JAKARTA, KOMPAS - Penggunaan ujaran kebencian, termasuk yang bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan, di media sosial terkait dengan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2018 mulai muncul di sejumlah daerah. Upaya komprehensif untuk mengatasi penyebaran ujaran kebencian terkait dengan politik elektoral dinilai semakin mendesak disiapkan pemerintah.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, dihubungi di Jakarta, Minggu (1/4/2018), mengatakan, pihaknya sudah menerima sekitar 20 laporan dugaan ujaran kebencian di media sosial dari Bawaslu provinsi. Sebagian besar laporan merupakan temuan tim pengawasan siber yang dibentuk di tiap-tiap Bawaslu provinsi.
”Laporan yang masuk di antaranya berupa meme, informasi terindikasi kebohongan, juga ada yang berisi ajakan untuk tidak memilih calon tertentu karena alasan suku dan ras. Laporan itu akan ditindaklanjuti dengan menghubungi penyedia layanan media sosial untuk menindak akun itu,” kata Fritz.
Menurut dia, masyarakat sebenarnya juga bisa berperan aktif mencegah penyebaran ujaran kebencian terkait politik di media sosial dengan memanfaatkan fitur pelaporan yang disiapkan oleh penyedia layanan media sosial. Selain itu, langkah serupa juga bisa dilakukan oleh pengawas pemilu di tingkat kabupaten dan kota ataupun provinsi.
Sebanyak 171 daerah akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang akan berlangsung pada 27 Juni 2018. Ada 17 provinsi serta 154 kabupaten dan kota yang menggelar pilkada serentak tahun 2018.
Secara terpisah, koordinator nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Sunanto, mengatakan, penggunaan ujaran kebencian dalam pertarungan politik bukan fenomena yang benar-benar baru. Namun, dengan munculnya pengaturan yang lebih detail untuk menghindari ujaran kebencian, termasuk di media sosial, diperlukan sinergi di antara semua pemangku kepentingan, baik Bawaslu maupun Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk menuntaskan temuan-temuan itu.
Langkah komprehensif
Selain upaya penanganan kasus per kasus oleh penyelenggara pemilu dan Polri, upaya yang lebih komprehensif dinilai semakin dibutuhkan di tengah penetrasi internet yang semakin tinggi di Indonesia.
Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo mengatakan, langkah untuk membatasi ruang gerak penyebaran ujaran kebencian dalam jaringan (daring) tidak akan optimal jika tidak memastikan penyedia platform media sosial bertanggung jawab untuk menangani hal itu.
Dia mencontohkan, di Jerman sudah ada undang-undang yang mewajibkan penyedia platform media sosial untuk menggunakan infrastruktur di perusahaan guna mengendalikan ujaran kebencian.
”Peran perusahaan media sosial perlu dimaksimalkan karena mereka yang paling mampu mengendalikan hal itu,” kata Agus.
Menurut dia, jika pengaturan melalui undang-undang memakan waktu lama, bisa saja, kewajiban itu diatur melalui peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika. Dalam peraturan itu perlu dijabarkan tanggung jawab perusahaan media sosial untuk mencegah, menindak, serta membentuk lembaga pengawas informasi palsu ataupun ujaran kebencian.
Dia menilai, upaya komprehensif itu semakin dibutuhkan karena di media sosial semakin berkembang situasi di mana masyarakat semakin sulit membedakan informasi apa yang merupakan berita atau spekulasi.
”Masyarakat cenderung tidak bisa membedakan mana informasi yang kredibel,” katanya.