Penundaan Penerapan Aturan Kontradiktif
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah, baik pusat maupun daerah, terus gagap menghadapi membeludaknya angkutan dalam jaringan (daring), baik ojek sepeda motor daring maupun taksi daring.
Angkutan daring mulai diminati di Indonesia sekitar tahun 2014. Kini, angkutan daring telah menguasai bisnis layanan transportasi di kota-kota besar di Indonesia. Desakan agar pemerintah membuat aturan hukum guna mengontrol angkutan daring terus dilakukan. Tidak lain untuk melindungi konsumen, pengemudi, kelangsungan bisnis angkutan daring, juga meminimalkan dampak ikutan lain.
Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan berupaya menjawab desakan itu dengan membuat Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Peraturan itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Akan tetapi, PM No 108/2017 tidak bisa mengatur ojek daring karena sepeda motor tidak diakui sebagai angkutan umum sesuai UU No 22/2009.
Sementara itu, pengemudi taksi daring dan perusahaan aplikasi terus menolak PM No 108/2017 karena memberatkan mereka.
Kepentingan sendiri
Kini, saat jumlah pengemudi taksi atau pengojek daring membeludak, persaingan sengit dan tak sehat di antara mereka terjadi di lapangan. Demi memenangi konsumen, perusahaan promosi menurunkan tarif yang berimbas pada berkurangnya bagi hasil dengan mitra pengemudi.
Saat kesejahteraan mereka terusik, pengojek dan pengemudi daring meminta pemerintah membuat aturan yang melindungi mereka. Unjuk rasa pengojek daring terakhir dilakukan Selasa (27/3/2018). Pengemudi taksi daring ikut unjuk rasa esok harinya. Mereka tetap menolak PM No 108/2017, tetapi menyetujui perusahaan aplikasi menjadi perusahaan transportasi.
Ke mana arah kebijakan pemerintah selanjutnya masih belum jelas hingga kini. Yang pasti membeludaknya angkutan daring terbukti menggerus layanan transportasi publik.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi, Jumat (29/3/2018), mengatakan, berdasarkan data Organda, dari 36 perusahaan taksi di Jakarta, kini tinggal 9 perusahaan taksi. Memang, angkutan umum tersebut tidak hanya tergerus oleh transportasi daring, tetapi juga turut didesak maraknya penggunaan sepeda motor pribadi. ”Namun, dengan adanya angkutan daring, kondisi angkutan umum semakin parah,” kata Budi.
Terkait penerapan regulasi bagi angkutan daring, Budi menyatakan, pemerintah membuat regulasi hingga tiga kali, tetapi selalu dikeluhkan. Padahal, regulasi semaksimal mungkin menampung aspirasi semua pihak.
Aplikator (perusahaan aplikasi), kata Budi, hanya melihat aspek untungnya. Aplikator memanfaatkan peluang menerima pengemudi tanpa melihat kebutuhan riil. Kebijakan perusahaan menggerus kesejahteraan pengemudi mengurangi kenyamanan konsumen. ”Tarif naik, tetapi fasilitas seperti masker mulut dan kepala tidak ada lagi,” kata pelanggan ojek daring Diah Wahyuningsih (37), di Jakarta Selatan.
Layanan pengaduan konsumen kepada perusahaan hanya berujung pada pengemudi atau pengojek diskors, bonus dipotong, atau dipecat, tetapi bukan menata kembali sistem layanan, termasuk mempertimbangkan batas kuota pengemudi dan pengojek di kawasan tertentu.
Merasa terdesak, pengemudi dan pengojek daring membekali diri dengan berserikat. Lewat persatuan pengemudi/pengojek, mereka menyalurkan suara mereka kepada pemerintah. Mereka kerap bergerombol menguasai sebagian trotoar di Ibu Kota. Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Halim Pagarra menyatakan, polisi sudah rutin menghalau mereka.
Namun, kekuatan massa mitra perusahaan aplikasi itu telanjur meraksasa, sulit ditertibkan. Keberadaan mereka membuat ciut nyali. Protes terhadap konvoi pengojek daring, misalnya, bisa berakhir dengan pengeroyokan terhadap si pemrotes, seperti terjadi di Terowongan Senen, Jakarta Pusat, 1 Maret 2018.
Nila Marita, Chief Corporate Affairs PT Go-Jek Indonesia, mengatakan, Go-Jek merupakan grup penyedia jasa teknologi multiplatform yang di dalamnya terdapat akses layanan on-demand. Hubungan hukum dengan pengemudi adalah kemitraan dengan perjanjian kemitraan. ”Penghasilan mitra pengemudi dan mitra pedagang menyumbang Rp 9,9 triliun terhadap ekonomi Indonesia setiap tahun. Model bisnis yang kami geluti sekarang berkontribusi terhadap perekonomian nasional,” ujar Nila.
Harus diatur
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, rencana presiden mengatur taksi dan ojek daring sebagai perusahaan jasa angkutan sulit dilakukan. Dalam situasi pelik ini, pemerintah justru sebaiknya tegas menjalankan PM No 108/2017. Ketua Komisi Hukum dan Hubungan Masyarakat Dewan Transportasi Kota Jakarta Ellen Tangkudung mendukung Djoko.
PM No 108/2017 harus diterapkan untuk taksi daring. Ojek daring, karena bertentangan dengan UULLAJ tetapi telanjur banyak, bisa diatur dengan menetapkan target tertentu. ”Misalnya, pada 2029, angkutan di Jakarta harus bagus. Jadi, sepeda motor tidak boleh lagi mengangkut orang, hanya untuk pengantaran barang saja,” kata Ellen.(ARN/WAD/MED/DEA/DD01/DD17/NEL)