Kecanggihan teknologi informasi saat ini memungkinkan siapapun bisa mengonsumsi film dari berbagai macam sumber. Dalam situasi seperti ini, masih perlukah Lembaga Sensor Film?
Pertanyaan besar ini patut digulirkan karena praktis sekarang negara tidak mungkin lagi mengandalkan pengawasan film-film bioskop, acara televisi, dan iklan hanya kepada Lembaga Sensor Film (LSF) semata. Kapasitas sumber daya manusia serta peralatan LSF yang sangat terbatas tidak akan mampu menyaring serbuan konten perfilman, acara televisi, dan iklan yang setiap hari terus-menerus masuk ke ruang-ruang privat masyarakat melalui perangkat-perangkat pengakses internet.
Perkembangan ilmu teknologi adalah keniscayaan. Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2017 mencatat, penetrasi pengguna internet di Indonesia telah mencapai angka 143, 26 juta jiwa atau 54, 68 persen dari total penduduk Indonesia sebanyak 262 juta jiwa.
Dari 143,26 juta jiwa pengakses internet di Indonesia, sebagian besar di antaranya (44,16 persen mengakses internet menggunakan telepon pintar atau tablet. "Jika (sensor) hanya dibebankan kepada negara, maka LSF tidak akan mampu menjangkau. Berapa ribu film yang harus kami lihat setiap hari?, apalagi sekarang teknologi informasi semakin canggih. Alat dan waktu kami tentu tidak akan mampu menjangkaunya,"ucap Ketua Komisi I Penyensoran dan Dialog LSF Imam Suhardjo, Senin (26/3) lalu di Jakarta.
Selama 2017, LSF menyensor sekitar 46.000 materi berupa film-film bioskop, acara televisi, iklan, dan sebagainya. Jumlah ini belum termasuk film-film yang beredar secara masif melalui media-media streaming, media sosial, serta aneka platform digital lain. Lalu siapa yang bertanggungjawab mengawasi itu semua?
Sensor mandiri
Bertolak dari situasi inilah, LSF beberapa tahun terakhir mengampanyekan perlunya sensor mandiri kepada para pelaku industri perfilman serta masyarakat. "Perlu ada sensor mandiri, yaitu perilaku sadar dari para pelaku perfilman untuk melakukan sensor secara mandiri terlebih dulu sebelum film-film mereka ditayangkan,"kata Imam.
Untuk menggalakkan gerakan sensor mandiri, LSF menggandeng Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu, LSF juga menggelar sosialisasi di seluruh Indonesia dengan muatan utama terkait sensor film.
Dalam melakukan sensor, LSF kini lebih mengedepankan mekanisme dialog dengan para produser serta sutradara. "Kami tidak langsung melakukan pemotongan dari adegan satu ke adegan berikutnya. Kami cukup berdialog dengan produser atau sutradara agar mereka merevisi bagian tertentu yang perlu dibenahi. Mekanisme dialogis seperti ini cenderung lebih efektif dan konstruktif,"ujar Ketua LSF Ahmad Yani Basuki.
Ekspresi budaya
Di tengah tantangannya yang semakin berat dan rumit, peran LSF mesti diperluas, bukan semata-mata sebagai lembaga penyensor, tetapi garda terdepan pengamanan kebudayaan. ”Di zaman ini, aman atau tidak aman bukan lagi sekadar persoalan kesiapan militerisme atau ketersediaan aparat keamanan, tetapi juga soal keamanan kebudayaan. Film adalah salah satu bentuk ekspresi budaya," kata Direktur Pusat Riset Kerja Sama Eropa Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia Henny Saptatia Drajati Nugrahani.
Sadar akan pentingnya film sebagai ekspresi kebudayaan, di tengah tantangan ekonomi yang berat, Uni Eropa konsisten mengalokasikan dana kohesi untuk perfilman bagi negara-negara anggotanya. Dana tersebut digunakan untuk pembinaan dan peningkatan kualitas perfilman serta subsidi produksi film.
Keberadaan lembaga sensof film di sebuah negara cenderung dihindari di berbagai negara. Selain Indonesia, hanya tinggal beberapa negera yang masih memiliki lembaga sensor film, antara lain China, Kuba, Korea Utara, dan Vietnam.
Banyak yang berpendapat mengapa di Indonesia, sebuah negara demokratis masih ada lembaga yang bertugas untuk menyensor film. Kata sensor semakin jarang dipakai karena dinilai sangat bertentangan dengan demokrasi, di dalamnya tidak ada kata dialog dan sebagainya. Rupanya pemahaman ini tidak berlaku kaku di Indonesia karena justru belakangan LSF menerapkan mekanisme dialog kepada para movie maker untuk melakukan pembenahan sebelum film mereka diluncurkan ke publik.
"Setelah menonton sebuah film tentang pembunuhan yang seram, seorang murid sekolah di Amerika Serikat kemudian melakukan pembunuhan massal terhadap teman-temannya. Ketika produser dan sutradara film tersebut dituduh bahwa film mereka memprovokasi dan memicu munculnya kekerasan di masyarakat, mereka mengelak. \'Saya bukan budak moral tetapi maestro perfilman\'ujar mereka. Kita harus memahami juga bahwa apa yang dilakukan pembuat film bukan kesalahan karena Amerika Serikat memang tidak mengenal sensorship," papar Henny.
Melihat tantangannya yang semakin rumit dan pelik, Henny mengusulkan perlunya mengganti istilah sensor dalam penamaan LSF, sekalipun nanti harus melakukan revisi terhadap undang-undang. Dengan penghapusan istilah sensor, maka tidak akan ada lagi muncul kontroversi terkait istilah sensor atau sensorship di Indonsia, dan ke depan relevansi keberadaan lembaga ini bisa lebih dikembangkan dengan lebih optimal.
Bagaimanapun, perhatian terhadap film sebagai ekspresi kebudayaan bangsa tetap dibutuhkan. Tak heran, Perancis yang sadar betul melihat film sebagai ekspresi kebudayaan berlaku sangat protektif dan sangat membatasi penduduknya menonton film-film yang tidak disaring terlebih dulu karena berpotensi menghancurkan kebudayaan mereka.
Di Indonesia, film masih banyak dipahami sebagai media hiburan serta entitas bisnis semata. Karena itulah, kehadiran negara diperlukan untuk memproteksi masyarakat dari paparan-paparan film yang mengancam kebudayaan.