DEPOK, KOMPAS -- Memastikan terwujudnya perlindungan anak di dalam sistem peradilan harus dimulai dengan mengubah pola pikir masyarakat, terutama aparat penegak hukum. Langkah pertama ialah dengan tidak mengkriminalkan anak yang berhadapan dengan hukum.
”Anak yang berhadapan dengan hukum akibat melakukan tindakan pidana sejatinya merupakan korban kekerasan berlapis yang terjadi di lingkungan tempat ia dibesarkan,” kata Wakil Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kekerasan terhadap Anak Marta Santos Pais dalam paparannya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, Jakarta, Kamis (29/3/2018).
Ia menjadi narasumber dalam diskusi bertema ”Akhiri Kekerasan terhadap Anak: Perlindungan Anak di Dalam Sistem Peradilan” yang diadakan Pusat Kajian Perlindungan Anak UI.
Santos Pais memuji Indonesia karena sudah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berfungsi sebagai payung hukum dalam semua kasus terkait dengan anak yang berhadapan dengan hukum. ”Tampak semangat Pemerintah Indonesia terhadap keadilan restoratif,” ujarnya.
Keadilan restoratif berarti mendisiplinkan anak yang berhadapan dengan hukum tidak dengan cara pidana untuk orang dewasa. Bagi anak yang melakukan kesalahan pidana dengan hukuman di bawah 7 tahun bisa dilakukan diversi.
Merujuk pada Pasal 1 angka 7 UU No 11/2012, pengertian diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pasal 5 Ayat (3) menegaskan, ”...dalam Sistem Peradilan Pidana Anak wajib diupayakan diversi”.
Berhadapan dengan hukum
Namun, Santos Pais mengingatkan agar tidak mengkriminalkan anak-anak yang berhadapan dengan hukum, misalnya anak yang terlibat narkoba, pelacuran, ataupun kekerasan.
”Keadilan restoratif harus memastikan mereka mendapat disiplin yang rehabilitatif. Mereka tidak kehilangan hak atas pendidikan dan kesempatan kedua dalam hidup,” ujarnya.
Menurut Santos Pais, hal ini merupakan prinsip. Apabila masyarakat menginginkan anak-anak terlindungi, harus ada sistem pencegahan kekerasan terhadap anak-anak yang rentan dieksploitasi. Contohnya adalah anak-anak miskin, anak jalanan, dan anak telantar. Hendaknya mereka bisa lepas dari stigma dan dijamin perlindungannya.
Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Bappenas Woro Srihastuti Sulstyaningrum dalam forum yang sama mengungkapkan, dari delapan aturan turunan yang diamanatkan UU No 11/2012, baru empat yang sudah dibuat peraturan presiden dan peraturan menteri. Hal penting seperti tindakan yang diberikan kepada anak pelaku pidana dan tata cara pelaksanaan pidana anak belum ada aturan turunannya.
”Infrastruktur pusat-pusat pembinaan anak dan keluarga serta sumber daya manusianya harus ditambah,” ujarnya.
Selain itu, harus ada pelatihan bagi aparat penegak hukum. Adapun data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tahun 2016 menyebutkan, ada 2.314 narapidana anak dan 899 tahanan anak. (DNE)