DKI Tidak Akan Membuat Regulasi
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak akan membuat regulasi khusus untuk mengatur angkutan daring, khususnya ojek daring, di wilayah Ibu Kota. Hal ini karena belum ada dasar hukum kuat yang menegaskan ojek daring sebagai alat angkutan umum. Kebijakan dan arahan pemerintah pusat ditunggu.
JAKARTA, KOMPAS -- Hingga kuarter pertama 2018, sistem transportasi publik di Jakarta belum mampu membuat warganya berbondong-bondong menggunakan angkutan umum. Data dari Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), terhitung hingga pertengahan 2017 lalu, tercatat baru 24 persen dari total perjalanan orang di Jakarta menggunkan angkutan umum. Sisanya mengandalkan kendaraan bermotor pribadi dan tentu saja angkutan dalam jaringan (daring).
Sedikitnya peminat angkutan umum ini dikarenakan moda transportasi yang ada belum dapat melayani warga dari titik awal keberangkatan hingga titik akhir tujuan dengan efektif. Padahal, jaringan bus transjakarta sudah mencapai 13 koridor dan tengah dirintis integrasi dengan angkutan reguler juga dengan kereta komuter. Akan tetapi, tetap saja saat ini semua moda angkutan umum tersebut belum terintegrasi dengan baik. Waktu tempuh bisa amat lama. Biaya pun besar.
Untuk itu, keberadaan angkutan daring, baik ojek maupun taksi, begitu disambut hangat oleh warga ibu kota. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta amat menyadari kondisi tersebut.
Sehingga, meskipun ribuan pengemudi ojek daring memenuhi kawasan Medan Merdeka Barat, Selasa (27/3) lalu untuk meminta keadilan pemerintah, DKI tidak akan membuat regulasi khusus untuk ojek daring di wilayah Jakarta. DKI memastikan belum ada dasar hukum kuat yang menegaskan ojek daring sebagai alat angkutan umum.
"Kalau masalah ojek daring kita ikut Kementrian Perhubungan dan Kepolisian. Dalam UU Nomor 29 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), ojek daring belum terakomodir. Bahkan sampai saat ini kalau kita tanya ke Kemenhub, dasar hukumnya apa? Terus ojek daring masuk kategori angkutan apa? Belum dijawab juga," jelas Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah, Jumat (30/3).
Menurut Andri, meski dasar hukumnya atau aturannya belum ada, tetapi ojek daring sudah beroperasi di wilayah Jakarta. Dishub DKI, lanjut Andri, tidak bisa melarang karena faktanya keberadaan ojek masih dibutuhkan masyarakat.
"Makanya sempat jadi perdebatan. Untuk daerah yang membuat aturan tentang ojek daring, cantolan aturan di atasnya apa? Kan aturan di bawah tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya?" tegas Andri.
Revisi UU
Apabila pemerintah pusat meminta supaya setiap pemerintah daerah membuat aturan tentang ojek daring, Andri memberi masukan, pemerintah pusat harus merevisi terlebih dahulu UU LLAJ. "Kalau perubahan atau direvisi bisa dilakukan, nanti daerah membuat aturan pelaksananya," katanya.
Saifullah, Sekretaris Daerah Pemprov DKI Jakarta yang ditemui dalam acara pencanangan Kawasan Berorientasi Transit (KBT) MRT Jakarta, Kamis (29/3) menegaskan, DKI memang belum membuat aturan daerah tentang ojek daring ataupun ojek pangkalan. Karena belum ada aturan hukumnya, DKI memilih melakukan penertiban setiap hari bekerjasama dengan Polda Metro Jaya.
Yani Wahyu Purwoko, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta menjelaskan untuk urusan ojek yang berwenang mengurusi adalah Dinas Perhubungan DKI bukan bidangnya. Yang jadi wewenang Satpol PP menurut Yani, adalah menertibkan ojek daring dan ojek pangkalan bila sudah mengganggu lalu lintas atau keramaian.
"Kami sudah pernah berkoordinasi dengan pengelola aplikasi. Saat itu ditegaskan kalau ada ojek daring yang melanggar ketertiban silakan diangkut sepeda motornya dan laporkan nomornya ke pengelola untuk diberi sanksi," kata Yani tanpa mau merinci bagaimana Satpol PP i bekerja menertibkan ojek daring atau penugasan personelnya.
Karena karakternya yang adalah daring dan belum masuk kategori angkutan umum, Andri menambahkan, DKI tidak akan menyediakan kantung-kantung untuk mangkal bagi ojek daring. "Kalau dilihat konsep awalnya kan seharusnya ojek daring tidak perlu ngetem," tegas Andri.
Penindakan ojek daring bagi Dishub DKI, lanjut Andri, dengan bekerjasama dengan kepolisian adalah melakukan penindakan tilang atau stop operasi bila ojek daring melanggar aturan lalu lintas.
Sesuai mekanisme
Dampak ojek daring dan taksi daring adalah lalu lintas yang semakin semrawut di tempat-tempat tertentu. Kerumunan ojek dan taksi daring yang menjemput atau menurunkan penumpang menyebabkan kemacetan di sekitar stasiun, kawasan perbelanjaan, dan perkantoran.
Menurut Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Idham Azis, Kamis, sudah ada mekanisme mengatasi pelanggaran lalu lintas oleh ojek daring maupun taksi daring. “Mekanisme itu berupa peringatan, teguran, bahkan sampai penilangan,” ujar Idham.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Halim Pagarra mengakui, jumlah pelanggaran lalu lintas oleh ojek daring maupun taksi daring cukup signifikan. Tetapi, Halim tidak menyebutkan angka.
Jenis pelanggaran yang paling banyak oleh pengemudi kendaraan roda dua adalah melawan arus dan berhenti atau parkir di tempat yang dilarang. Sedangkan jenis pelanggaran oleh pengemudi kendaraan roda empat yang terbanyak adalah berhenti atau parkir di tempat yang dilarang.
Halim tak menampik soal keterbatasan personel yang menyebabkan tidak semua jalan dapat diawasi. “Kami belum bisa memantau seluruh jalan, padahal pelanggaran terjadi di hampir semua jalan. Di sekitar Stasiun Palmerah, misalnya, sudah ada tanda dilarang parkir atau berhenti, tapi terus dilanggar. Setelah petugas pergi, mereka datang lagi,” ujarnya.
Halim menuturkan, polda bekerjasama dengan Dinas Perhubungan mengatasi berbagai jenis pelanggaran lalu lintas. Misalnya pelanggaran rambu dilarang berhenti atau parkir dan pelanggaran fungsi trotoar.
Selama Operasi Keselamatan Jaya 2018 yang berlangsung 21 hari (5-25 Maret) di wilayah Polda Metro Jaya, dua jenis pelanggaran kendaraan roda dua yang terbanyak adalah melawan arus (1.442 pelanggaran) dan melanggar rambu atau marka berhenti (1.188 pelanggaran). Adapun pelanggaran kendaraan roda empat yang terbanyak adalah melanggar rambu atau marka berhenti (625 pelanggaran). Data tersebut tidak menyebutkan berapa jumlah pelanggaran yang dilakukan ojek atau taksi daring.
Pembatasan diperlukan
Membludaknya angkutan daring, khususnya ojek daring, diakui oleh para pengemudinya. Bhea Cameron (46) pengojek daring asal Bekasi Utara mengungkapkan, pada 2015, setiap hari ia bisa melayani belasan order. Namun, kini, ia hanya mendapat paling banyak tujuh order setiap harinya. Pengojek lain, Lukman (37) asal Pademangan, Jakarta Utara mengalami hal sama. Dulu, sehari ia bisa mendapat 20 pesanan, kini paling banyak ia mendapat 13 order, penurunan sekitar 35 persen.
“Pengojek saya rasa sudah cukup banyak. Pembatasan wajib dilakukan,” kata Cameron.
Cameron menilai sistem pendaftaran sebagai pengojek daring sudah cukup bagus dengan mewajibkan calon pendaftar untuk melampirkan berbagai dokumen identitas. “Untuk mendaftar harus menunjukkan KTP, SIM, STNK dan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK),” katanya.
Adi Karya (32) pengojek daring Palmerah menilai perusahaan aplikasi harus diminta untuk menghentikan proses penerimaan pengojek karena jumlahnya akan terlalu banyak. “Jangan sampai pendaftaran pengojek hanya dijadikan lahan mencari uang bagi perusahaan aplikasi,” kata Adi yang sering mangkal di Stasiun Palmerah. Ia menceritakan, setiap pengojek daring baru harus menyicil pembelian jaket dan helm sebesar Rp 70.000 selama delapan bulan.
(HLN/WAD/DEA/DD17/NEL)