JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai menerapkan uji parasit terhadap ikan beku dan produk ikan di kaleng. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian terhadap bahan baku dan produk ikan kaleng yang diimpor.
Kepala Pusat Pengendalian Mutu Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Widodo Sumiyanto, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (31/3/2018), mengatakan, sejak Januari 2018 pihaknya melayangkan surat edaran kepada aparat karantina perikanan di daerah untuk menerapkan uji parasit terhadap impor ikan beku dan produk ikan di kaleng.
Penambahan uji parasit pada ikan makerel mulai diberlakukan awal tahun ini setelah ada notifikasi dari Peru terhadap potongan cacing yang ditemukan dalam produk ikan di kaleng yang masuk ke Peru. Dari notifikasi itu, pihaknya menambah instrumen pengawasan untuk kehati-hatian terhadap produk impor ikan beku dan ikan di kaleng yang masuk ke Indonesia.
Februari 2018, BKIPM-KKP mengirimkan notifikasi kepada Pemerintah China dan mengembalikan 1 kontainer berisi 19,1 ton ikan di kaleng yang diimpor dari China. Pengembalian produk impor itu dilakukan karena ditemukan potongan cacing atau Anisakis sp. Akan tetapi, potongan cacing mati itu dinilai tidak membahayakan sehingga tidak perlu dimusnahkan.
Menurut Widodo, SNI tidak mewajibkan untuk melakukan uji parasit terhadap ikan beku dan ikan di kaleng. Standar keamanan pangan AS dan Eropa juga tidak mewajibkan uji parasit sebagai jaminan keamanan pangan. Hal itu disebabkan produk ikan di kaleng umumnya sudah melalui prosedur pembekuan hingga sterilisasi yang memadai, yakni mulai dari pencucian, penyimpanan ikan dengan suhu di bawah minus 20 derajat celsius, serta pemasakan dengan suhu 121 derajat celsius. Proses itu dinilai memadai untuk membuat Anisakis sp mati.
Aman dikonsumsi
Anisakis sp secara alamiah ada di laut, menempel dan berparasit pada ikan pelagis, termasuk makerel. Apabila Anisakis sp hidup dan termakan manusia, hal itu akan membahayakan konsumen karena memicu alergi, hingga kematian.
”Dalam manajemen keamanan pangan, cacing tidak menjadi potensi bahaya. Potongan cacing yang ditemukan dalam kondisi mati pada ikan kaleng tetap aman dikonsumsi,” ujar Widodo.
Saat ini, kata Widodo, semua bahan baku pengalengan ikan makerel diimpor dari China, Korea, dan beberapa negara ASEAN. Sebagian produk hasil pengalengan dalam negeri yang memakai bahan baku makerel impor juga dipasarkan ke luar negeri, seperti ke Uni Eropa, Amerika Serikat, Timur Tengah, dan Afrika. Ekspor produk ikan di kaleng itu mengikuti standar negara pengimpor. ”Hingga kini, tidak ada penolakan produk ikan kaleng asal Indonesia di pasar luar negeri akibat Anisakis sp,” ujarnya.
Industri pengalengan juga diimbau meminimalkan potensi potongan Anisakis sp dengan meningkatkan ketelitian proses pencucian dan pembersihan ikan sebelum diolah.
Temuan cacing dalam ikan kaleng meresahkan produsen ikan kaleng dalam negeri. Supriyanto, dari Humas Perusahaan Yala Samudera, produsen ikan kaleng di Banyuwangi, Jawa Timur, mengatakan, kasus cacing dalam kaleng dikhawatirkan merusak pasar seluruh ikan kaleng, padahal tidak semua tercemar. ”Pabrik kami hanya produksi sarden. Kalau orang pukul rata, kami pasti kena imbasnya,” katanya. (LKT/WER)