Kemampuan Indonesia merawat kebinekaan dan menjunjung sikap saling menghargai antarumat beragama juga menjadi inspirasi masyarakat global. Kebinekaan telah menjadi modal yang menguatkan Indonesia.
Indonesia sejak awal lahir sebagai negara yang plural. Para pendiri negara pun menyadari perbedaan adalah rahmat dan anugerah Tuhan. Kebinekaan dikelola berlandaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
”Kemampuan kita sebagai bangsa majemuk menjadi sumber inspirasi negara-negara lain di dunia. Banyak negara yang ingin kokoh seperti kita,” ujar Presiden Joko Widodo dalam kuliah umum kepada ribuan mahasiswa di Universitas Islam Malang (Unisma), Kota Malang, Jawa Timur, Kamis (29/3).
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Tholchah Hasan, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan M Romahurmuziy, yang juga cucu salah satu pendiri Unisma Oesman Mansoer, Rektor Unisma Maskuri, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo hadir dalam kuliah umum yang digelar dalam rangka Dies Natalis Ke-37 Unisma itu.
Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi mencontohkan Afghanistan yang berharap bisa mengelola keragaman seperti Indonesia. Afghanistan merupakan negara yang memiliki tujuh suku. Namun, perselisihan dua suku yang kemudian meluas menjadi konflik bersenjata selama 40 tahun membuat bangsanya terpecah belah. Presiden Afghanistan Ashraf Ghani pun telah meminta Indonesia untuk menjadi mediator untuk mendorong perdamaian di negara ini.
”Kita sudah bertemu dengan ulama-ulama di Afghanistan dan minggu lalu juga sudah bertemu dengan kelompok yang kita undang ke Indonesia. Tentu dalam pertemuan tertutup,” kata Presiden.
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga telah berkunjung ke Kabul, Afghanistan, pada akhir Februari lalu untuk mengikuti Konferensi Proses Kabul. Konferensi tersebut merupakan bagian dari upaya menyatukan pihak-pihak bertikai agar rakyat Afghanistan bisa kembali menikmati kedamaian.
Kebinekaan Indonesia kemudian menjadi inspirasi bagi negara lain karena selain memiliki keragaman yang begitu besar, Indonesia merupakan negara kepulauan.
Hal ini yang membuat seluruh rakyat Indonesia harus mampu mengatasi tantangan menjaga komunikasi, memelihara toleransi, serta merawat persatuan dan kerukunan. Teratasinya semua tantangan tersebut akan membuat semangat persaudaraan satu bangsa dan satu tanah air serta kebinekaan terjaga.
Untuk itu, lanjut Presiden, semestinya semua warga tak mudah termakan isu-isu tidak bertanggung jawab, baik soal antek asing, utang luar negeri, PKI, maupun program pembagian sertifikat tanah gratis. Berbagai isu yang sebagian tidak berlandaskan bukti kuat, yang ditiupkan ini, hanya akan menimbulkan pesimistis.
Padahal, rakyat Indonesia harus memiliki mental baja dan etos kerja tinggi untuk memenangi persaingan global. Isu-isu tersebut, dinilai Presiden Jokowi, hanya untuk mengalihkan perhatian segala upaya dan kerja keras rakyat.
Presiden kemudian mencontohkan salah satu foto hasil rekayasa yang menampilkan wajahnya di depan mimbar DN Aidit, Ketua CC PKI, yang sedang berpidato. Presiden menjelaskan, dirinya lahir tahun 1961 sehingga tidak mungkin bisa menghadiri acara itu. Apalagi, PKI sudah dibubarkan oleh pemerintah sejak tahun 1965.
”Logikanya tidak masuk, tetapi ada yang percaya. Isu-isu seperti itu tidak ada rampungnya,” ujar Presiden.
Tidak termakan isu
Presiden pun berharap rakyat tak mudah termakan isu yang mengalihkan upaya dan kerja keras membangun bangsa. ”Kita harus tawakal, percaya diri, dan fokus membangun negara. Unisma harus menjadi contoh dalam merawat kebinekaan dan menjaga persatuan serta menjadi penggerak ilmu pengetahuan,” kata Presiden.
Kehadiran Presiden Jokowi di Unisma juga sekaligus meresmikan Gedung Umar bin Khattab yang berfungsi sebagai auditorium.
Adapun Maskuri mengatakan, Unisma siap mendedikasikan para tokohnya untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Sebagai kampus berbasis pesantren, Unisma memang membawa agenda perubahan. (INA)