Dukung Jokowi, Golkar Incar Suara Akar Rumput
JAKARTA, KOMPAS — Partai Golongan Karya berusaha menyerap suara di tingkatan akar rumput pada Pemilu 2019. Efek ekor jas dari elektabilitas Joko Widodo terlihat sebagai peluang untuk meningkatkan elektabilitas dari partai politik berlambang pohon beringin tersebut.
Upaya yang dilakukan oleh Partai Golkar untuk menyerap suara akar rumput itu adalah dengan membentuk gerakan relawan yang diasosiasikan dengan sosok Joko Widodo (Jokowi). Kelompok relawan itu dinamai dengan Relawan Golkar Jokowi (Gojo).
Wakil Ketua Bidang Penggalangan Khusus Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Rizal Mallarangeng mengatakan, dengan adanya Relawan Gojo, hal yang ingin dicapai adalah organisasi nasional pada tingkat akar rumput sehingga partai itu dapat menjangkau suara di semua kalangan masyarakat.
“Kami berbicara bagaimana membentuk organisasi nasional di tingkat akar rumput, tingkat anak muda, dan tingkat kaum menengah. Segala tingkat untuk bersama-sama merayakan pesta demokrasi yang akan datang,” kata Rizal Mallarangeng, dalam pengukuhan Relawan Gojo di Duren Sawit, Jakarta Timur, Minggu (1/4/2014).
Rizal mengatakan, saat ini penggalangan dukungan masih difokuskan di wilayah DKI Jakarta. Jika gerakan itu sudah cukup kuat di DKI Jakarta, mereka berencana melebarkan sayap membuat gerakan berskala nasional.
Adapun tujuan utama dari adanya gerakan tersebut adalah memenangkan Jokowi dan meningkatkan elektabilitas Partai Golkar pada Pemilu 2019. ”Dengan ini juga memperkuat basis Partai Golkar untuk mendukung kemenangan Pak Jokowi. Tujuannya ada dua, yaitu memenangkan Pak Jokowi dan mengangkat Partai Golkar,” kata Rizal.
Saat dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, apa yang dilakukan Partai Golkar itu dapat dibaca sebagai usaha memanfaatkan tingginya elektabilitas Jokowi agar partai itu mendapatkan limpahan elektoral.
”Efek ekor jas akan menjadi variabel utama penentu kemenangan sebuah partai pada Pemilu 2019 karena pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dilakukan secara serentak,” kata Yunarto.
Efek ekor jas adalah adanya sebuah hubungan positif antara kekuatan elektoral seorang calon presiden (capres) dan partai pengusungnya. Hal itu berarti seorang capres atau presiden yang tingkat elektabilitasnya tinggi dapat memberikan keuntungan elektoral bagi partai pengusungnya (Kompas, 8/2/2018)
Partai Golkar tampak menjadi yang paling gencar mengasosiasikan dirinya kepada Jokowi dalam menyambut tahun politik. Selain membentuk gerakan relawan, partai itu menjadi yang pertama mendeklarasikan dukungannya terhadap Jokowi untuk maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2019.
Yunarto mengatakan, Partai Golkar menyadari kondisi partainya stagnan dan sulit menjadi besar karena tidak ada tokoh yang cukup kuat. Ia menilai, menautkan partai itu terhadap sosok Jokowi menjadi cara paling memungkinkan untuk meningkatkan elektabilitas mereka.
”Dengan kesan seperti itu, mereka mulai menggarap secara lebih blakblakan, secara lebih eksplisit, untuk menggantungkan partainya pada sosok Jokowi,” kata Yunarto.
Desember 2017, survei dari Saiful Mujani Research Center (SMRC) mencatatkan, elektabilitas Golkar terdorong apabila menjadikan Jokowi sebagai capresnya. Sebesar 33,4 persen responden dari total 1.220 responden menyatakan akan memilih Partai Golkar jika partai itu mengusung Jokowi. Sementara itu, ketika Partai Golkar mengusung ketua umumnya, Airlangga Hartarto, sebagai capres, hanya 15 persen responden yang akan memilih partai itu.
PDI-P perlu waspada
Yunarto mengatakan, jika Partai Golkar masih mengasosiasikan dirinya kepada Jokowi pada tataran udara, sebenarnya PDI-P tidak perlu terlalu khawatir bahwa suara pemilihnya akan teralihkan mengingat Jokowi adalah kader PDI-P. Namun, ketika Partai Golkar mulai bergerak di tataran akar rumput, PDI-P dianggap perlu mewaspadainya.
”Gerakan-gerakan di level grass root (akar rumput) bukan tidak mungkin membuat simpatisan (PDI-P) berubah arah. Apalagi kalau itu disertai dengan gerakan-gerakan yang membawa manfaat, seperti pemberian bantuan atau sosialisasi kebijakan,” ujar Yunarto.
Adapun para pemilih yang dapat berpindah pilihan itu adalah mereka yang mengagumi sosok Jokowi tetapi tidak terlalu terikat dengan ideologi partai. Yunarto menilai, PDI-P harus menyadari bahwa pemilih PDI-P itu tidak hanya mereka yang terasosiasi karena faktor ideologi saja.
”PDI-P harus menyadari salah satu kontributor terbesar mereka menjadi pemenang pada Pemilu 2014 itu bukan suara para pemilih Marhaen saja, bukan sekadar suara pendukung Megawati, melainkan ditambah juga dengan insentif baru bernama pemilih Jokowi,” kata Yunarto.
Yunarto menambahkan, PDI-P harus serius menjaga suara partai dengan mempertimbangkan para pemilih Jokowi itu sebagai faktor yang penting. Caranya adalah dengan menautkan partai itu dengan performa Jokowi. ”PDI-P harus memiliki asosiasi yang lebih kuat dengan Jokowi,” ujar Yunarto.
Secara terpisah, Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Pusat DPP PDI-P Eva K Sundari menyatakan, pihaknya tidak menampik bahwa efek ekor jas dari Jokowi akan dimanfaatkan partai-partai pendukung lain. Namun, Eva meyakini, limpahan elektoral terbesar masih jatuh kepada PDI-P.
”Induk semangnya Pak Jokowi adalah PDI-P. (Jokowi) sudah merah sejak awal. Ini berdasarkan riset-riset yang sudah dilakukan. Teori bahwa asosiasi (dengan Jokowi) akan mendatangkan kelimpahan elektoral itu juga paling kuat ke PDI-P,” kata Eva saat dihubungi dari Jakarta. ”Oleh karena itu, yang bisa diungkapkan untuk menambah lebih banyak limpahan ke PDI-P adalah mengungkap fakta-fakta bahwa DNA Jokowi itu banteng. Bukan yang lain.”
Desember 2017, Survei SMRC mengungkapkan, elektabilitas PDI-P mencapai 27,6 persen. Elektabilitas itu menjadi yang tertinggi dibandingkan partai-partai lain. Elektabilitas setinggi itu diperoleh karena adanya kepuasan terhadap kinerja pemerintah sebesar 74,3 persen (Kompas, 3/1/2018).
Eva juga mengakui, PDI-P terkesan kurang agresif seperti partai-partai lain untuk mengasosiasikan Jokowi sebagai bagian PDI-P. Menurut Eva, hal itu tidak terlalu penting karena Jokowi memang merupakan kader dari PDI-P.
Eva menambahkan, kekuatan inti PDI-P terdapat pada struktur partai yang kuat. Mereka juga sudah memiliki barisan relawan yang siap menjangkau kelompok-kelompok yang tidak dapat dijangkau oleh organisasi kepartaian.
”Intinya di struktur partai yang kuat, mulai dari pusat sampai anak ranting. Komunikasi politik itu selalu kami jaga,” ujar Eva. ”Relawan adalah pelangkap untuk menjangkau kelompok yang tidak terjangkau seperti pemilih pemula. Momen-momen pilkada ini kami berlatih untuk tetap waspada dan terus bekerja.”