagai forum komunikasi antarprofesi kesehatan, peneliti dan penyusun kebijakan hingga memudahkan penyelerasan kebijakan dan mengatasi berbagai persoalan yang muncul.
Dipelajari
Menanggapi rekomendasi itu, Nila mengatakan akan mempelajari secara detail setiap rekomendasi yang diberikan hingga bisa dijadikan landasan dalam penyusunan kebijakan berbasis bukti. Rekomendasi itu juga bisa mendorong aspek-aspek kematian ibu melahirkan yang perlu diteliti atau ditindaklanjuti.
Namun, rekomendasi itu tidak cukup dijadikan masukan bagi Kementerian Kesehatan saja. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi juga perlu mempelajari rekomendasi itu karena kementerian itu yang mencetak tenaga kesehatan. Dengan rekomendasi itu diharapkan bisa menghasilkan tenaga-tenaga kesehatan yang lebih berkualitas dan lebih peduli dengan pasien.
Infrastruktur kesehatan lingkungan, seperti sarana air bersih juga penting untuk meminimalkan kematian ibu melahirkan. Sarana ini bisa dipenuhi melalui program dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atau dibangun dengan dana desa melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Dengan tersedianya air bersih, risiko infeksi persalinan bisa ditekan.
Banyaknya hal di luar medis yang menentukan selamat atau tidaknya persalinan membuat upaya menekan kematian ibu melahirkan harus dilakukan semua pihak, mulai dari tenaga kesehatan, pemerintah lintas sektor, hingga masyarakat. Hanya dengan kerja bersama yang dilandasi bukti, target penurunan kematian ibu melahirkan bisa dicapai secara perlahan. (ADHITYA RAMADHAN/ESTER LINCE NAPITUPULU/AGNES SWETA PANDIA KLEDEN/IQBAL BASYARI)