Harta Karun di Dalam Kulkas
Di bawah cahaya lampu, Sukiman (43) tersenyum membuka kulkasnya. Belasan es batu dan ikan berjejer rapi. Inilah harta karun warga Desa Kwangko, Kecamatan Manggalewa, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat.
Sore itu, Sabtu (31/3/2018), Sukiman bersiap melaut dengan membawa es batu. Sebagai nelayan, es batu membuatnya menjaring ikan lebih lama sekaligus memperpanjang kesegarannya. Hasilnya bisa 50 kilogram sekali berlayar. Harga 1 kilogram ikan dasar laut Rp 30.000-Rp 40.000.
Penghasilan tersebut belum termasuk penjualan satu buah es batu seharga Rp 1.000. Dalam sehari, ia mampu menjual 20 es batu kepada nelayan setempat yang membutuhkan. Rumahnya yang berlantai keramik menjadi tempat kumpul menonton televisi.
”Kekayaan” itu dia raih setahun terakhir sejak listrik mengalir dari PT PLN (Persero). Listrik bersubsidi dengan daya 900 volt ampere (VA) di rumahnya mampu menyalakan kulkas, kipas angin, dan lampu agar anaknya belajar di malam hari.
Rumahnya salah satu dari 79 rumah yang menikmati listrik di Dusun Pulau, bagian utara Desa Kwangko. Di sana terdapat lebih dari 100 rumah. Untuk menjangkaunya, warga kini harus melintasi jalan terjal berbatu dan tanah sekitar 3 kilometer dari Jalan Lintas Sumbawa. Saat hujan, jalur itu becek dan tidak bisa dilintasi. Sebelumnya, warga menyeberang menggunakan perahu selama 5 sampai 10 menit.
Sebelum 2017, warga setempat tidak dapat menikmati listrik sepenuhnya. Sekitar 15 tahun, mereka bergantung pada mesin generator set (genset) yang hanya menerangi rumah warga pada pukul 18.00 hingga 22.00. Sebelum itu, warga bergantung pada lampu templok.
Setiap rumah membayar Rp 75.000 per bulan untuk biaya operasional genset. Bagi Sukiman, jumlah itu lebih mahal dibandingkan biaya listrik prabayar sebesar Rp 50.000 selama 20 hari untuk menyalakan berbagai barang elektronik selama 24 jam.
Ketika itu, nelayan paling lama hanya mampu melaut 3 jam. Akibatnya, ikan yang didapatkan sedikit, sekitar 10 kilogram. Ini belum termasuk ongkos membeli es batu di pusat desa seharga Rp 1.000 per balok. ”Alat elektronik juga rusak karena listrik naik turun. Di sini, setiap rumah bisa punya 3 sampai 4 televisi. Yang dipakai hanya satu, lainnya rusak,” ujar Ridwan (37), warga setempat yang mengaku punya 3 televisi bekas.
Namun, itu cerita lama. Saiful (58), mantan Kepala Desa Kwangko, meyakinkan PLN untuk mengalirkan listrik ke daerah itu. Tiang listrik seberat hingga 1 ton diangkut menggunakan dua kapal cepat. Warga ikut bergotong royong memasangnya. Warga pun kini menikmati listrik siang malam. ”Saya langsung sujud syukur saat listrik masuk,” ujarnya.
”Selama puluhan tahun Indonesia merdeka, kami baru merasakan listrik tahun lalu. Pak Jokowi sudah dapat penghargaan di mata kita (saya),” ucap Diding Abu, tokoh masyarakat setempat.
Nabil Martini (13), siswa kelas VI SD Negeri 5 Manggalewa, juga bahagia. ”Senang rasanya saat tengah malam kampung sudah tidak gelap, jadi tidak menakutkan. Bisa belajar malam tanpa khawatir tiba-tiba listrik padam,” ungkap Nabil.
Usaha produktif
Dengan listrik, usaha produktif masyarakat juga bermunculan. Selain menjajakan es batu dan ikan segar, warga juga menjual pulsa token (listrik). ”Dulu saya enggak kerja apa-apa. Sekarang jual token. Sehari bisa dapat Rp 300.000,” kata Fitriah, satu dari tiga warga yang membuka usaha serupa.
Memang, menurut Fitriah, listrik masih padam sebulan sekali. Namun, itu lebih baik dibandingkan pasokan listrik belasan tahun lalu yang hanya beberapa jam.
Pasokan listrik itu merupakan program listrik desa yang membangun Jaringan Tegangan Menengah (JTM) 20 kilovolt (kV) sepanjang 4,1 kilometer sirkuit (kms) untuk pelayanan listrik di pulau tersebut. Saat ini PLN sudah membangun dua gardu dengan kapasitas masing-masing 100 kVA dengan panjang jaringan tegangan menengah 7,2 kms untuk pelayanan listrik di pulau tersebut. Dari total panjang jaringan tersebut, sepanjang 150 meter sirkuit (ms) melintasi perairan Teluk Saleh yang menghubungkan Pulau Sumbawa dengan sejumlah dusun di Kwangko.
Di Kabupaten Sumbawa Barat, usaha udang vaname juga ikut menggeliat berkat pasokan listrik PLN. PT Bumi Harapan Jaya, perusahaan yang memproduksi vaname, misalnya, bisa mengurangi biaya operasional genset sejak menggunakan listrik PLN pada Januari 2018. ”Kami bisa hemat sekitar 20 persen,” ujar Manajer Site PT BHJ Eko Budianto.
Sembilan genset, yang dulunya membutuhkan 15.000 kiloliter solar selama tiga hari untuk memutar kincir tambak, kini tersimpan di gudang. Kincir pada 134 petak tambak atau lebih dari 53 hektar pun tidak lagi berhenti tiba-tiba akibat asupan listrik dari diesel terhenti. Kondisi ini bisa membuat udang stres dan akhirnya mati.
”Sekarang, kami tidak perlu khawatir. Setiap petak, produksi bisa 9 hingga 10 ton. Dulu, hanya 8 ton,” ujar Eko. Produksi komoditas ekspor tersebut juga mampu melibatkan 105 pekerja yang sebagian besar merupakan warga setempat.
Pihaknya bahkan berencana menambah lahan tambak jika pasokan listrik dari PLN terus meningkat. Masih ada sekitar 240 hektar lahan yang dapat dijadikan tambak udang. Artinya, potensi bertambahnya tenaga kerja terbuka lebar.
Berdasarkan data PLN Wilayah NTB, rasio elektrifikasi di NTB mencapai 85,10 persen. Ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 77,68 persen. Program listrik desa sejak 2016 hingga kini di NTB telah menerangi 251 dusun.
General Manager PLN Wilayah NTB Mukhtar menargetkan rasio elektrifikasi di NTB mencapai 100 persen pada 2019. Untuk itu, pihaknya tengah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mesin, Gas, dan Uap (PLTMGU) Lombok Peaker berkapasitas 150 MW. ”Jauh atau dekat daerahnya, kami upayakan alirkan listrik,” ucapnya.
Listrik tak hanya menerangi rumah, tetapi juga memacu usaha produktif warga, seperti yang dilakukan warga di Kwangko ataupun pengusaha udang vaname di Sumbawa Barat. Kondisi ini perlu terus dibenahi dan ditingkatkan kualitas pelayanannya sehingga setiap tahun masyarakat selalu merasakan manfaat dari pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan. (DIMAS W NUGRAHA/ABDULLAH FIKRI/KHAERUL ANWAR)