JAKARTA,KOMPAS -- Selama ini karya-karya komik seringkali dianggap sebagai karya yang terpisah dari seni rupa kontemporer. Namun, begitu para komikus diberi panggung yang layak untuk berkarya, mereka ternyata bisa menyuguhkan karya-karya yang mampu “meloncati” karya-karya seniman kontemporer.
Fakta ini terbukti dalam Pameran karya-karya Gudang Garam Indonesia Art Award (GGIAA) 2018 “Dunia Komik” yang digelar di Galeri Nasional Indonesia pada 2-18 April 2018. Pameran ini menyuguhkan 129 karya yang terjaring dari 350 peserta kompetisi GGIAA 2018.
Para peserta kompetisi ini sadar betul bahwa komik ternyata bisa ditampilkan dan dipamerkan seperti halnya karya-karya seni rupa kontemporer pada umumnya. Komik yang biasanya hanya tampil di lembaran-lembaran buku, kini bisa bertransformasi menjadi karya-karya dua dimensi dan tiga dimensi dalam bentuk instalasi seni.
Karya komikus Bonni Rambatan yang berjudul Berantas! misalnya, disuguhkan dalam bentuk instalasi komik di atas kasur lengkap dengan kapas yang dililit dengan kawat berduri. Bonni rupanya tidak sekedar ingin menunjukkan gambar saja, tetapi juga kritikan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menampilkan sosok “polisi moral” yang otoriter.
Di samping kasur berduri itu, ia menggambarkan sosok monster penjaga moral yang justru menggunakan senjata moral untk berbuat otoriter. Karya instalasi komik seperti ini jarang sekali ditemukan sebelumnya.
Ada pula komik tiga dimensi yang unik karya Rivan berjudul Banjir. Dengan menggunakan semacam media kaleng, ia membuat sekuens cerita banjir tiga dimensi lengkap dengan figur-figur dan balon-balon kata-kata di atasnya.
Selain karya-karya instalasi tiga dimensi, pameran GGIAA 2018 juga memamerkan karya-karya komik dua dimensi yang dibuat dengan teknik keterampilan tingkat tinggi seperti halnya karya-karya seni rupa kontemporer. Kurator pameran ini, Jim Supangkat menilai para komikus yang turut serta dalam pameran ini telah melampaui karya-karya seniman kontemporer.
“Karya-karya mereka sudah layak dipamerkan di panggung seni rupa kontemporer. Mereka benar-benar menguasai ketrampilan seni tingkat tinggi. Kalau orang tidak bisa menggambar, jangan coba-coba membuat komik,” kata Jim, Senin (2/4/2018) di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
Pengkotak-kotakan Seni
Kurator pameran lainnya, Hikmat Darmawan, beranggapan, persoalan kelembagaan di dunia seni menyebabkan karya-karya komik dipinggirkan dari kelompok seni rupa. Namun, sekarang, batas-batas itu relatif telah runtuh.
“Pameran ini mencoba memunculkan situasi yang baru dari kondisi ini. Komik yang diidentikkan selalu tampil di buku kini bisa disuguhkan di dinding dan ruangan seperti halnya karya-karya seni rupa, bahkan komik bisa ditampilkan dalam beberapa sekuens,” kata dia.
Di Indonesia, komik muncul pada era 1920-an ketika media massa cetak mulai muncul. Pada 1960-1970-an, komik mengalami booming di Indonesia dengan cerita-cerita khasnya seputar silat, roman, serta super hero.
Namun, memasuki tahun 1980-an, pertumbuhan komik di negara ini berangsur-angsur surut. “Pada masa ini, komik masih eksis tetapi di media massa, bukan lagi di buku-buku karena industri hiburan mulau bertumbuhan,” papar Iwan Gunawan yang juga menguratori pameran ini.
Dalam 10 tahun terakhir, setelah digelar Biennale khusus komik dan animasi di Shanghai, China, muncul gagasan untuk mengangkat kembali komik yang pernah populer di era 1960-an. Pada perkembangan seni rupa kontemporer muncul kecenderungan mengangkat komik sebagai media ungkapan yang menunjukkan gejala artification atau mensenikan komik yang selama ini dianggap bukan seni. Karena itulah, kompetisi diharapkan bisa mengangkat kembali karya komik ke panggung seni rupa kontemporer.
Ketua Yayasan Umum Yayasan Seni Rupa Indonesia Titiek Soeharto menambahkan, dari 350 komikus yang mengikuti kompetisi GGIAA 2018, dewan juri akhirnya memilih tiga pemenang, yaitu Evelyn Ghozali sebagai juara 1, Prabu Perdana juara 2, dan Patra Aditia juara 3.
Selain tiga pemenang itu, dewan juri juga memilih 13 peserta sebagai penerima penghargaan GGIAA 2018, meliputi Bonni Rambatan, Fajar Nursyamsujati, Radhinal Indra, Prihatmoko Catur, Muhammad Misrad, Hafid Alibasyah, Putri Larasati Ayu Purwanto, Abdulrahman Saleh, Lan Kelana, Muhammad Iqbal, Loyong Budi Harjo, Dinni Tresnadewi, dan Sandy Yudha.