JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan RUU Antiterorisme telah mencapai tahap akhir. Namun, ada beberapa pasal yang masih perlu dibahas, khususnya terkait keterlibatan TNI dan definisi terorisme. Menurut rencana, RUU ini akan disahkan sebelum masa persidangan DPR berakhir.
Anggota Pansus Antiterorisme DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, DPR telah menyepakati keterlibatan TNI dalam RUU Antiterorisme ini. Keterlibatan TNI ini nantinya juga diatur dalam peraturan presiden.
”Nantinya keterlibatan TNI ini akan merujuk ke UU No 34/2004 tentang TNI yang mengatur keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme. Selain itu, ada juga perpres yang mengatur keterlibatan TNI ini,” katanya dalam acara Diskusi Publik Nasib Pembahasan Revisi UU Anti-terorisme di Jakarta, Kamis (29/3/2018).
Arsul mengatakan, pembahasan keterlibatan TNI dan definisi terorisme cukup alot karena ada perbedaan antara Komisi I dan Komisi III di DPR. Selain itu, perbedaan pandangan antarkementerian menjadi salah satu penghambat RUU ini selesai dibahas.
Arsul, menjelaskan, ada tiga poin yang dibahas mengenai hal ini, yaitu definisi terorisme, teroris, dan aksi terorisme. Selain itu, RUU ini juga akan disahkan sebelum masa persidangan DPR kali ini berakhir, 27 April 2018.
”Pembahasan definisi terorisme ini memunculkan stigma negatif bagi masyarakat Muslim yang kerap diidentikan dengan aksi terorisme,” ujarnya.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI (Bais) Soleman B Ponto mengatakan, ada beberapa hal yang rancu dalam pasal pelibatan TNI ini. Menurut dia, dalam UU No 34, pelibatan TNI dalam penaganan teorisme berdasarkan keputusan politik dan perintah presiden.
”Keputusan politik yang dimaksud ini adalah perlu ada pembahasan antara presiden dan DPR ketika ingin melibatkan TNI. Namun, dalam RUU yang baru, pelibatan TNI berdasarkan perpres. Jadi membuat bingung bagaimana nanti tata cara pelaksanaanya,” katanya.
Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam menjelaskan, perlu ada upaya pembahasan lebih lanjut terkait sistem penangkapan yang dilakukan TNI. ”Perlu dibahas juga terkait sistem penangkapan terduga, harus jelas di mana terduga akan ditahan dan diperiksa agar tidak ada dugaan pelanggaran HAM,” ujarnya.
Direktur Imparsial Al Araf mengapresiasi keputusan pansus RUU ini yang mencabut pasal penghilangan kewarganegaraan bagi pelaku terorisme. Namun, pembahasan terkait korban atau terduga yang salah tangkap.
Sebelumnya, (Kompas, 16 Maret 2018), Wakil Ketua Pansus Antiterorisme DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Hanafi Rais menambahkan, sekalipun diserahkan kepada Presiden, hendaknya perpres dikonsultasikan dengan DPR sebelum disahkan. Ini untuk mencegah ketentuan pelibatan TNI dalam perpres menyimpang dari tugas pokok TNI seperti sudah diatur dalam UU TNI atau undang-undang lainnya yang mengatur soal penanggulangan terorisme, seperti dalam UU Polri atau RUU Antiterorisme ketika nanti sudah disahkan.
Presiden diberikan keleluasaan untuk menetapkan skala dan kriteria dari setiap skala ancaman teroris karena bentuk serangan teroris memungkinkan berubah dari waktu ke waktu. DPR bersama pemerintah telah menetapkan skala ancaman untuk mengukur batas pelibatan TNI dalam memberantas terorisme.
Mekanisme itu mengacu pada sistem United Kingdom Terror Threat Level di Inggris. Ada beberapa level ancaman aksi terorisme. Mengacu pada sistem Inggris, level itu terdiri dari rendah-moderat-substansial-parah-kritis. (Kompas, 27 Januari 2018). (DD05)