Definisi Terorisme Tidak Boleh Dikaitkan dengan Agama
Oleh
DD07
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Definisi terorisme dalam revisi undang-undang antiterorisme masih diperdebatkan di Dewan Perwakilan Rakyat. Revisi undang-undang itu sedang memasuki tahap terakhir dan ditargetkan selesai akhir April 2018.
Anggota Panitia Khusus RUU Antiterorisme DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, definisi terorisme itu tidak boleh dikaitkan dengan agama agar tidak distigmakan kepada umat agama tertentu. ”Terorisme itu tindak pidana yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Intinya, terorisme dan agama itu tidak boleh dikaitkan,” katanya dalam jumpa pers di Kantor Imparsial, Jakarta Selatan, Kamis (29/3/2018).
DPR telah menerima usulan definisi terorisme dari pihak kepolisian, militer, akademisi, dan kelompok masyarakat. Masukan-masukan itu, ujar Arsul, akan dibahas minggu depan di DPR. Definisi terorisme yang akan dibahas itu meliputi terorisme, teroris, dan aksi teroris.
Di sisi lain, Soleman B Ponto, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis, mengatakan, definisi terorisme itu tidak perlu terlalu diperdebatkan. ”Lebih baik langsung melihat pelakunya. Kalau pelaku itu single wolf dan tidak terorganisasi, itu adalah tindak pidana dan ditangani pihak kepolisian. Kalau pelaku itu adalah kelompok yang terorganisasi, yang dihadapi adalah aparat militer,” katanya.
Peran TNI
Dua poin dalam revisi undang-undang antiterorisme yang belum disepakati di DPR adalah mengenai peran Tentara Nasional Indonesia dalam menangani terorisme dan definisi terorisme.
Peran TNI dalam menangani terorisme sudah disepakati dalam sidang panitia kerja dan akan memasuki tahap sidang panitia khusus, lalu paripurna.
Arsul mengungkapkan, hasil rumusan peran TNI itu adalah tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme adalah bagian dari operasi militer selain perang. Aksi terorisme itu dilaksanakan sesuai tugas pokok dan fungsi TNI. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan aksi terorisme itu diatur dalam peraturan presiden. Tugas pokok TNI itu mengacu pada undang-undang yang mengatur TNI dan pertahanan negara.
Pembahasan peran TNI, ujar Arsul, itu merupakan salah satu penyebab revisi undang-undang berlangsung lama. Pendekatan masing-masing pihak berbeda. Anggota Komisi III DPR memandang peran TNI dari segi pandang hukum, hak asasi manusia, keamanan, dan cenderung melibatkan peran aparat kepolisian. Adapun anggota Komisi I DPR yang mengurus bidang pertahanan, intelijen, dan luar negeri cenderung melibatkan aparat militer.
Dua undang-undang
Keterlibatan TNI dalam menangani terorisme diatur dalam dua undang-undang. Hal itu dianggap aneh oleh Soleman. ”Operasinya sama, yaitu OMSP (operasi militer selain perang). Pelaku yang akan melakukan OMSP sama, yaitu TNI. Tujuan OMSP sama, yaitu mengatasi terorisme. Namun, ada dua UU dengan persyaratan yang berbeda yang mengaturnya,” ujarnya.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, penanganan aksi terorisme merupakan salah satu tugas pokok TNI yang tergolong sebagai operasi militer selain perang. Aksi TNI melawan terorisme itu dilaksanakan berdasarkan keputusan politik negara. Dalam keadaan memaksa, presiden dapat langsung mengerahkan TNI.
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, pelaksanaan TNI mengatasi aksi terorisme itu diatur dalam peraturan presiden.
Kedua undang-undang itu, ketika bertentangan, kata Soleman, berpotensi merugikan TNI. ”Kalau TNI dipaksa melaksanakan UU Tindak Pidana Terorisme, TNI melanggar konvensi Geneva 1949. Dalam UU TNI, TNI hanya dapat digunakan apabila pelaku teroris memenuhi persyaratan sebagai pasukan pembangkang bersenjata,” katanya.
Skala ancaman terorisme
Mengacu pada sistem penanganan terorisme di Inggris, Arsul menjelaskan, peristiwa terorisme digolongkan berdasarkan level ancamannya. Di Inggris, ada lima skala ancaman, yaitu rendah (low), moderat (moderate), tinggi (high), gawat (severe), dan kritis (critical).
Apabila level ancaman itu kritis, TNI akan berada di garda terdepan dalam menanganinya, disertai dengan bantuan dari Polri. Apabila itu gawat, Polri menjadi garda terdepan, disertai dengan bantuan dari TNI. Apabila itu tinggi, moderat, atau rendah, itu hanya menjadi urusan Polri.
”Kriteria itu bisa diatur dalam perpres (peraturan presiden). Perpres mengatur kapan TNI dilibatkan,” ujar Arsul.