Kapolri: Antisipasi Konflik di Era Demokrasi sejak Dini
Oleh
Haris Firdaus
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Tito Karnavian menyatakan, sistem demokrasi yang dianut di Indonesia berpotensi diwarnai berbagai konflik di kalangan masyarakat, baik karena persoalan identitas maupun kesenjangan ekonomi. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah antisipasi sejak dini agar potensi konflik yang ada tidak menjadi nyata.
”Potensi konflik sosial antar-masyarakat harus diminimalkan,” kata Tito saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional Realitas dan Tantangan Konstitusionalisme Hak Asasi Manusia di Tahun Politik, Sabtu (31/3/2018), di kampus Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Tito menyatakan, sistem demokrasi yang dianut Indonesia sejak Reformasi 1998 telah melahirkan iklim kebebasan dan keterbukaan yang sangat luas di berbagai bidang. Pada satu sisi, iklim semacam itu memiliki banyak manfaat positif, tetapi di sisi lain juga berpotensi melahirkan efek negatif.
Hal ini karena kebebasan yang sangat luas itu berpotensi dimanfaatkan sebagian kalangan untuk tujuan yang tidak baik, misalnya melakukan propaganda untuk menguatkan sikap primordialisme kesukuan. ”Yang dikhawatirkan itu adalah mengentalnya primordialisme dan kesukuan sehingga membuat segregasi,” ujar Tito.
Tito menambahkan, selain primordialisme kesukuan, menguatnya primordialisme keagamaan juga harus diantisipasi. Apalagi, penguatan primordialisme keagamaan itu juga sangat mungkin didukung oleh masuknya paham atau ideologi tertentu dari luar Indonesia. ”Yang lebih sensitif itu adalah primordialisme keagamaan, apalagi dengan adanya arus deras ideologi yang mungkin tidak sesuai dengan ideologi asli Indonesia, yakni Pancasila,” ungkapnya.
Tito menuturkan, potensi konflik lain yang juga harus diantisipasi adalah konflik yang disulut oleh masalah kesenjangan ekonomi. Potensi konflik itu harus diantisipasi karena saat ini kesenjangan ekonomi di Indonesia dianggap masih cukup tinggi.
Menurut Tito, potensi berbagai konflik itu kian tinggi karena ada sebagian masyarakat Indonesia belum memiliki pendidikan yang baik sehingga mudah dimanfaatkan atau diadu domba oleh pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan. ”Apalagi ditambah kekuatan media sosial yang bisa mempercepat (konflik),” ujarnya.
Tito mengatakan, walaupun berpotensi diwarnai berbagai jenis konflik, sistem demokrasi harus dipertahankan. Namun, potensi konflik yang ada mesti diantisipasi agar tidak sampai terjadi. ”Kita pertahankan sistem demokrasi ini, tetapi kita harus meminimalkan dampak negatifnya, seperti menguatnya primordialisme,” ungkapnya.
Untuk mencegah agar konflik tidak terjadi, Tito menyatakan, dibutuhkan langkah-langkah antisipasi konflik yang baik. Di kepolisian, misalnya, antisipasi konflik dilakukan dengan memperkuat koordinasi dengan pihak-pihak lain, termasuk tokoh masyarakat, sehingga potensi terjadinya konflik bisa dicegah sejak dini.
”Di bidang keagamaan, FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) harus benar-benar aktif. Kita harus memetakan potensi konflik dan menekan agar jangan sampai terjadi konflik,” ungkap Tito.
Di sisi lain, Tito mengingatkan, pembangunan yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat juga sangat penting untuk mencegah terjadinya konflik, terutama konflik yang dipicu oleh masalah kesenjangan ekonomi atau kecemburuan sosial. ”Pertumbuhan ekonomi yang sudah di atas 5 persen ini harus kita pertahankan. Stabilitas politik dan keamanan juga harus kita jaga agar para pelaku ekonomi merasa yakin,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Hukum UII Ni’matul Huda mengatakan, masyarakat harus berpartisipasi aktif mengawasi proses-proses politik dalam sistem demokrasi, misalnya pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif, dan pemilihan presiden. Pengawasan itu penting agar proses politik yang dilaksanakan benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
”Karena pemilu menjadi semakin mahal dan money politics (politik uang) bertambah marak, maka perlu partisipasi masyarakat dalam pemantauan pilkada tahun 2018 dan pemilu tahun 2019,” ujar Ni’matul.