JAKARTA, KOMPAS — Penetapan sejumlah anggota dan mantan anggota DPRD Sumatera Utara menjadi momentum bagi calon gubernur Sumut untuk memutus mata rantai korupsi. Jika terpilih, calon gubernur ini diharapkan mampu merombak birokasi dan tidak tersandung masalah korupsi lagi seperti beberapa gubernur sebelumnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan 38 politisi yang sudah tidak menjabat sebagai anggota DPRD Sumut ataupun yang masih sebagai tersangka kasus suap DPRD Sumut. Kasus ini merupakan pemgembangan dari kasus mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.
Beberapa di antara mantan anggota DPRD Sumut yang menjadi tersangka tersebut kini malah telah berkarier sebagai anggota DPR. Sebelumnya, pada 2016, Gatot diberhentikan dari jabatannya karena terbukti bersalah dalam sejumlah perkara korupsi, seperti suap pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumut di DPRD hingga korupsi penyaluran dana bantuan sosial.
Sejak 2011, nama Gubernur Sumut seolah tidak pernah lepas dari jeratan kasus korupsi. Syamsul Arifin merupakan Gubernur Sumut (periode 2008-2013) pertama yang terpilih langsung oleh rakyat. Ia, yang saat pilkada diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan sejumlah partai kecil lain, terbukti bersalah dalam kasus korupsi APBD Kabupaten Langkat dengan kerugian negara Rp 98,7 miliar. Syamsul divonis 6 tahun penjara dan diberhentikan dari jabatannya pada 2011. (Kompas, 4 Januari 2018)
Pengganti Syamsul adalah Gatot yang merupakan wakil gubernur saat itu. Gatot pun tersandung kasus korupsi ketika dia menjabat gubernur.
Aktivis Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, mengatakan, mata rantai korupsi di Sumut bisa saja terputus jika gubernur terpilih nantinya mampu merombak birokrasi. ”Kalau terpilih gubernur yang benar, mata rantai korupsi ini bisa saja terputus, karena DPRD-nya sudah ’cuci gudang’, hampir tidak mungkin lagi maju,” ujar Donal di Jakarta, Minggu (1/4/2018).
Oleh sebab itu, Donal menjelaskan, pada Pilkada 2018, masyarakat diharapkan mampu memilih calon gubernur atau kepala daerah yang memiliki rekam jejak bersih dari kasus korupsi. Ia menuturkan, masyarakat tidak hanya memilih pemimpin daerah berdasarkan atas kesamaan suku dan politik uang.
”Hal yang lebih penting daripada visi dan misi adalah rekam jejak para calon. Visi dan misi hanyalah kosmetik politik yang dilemparkan pada saat kampanye. Implementasinya terkadang tidak sesuai harapan,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Tri Sasongko menjelaskan, proses pembahasan APBD yang tertutup dan jauh dari pengawasan publik menjadi salah satu celah korupsi di daerah.
”Ini merupakan momentum bagi gubernur terpilih nantinya yang ditantang untuk membuktikan bahwa ia berbeda dengan penduhulunya. Ia harus membuka semua informasi terkait anggaran kepada publik dan mengajak masyarakat untuk ikut mengawasi,” ujarnya.
Dadang mengatakan, kasus korupsi APBD ini sudah terjadi sejak 2000 dan terjadi di Sumatera Barat. ”Ketika itu, lebih dari 40 anggota DPRD Provinsi Sumbar masuk penjara. Sekarang, yang terjadi di Sumut karena sejumlah pihak yang memanfaatkan celah korupsi karena pembahasan APBD yang tertutup,” katanya.
Pengawasan daerah
Menurut Donal, pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat daerah masih kurang untuk mencegah kasus korupsi. ”Inspektorat daerah itu bekerja di bawah gubernur. Jadi sistem pengawasannya belum maksimal. Masih berada di bawah bayang-bayang politik,” ujarnya.
Donal menjelaskan, parpol juga memiliki peran untuk mengurangi praktik korupsi. Menurut dia, selama masih ada mahar politik, maka calon kepala daerah akan sulit terlepas dari jerat korupsi.
Dadang menuturkan, peran pengawasan ini bisa diperkuat oleh kelompok masyarakat sipil yang kritis di sejumlah daerah. Kelompok masyarakat sipil ini juga diarapkan aktif untuk mensosialisasikan rekam jejak para calon kepala derah.
”Calon-calon sebelumnya tidak dikenal oleh publik, hal ini yang menyebabkan masyarakat salah menentukan pilihannya,” kata Dadang.