JAKARTA, KOMPAS — Kondisi industri teh nasional cukup memprihatinkan. Sejak 2014 hingga 2016, luas lahan terus menyempit, jumlah ekspor produksi teh pun terus menurun. Posisi petani kecil sebagai penyumbang produksi terbesar kini terancam.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, luas lahan perkebunan teh di Indonesia menyempit selama tiga tahun berturut-turut. Pada 2014, luas perkebunan 118.899 hektar. Jumlah itu menurun menjadi 114.891 hektar pada 2015 dan 113.617 hektar tahun 2016.
Luas lahan perkebunan yang menyusut berdampak pada penurunan produksi dan kemampuan ekspor. Jumlah produksi pada 2014 yaitu 154.369 ton metrik, 132.615 ton metrik pada 2015, dan 138.935 ton metrik tahun 2016. Sementara itu, kemampuan ekspor pada 2014 adalah 66.399 ton metrik. Jumlah itu menurun pada 2015 menjadi 61.915 ton metrik, lalu merosot lagi pada 2016 menjadi 51.319 ton metrik.
Ketua Konfederasi Petani Teh Kecil Internasional (Conferedation of the International Tea Smallholders/CITS), konfederasi yang berada di bawah koordinasi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) secara langsung, Rachmat Badruddin di Jakarta, Selasa (3/4/2018), mengatakan, sejak sepuluh tahun lalu, luas perkebunan teh turun seluas 3.000 hektar per tahun. Pemilik perkebunan tidak lagi menanam teh, tetapi tanaman lain yang lebih laku dijual.
Posisi petani kecil sebagai penyumbang produksi teh terbesar kian terancam.
Rachmat melanjutkan, harga teh di pasaran mulai jatuh 20 tahun lalu. Saat itu, terjadi kelebihan produksi yang tidak segera ditangani sehingga jatuhnya harga tidak bisa dihindari. Hingga saat ini, harga teh di balai lelang adalah 1,5 dollar AS per kilogram.
Menurut dia, petani kecil merupakan pihak yang paling terancam karena mereka memiliki lahan terluas dibandingkan dengan perkebunan milik pemerintah dan swasta. Dalam catatan Ditjen Perkebunan, luas perkebunan rakyat 46,10 persen dari total luas perkebunan, yaitu 52.383 hektar. Hasil produksinya pun 34,35 persen dari total produksi, yaitu 47.732 ton.
”Kondisi industri teh yang semakin merosot ini akan memunculkan banyak pengangguran, terutama dari kalangan petani kecil,” kata Rachmat di sela-sela acara lokakarya CITS, A Strategy Towards Strengthening Smallholder Farmers’ Access to Markets in The Tea Industry. Dalam acara itu, hadir pula Sekretaris FAO Intergovernmental Group on Tea Jean Luc Mastaki dan ahli teh dari Bangladesh, China, Kanada, India, Italia, Kenya, Malawi, Selandia Baru, Sri Lanka, dan Indonesia.
Pada setiap hektar perkebunan, terdapat dua pekebun yang bekerja. Jika diakumulasikan dari seluruh lahan perkebunan, terdapat lebih dari 200.000 pekebun yang terancam menjadi pengangguran. Oleh karena itu, menurut Rachmat, industri teh nasional membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah. ”Jika pemerintah melupakan teh, ini akan menjadi bumerang karena berdampak pada lingkungan,” ujarnya.
Industri teh nasional membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah.
Sumbangan petani
Peran penting petani kecil dalam industri teh bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga dalam skala global. Berdasarkan data CITS, 70 persen dari total luas perkebunan teh di dunia dimiliki oleh petani kecil. Sebanyak 60 persen produk yang diperdagangkan di dunia pun berasal dari petani kecil.
Wakil Presiden Kamar Dagang China Yu Lu mengatakan, di China, petani kecil memiliki 1,83 juta hektar perkebunan atau lebih dari 60 persen dari total luas perkebunan di negara itu. Dari lahan tersebut, mereka menyumbang 1,07 juta ton teh atau sekitar 40 persen dari total produksi.
Managing Director Tetulia Tea Company Limited, Dhaka, Bangladesh, Mosharraf Hossain mengatakan, perkebunan rakyat di Distrik Tetulia, Bangladesh, dimulai pada 2000 dengan memberdayakan 80 petani. Mereka diberikan bibit dan pelatihan penanaman oleh para profesional dari perusahaan secara gratis.
Selama 17 tahun berjalan, saat ini ada 4.790 petani kecil yang tergabung dalam Tetulia Tea. Mereka tersebar tidak hanya di Distrik Tetulia, tetapi juga di empat distrik lainnya, yaitu Sadar, Baliadangi, Debigonj, dan Boda.
Tantangan bersama
Meski memberi sumbangan besar, perkebunan yang digiatkan para petani kecil menghadapi tantangan yang hampir serupa di sejumlah negara. Yu Lu mengatakan, salah satu tantangan itu adalah kondisi perkebunan yang tidak memiliki fasilitas lengkap sehingga produksi teh cenderung tidak stabil. Tanaman teh juga mudah dipengaruhi bencana alam, panen pun masih bergantung pada iklim. Oleh karena itu, biaya pengelolaan perkebunan juga relatif tinggi.
Menurut Manajer Regional Otoritas Pengembangan Petani Teh Kecil Sri Lanka GG Bandula mengatakan, tantangan lainnya adalah margin keuntungan yang rendah dalam kondisi harga yang naik turun. Selain itu, penerapan praktik pertanian yang baik oleh petani kecil masih minim.