Perusahaan Rintisan Bukan Ancaman bagi Bank Konvensional
Oleh
DD13
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pelaku usaha yang bergerak di bidang bidang teknologi finansial menyatakan, perusahaan rintisan bukan ancaman bagi lembaga keuangan konvensional. Mereka justru dapat menjadi jembatan bagi lembaga tersebut kepada masyarakat yang belum terjangkau akses layanan keuangan.
Pemerintah menargetkan keuangan inklusif mencakup 75 persen penduduk pada tahun 2019. Data dari Convergence Ventures, sebuah perusahaan pendanaan, menyebutkan, penetrasi bank di Indonesia baru mencapai 36 persen.
COO Investree Ade Fauzan, dalam diskusi pada Fintech Festival (Finfest) 2018 “How Technology Drives The Financial Industry”, di Jakarta, Kamis (29/3/2018), menyatakan, menurut Otoritas Jasa Keuangan atau OJK, gap penyaluran kredit mencapai Rp 1.600 triliun. Investree adalah perusahaan rintisan tekfin di bidang peminjaman dengan sistem pembiayaan gotong royong daring (peer-to-peer lending).
“Ditambah lagi, 50 persen penyaluran kredit dilaksanakan hanya oleh 4 bank, dari sekitar 100 bank yang ada di Indonesia.” kata Ade. Perdebatan yang selama ini beredar bahwa keberadaan bank dapat digantikan oleh perusahaan teknologi finansial (tekfin) dinilai tidak tepat.
Ia mengatakan, bank masih akan terus menjadi bagian dari perkembangan transaksi keuangan Indonesia. Hal itu karena perusahaan tekfin tidak mungkin meminjamkan dana yang tidak berasal dari bank. Selain itu, tekfin juga berkolaborasi dengan lembaga perkreditan dan asuransi.
Ucapan senada juga diungkapkan oleh CMO Koinworks Jonathan Bryan dan COO dan Co-Founder Modalku Iwan Kurniawan. Menurut Jonathan, peminjaman yang diberikan oleh perusahaan tekfin kepada, misalnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di daerah, akan membuat mereka memiliki riwayat peminjaman.
Ketika mereka secara teratur meminjam dan membayar kredit dalam satu atau dua tahun, mereka akan memiliki akses untuk meminjam langsung kepada bank. Metode tersebut dinilai efektif ketika pelaku UMKM tanpa data keuangan yang sebelumnya tidak sesuai dengan standar bank.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dan mantan Menteri Keuangan tahun 2013–2014 Chatib Basri menyatakan, pemerintah perlu pandai membaca situasi dalam membuat regulasi terkait tekfin. Saat ini, tidak mungkin untuk membuat sebuah regulasi yang terlalu rinci karena dunia digital terus berubah.
“Daripada berdasarkan peraturan, lebih baik berdasarkan prinsip. Misalnya, indikator peminjaman yang ideal dan perlindungan konsumen,” kata Chatib.
Adapun Direktur Internasional OJK Triyono Gani menyatakan, OJK tidak akan membuat peraturan yang mengekang inovasi perusahaan rintisan tekfin. Tetapi, OJK tetap akan mewajibkan perusahaan melaporkan data yang bersifat self-assessment.
Perusahaan rintisan kategori unicorn akan dikenakan peraturan yang sedikit berbeda. Perusahaan rintisan kategori unicorn adalah perusahan dengan nilai valuasi lebih dari 1 miliar dollar AS. Perlakuan berbeda itu akan diterapkan karena perusahaan rintisan kategori unicorn mengelola dana dan memiliki dampak yang lebih besar terhadap perekonomian bangsa.
“Kami akan coba meningkatkan kesadaran manajemen resiko perusahaan agar tidak terjadi kekacauan ketika ada krisis,” tutur Triyono. Selain itu, OJK juga akan membuat peraturan yang membuat perusahaan berkolaborasi dengan lembaga lainnya, misalnya bekerja sama dengan biro kredit swasta.
Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) mencatat, sebanyak 135-140 perusahaan tekfin berkembang di tahun 2017. Angka itu naik secara signifikan sebanyak 78 persen sejak tahun 2016-2017. Data per Desember 2017 juga menyebutkan, terdapat 235 perusahan tekfin di Indonesia saat ini, terdiri dari 43 persen di sektor pembayaran, 17 persen sektor peminjaman, 13 persen agregator, 8 persen crowdfunding, 8 persen personal finance planning, dan 11 persen sektor lainnya. (DD13)