JAKARTA, KOMPAS- Pengusaha yang menjadi tersangka perkara dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik, Made Oka Masagung, kembali mangkir dari pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Oka disebut masih dirawat di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional dan perlu istirahat selama sepekan sampai Selasa (3/4/2018).
”Untuk itu, tersangka MOM (Made Oka Masagung) akan dijadwalkan kembali menjalani pemeriksaan sebagai tersangka pada Rabu (4/4/2018). Hal itu sesuai surat keterangan dokter dari Rumah Sakit Pusat Otak Nasional bahwa MOM perlu istirahat sampai dengan 3 April 2018,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin (2/4/2018).
Sesuai jadwal penyidik, Oka semestinya diperiksa pada 29 Maret 2018, tetapi kuasa hukumnya menyerahkan surat keterangan sakit. Penjadwalan ulang pun dilakukan pada Senin kemarin. Namun, ternyata kondisinya tidak kunjung membaik dan dinyatakan masih butuh istirahat. Dari surat keterangan sakit yang diterima penyidik, dokter yang menangani Oka adalah ahli neurologi, Jusuf Misbach.
Jusuf Misbach pernah menangani mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Syaukani Hasan Rais (almarhum), terpidana perkara korupsi pembangunan bandara di Kutai Kartanegara. Saat itu, Misbach mendiagnosa yang bersangkutan mengalami kerusakan saraf yang parah sehingga tidak dapat lagi berkomunikasi.
Atas dasar kemanusiaan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia saat itu, Patrialis Akbar, mengajukan grasi untuk Syaukani kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sementara itu, pada sidang suap Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari dengan terdakwa pengusaha Herry Susanto Gun di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Selasa (27/3/2018), terungkap ada uang sebesar Rp 5 miliar yang disiapkan untuk Patrialis Akbar selaku Menkumham untuk membebaskan Syaukani yang merupakan ayah Rita. Uang tersebut diberikan Herry pada 5 Agustus 2010 kepada Rita untuk diserahkan kepada Patrialis. Pada 17 Agustus 2010, Syaukani menerima grasi.
Pendapat dokter lain
Secara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter, menjelaskan, KPK perlu menyediakan pendapat dokter lain dalam proses penegakan hukum. Keberadaan dokter dari KPK untuk memberikan pendapat kedua dibutuhkan apabila memang ada kekhawatiran diagnosis dokter yang merawat tersangka diragukan.
Hal ini pernah dilakukan saat penanganan perkara kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik dengan tersangka Setya Novanto. Novanto berulang kali mangkir dengan berbagai alasan, mulai dari kesibukan sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, sakit jantung, hingga mengalami kecelakaan lalu lintas.
Namun, setelah melalui proses meminta pendapat kedua, baik dari dokter KPK hingga dokter yang ditunjuk resmi oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Novanto dinyatakan cukup sehat untuk diperiksa sehingga yang bersangkutan kemudian dipindahkan ke rumah tahanan.
Akan tetapi, penyidik juga harus mempertimbangkan waktunya. ”Kalau dalam jangka waktu yang patut, masih bisa diberikan kelonggaran. Tapi, kalau sudah tiga kali dipanggil, bisa dipanggil paksa. Untuk langkah antisipatif, dokter KPK bisa diturunkan untuk melihat dan memberikan pendapat. Jika hasilnya berbeda, bisa jadi diskresi untuk penyidik,” ujar Lola.