Mereka Selamat berkat Berserikat
”Bang, saya mau mengantar CS (customer atau pelanggan) ke Depok, mohon dipantau.”
”Siap, kami siaga.”
M Irfan (40) segera menyimpan telepon genggamnya seusai percakapan di grup aplikasi pesan dalam jaringan (daring) tersebut. Pengojek daring asal Kemayoran itu lekas berangkat menunaikan tugasnya.
Belum sampai di lokasi tujuan, telepon genggamnya beberapa kali berdering. Lewat pesan daring, rekan-rekan seprofesi yang berasal dari daerah-daerah sekitar Depok, Jawa Barat, memastikan perjalanannya aman.
”Saya sudah drop off (menurunkan penumpang),” kata Irfan menuturkan pesan kunci kepada rekan-rekannya di Jakarta, Jumat (31/3). Jika sudah mengirim pesan tersebut, komunikasi di antara mereka pun berangsur berhenti.
Irfan mengatakan, hal tersebut merupakan prosedur standar dalam komunikasi di antara sesama pengojek daring. Para pekerja yang tidak dinaungi perusahaan penyedia aplikasi itu membentuk jaringan pengamanan dan keselamatannya sendiri. Sebab, urusan pengamanan dan keselamatan tidak dijamin oleh perusahaan.
Pengojek daring menghadapi risiko besar dalam bertugas. Mereka harus melintasi berbagai daerah rawan perampokan, pembegalan, dan pembunuhan sepanjang waktu. Menurut Irfan, ada beberapa daerah rawan di antaranya Depok, Jawa Barat; Kota Tangerang, Banten; dan Bandara Soekarno-Hatta, Banten.
Sejak muncul pada 2015, para pengojek daring yang beroperasi selama 24 jam memang menjadi incaran pelaku kriminal, terutama begal, baik untuk dijadikan korban maupun dijadikan modus untuk membegal pengendara lain.
Kerawanan pembegalan tidak hanya terjadi di wilayah sepi, tetapi juga wilayah ramai. Pada 29 Oktober 2016 dini hari, Adi (21) dibegal enam orang yang berboncengan sepeda motor di Jalan Raya Otista, Jakarta Timur. Lantaran tidak berhasil mengambil sepeda motor Adi, keenam begal itu menikam dadanya hingga paru-paru dan jantung pengojek daring itu robek (Kompas, 4/11/2017).
Sudah ditikam, tidak ada pula yang membantu Adi. Ia sempat terkapar di jalan raya hingga akhirnya berhasil mengumpulkan tenaga untuk menelepon keluarganya.
Hal serupa terjadi pada Ridwan Limbong (43), pengojek daring asal Medan, Sumatera Utara. Enam bulan yang lalu, saat mengantar penumpang di Jalan Juanda, Medan, pukul 04.30, ia ditikam oleh empat begal. Ridwan yang tidak mampu menyelamatkan diri pun tewas dalam kejadian itu (Kompas, 25/9/2017).
Ridwan yang tidak mampu menyelamatkan diri pun tewas dalam kejadian itu (Kompas, 25/9/2017).
Untuk mencegah hal serupa, para pengojek daring membentuk komunitas. Biasanya komunitas bermula dari lingkup yang terkecil, yaitu lokasi mereka berkumpul sehari-hari. Salah satunya Komunitas CX, Ciracas, Jakarta Timur. Nana Mulyana (43), pengojek daring dari Ciracas, mengatakan, komunitas CX dibentuk oleh pengojek yang kerap berkumpul di halaman CX Water Park, Ciracas.
Nana mengatakan, sebagai komunitas mereka tidak memiliki struktur kepengurusan yang ketat. Prioritas kegiatannya adalah saling membantu jika mengalami masalah di jalan, mulai dari ban bocor, kehabisan bensin, hingga kehabisan uang. Selain solidaritas dalam kegiatan operasional sehari-hari, lewat komunitas tersebut mereka juga kerap berkunjung ke rumah satu sama lain terutama jika ada keluarga pengojek yang sakit atau meninggal.
Komunitas-komunitas kecil seperti Komunitas CX kemudian meluaskan jaringannya hingga membentuk wadah dalam lingkup nasional. Sebut saja antara lain Gograber Indonesia, Serikat Driver Gojek (SDG), Forum Komunikasi Driver Online Indonesia (FKDOI), Perkumpulan Pengemudi Transportasi Jasa Daring Indonesia (PPTJDI), dan Tim Khusus Anti-Begal (Tekab) Indonesia.
Irfan yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Tekab Jakarta Pusat mengatakan, selain pengamanan dari tindakan kriminal, komunitasnya juga membentuk divisi bantuan hukum untuk pengojek daring. Dalam kegiatan sehari-hari, pengojek daring sering terlibat keributan sehingga tidak sedikit yang terjerat kasus hukum.
Menurut Irfan, sejak Tekab Indonesia berdiri pada 2016 hingga saat ini, sudah ada 38 kasus yang ditangani. Sebanyak tiga di antaranya tidak diselesaikan karena pengojek daring terlibat pengedaran narkotika.
Di samping itu, Tekab juga bersiaga terhadap kecelakaan lalu lintas yang kapan saja bisa menerpa pengojek daring. Komunitas itu memiliki divisi rescue atau unit reaksi cepat (URC) yang selalu membawa peralatan pertolongan pertama untuk korban kecelakaan. ”Di Jakarta paling sedikit terjadi dua kali kecelakaan dalam sehari,” kata Ketua Divisi Rescue Tekab Indonesia Bhea Cameron.
Pekerjaan-pekerjaan itu dilaksanakan dengan cara berkoordinasi baik dengan sesama anggota Tekab Indonesia ataupun dengan komunitas lain. Komunikasi dan koordinasi mereka seluruhnya dilakukan melalui pesan daring.
”Semuanya dilakukan oleh ojol (ojek daring) untuk ojol,” kata Irfan. Ia menambahkan, dalam bidang bantuan hukum mereka tidak menyewa jasa pengacara, tetapi pengacara yang juga berprofesi sebagai ojek daring, yaitu Ketua Umum Tekab Ari. Sumber dana kegiatan juga berasal dari urunan setiap anggota.
Bhea masih ingat, ketika salah satu pengojek meninggal karena kecelakaan di jalan beberapa bulan lalu, seluruh komunitas ojek daring di Jakarta mengumpulkan uang dua. Mereka mengumpulkannya menggunakan wadah helm. Jumlahnya mencapai Rp 60 juta. ”Dari perusahaan tidak ada sama sekali. Kalau di Go-Jek, tidak ada kebijakan soal uang duka. Kalau di Grab, ada, yaitu Rp 500.000,” ujarnya.
Namun, kata Bhea, bantuan serupa sulit didapat oleh pengojek yang tidak bergabung dengan komunitas atau kerap disebut single fighter. Mereka tidak memiliki akses komunikasi kepada orang-orang yang ada di komunitas.
Di luar saling membantu dalam urusan kecelakaan dan kematian, mereka juga mengadakan kegiatan bersama, seperti kopi darat dan pembersihan jalan. Setiap pekan, pengojek daring membersihkan paku-paku yang ada di jalan protokol, salah satunya di sepanjang Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Berpengaruh
Hubungan yang kian lama dan kian intens menguatkan ikatan sosial di antara para pengojek daring. Mereka semakin solid menghadapi permasalahan dan menunjukkan pengaruhnya di jalan.
Bhea mengatakan, jaringan komunikasi pengojek daring yang luas dan cepat memudahkan distribusi informasi. Tidak jarang informasi-informasi krusial didapatkan aparat dari pengojek daring. ”Kami lebih cepat memberitahukan peristiwa seperti kebakaran, kecelakaan, atau perampokan daripada media massa karena informasi dari satu grup segera diteruskan ke semua grup,” ujarnya.
Anggota komunitas ojek daring juga seolah-olah memiliki jalan. Menurut Bhea, mereka bisa memblokade jalan saat akan mengiringi jenazah atau korban kecelakaan. Mereka tidak segan untuk menekan pengguna jalan lainnya agar diberikan kemudahan jalan.
”Kalau enggak dikasih jalan, apa mau kami hijaukan wilayah ini?” kata Bhea sambil terkekeh-kekeh. Kalimat yang berarti menurunkan banyak pengojek daring ke jalan itu memang sering digunakan untuk memudahkan urusan pengojek daring.
Ismawati (35), karyawan swasta yang sehari-hari menggunakan ojek daring dari Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, menuju kantornya di Plaza Sinar Mas, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, tidak jarang melihat pengojek daring memblokade jalan untuk pangkalan mereka. Terutama di areal depan stasiun, mereka menempati sebagian besar jalan sehingga membuat macet. Tidak ada yang menertibkan mereka. ”Semestinya mereka tidak melanggar aturan karena fasilitas jalan adalah milik semua warga,” ujar Ismawati.
Identitas sebagai pengojek daring yang ditandai dengan atribut jaket dan helm menjadi kebanggaan sekaligus kekuatan. ”Saya merasa aman dan nyaman jika menggunakan jaket ojek daring,” ujar Irfan sambil melihat ke arah jaket hitam dengan hiasan dua garis hijau bertuliskan Grab yang ia kenakan.
Ia melanjutkan, keamanan berkendara menjadi terjamin ketika mengenakannya. Sebab, solidaritas pengojek daring terhadap sesamanya begitu tinggi. Mereka memiliki kesadaran untuk saling menjaga dari segala gangguan.
”Kami ini hidup di jalan yang risikonya tinggi. Jadi solidaritas juga harus tinggi,” kata Sekretaris Jenderal Tekab Fidin Prasetyo (42).
Fidin menambahkan, keberadaan komunitas yang kuat juga mampu meningkatkan posisi tawar pengojek di hadapan perusahaan. Kekuatan dan solidaritas itu juga yang mendorong mereka untuk berunjuk rasa memprotes kebijakan perusahaan yang dirasa merugikan.
Di beberapa daerah kerap muncul unjuk rasa yang dilakukan pengojek daring. Terakhir, mereka berunjuk rasa pada Selasa (27/3/2018) di seberang Istana Negara untuk menuntut kenaikan tarif batas bawah ojek.
Pengurus Dewan Pimpinan Pusat PPTJDI Kemed Al Gontori (45) mengakui, keberadaan komunitas ojek daring yang memiliki begitu banyak anggota rentan dimanfaatkan segelintir pihak untuk kepentingan tertentu. Namun, menurut dia, komunitas-komunitas lahir untuk menjawab kebutuhan yang tidak terpenuhi dari jenis profesi yang tidak dinaungi perusahaan ini. Mereka tidak ingin menjadi pihak yang memihak pihak tertentu di luar kalangan pengojek daring.
”Kami berkegiatan dari ojol untuk ojol, tidak akan mau ditunggangi kepentingan lain,” kata Kemed.
Logika berbeda
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, mengatakan, kehadiran komunitas-komunitas pengojek daring menunjukkan keinginan untuk membangun solidaritas internal. Profesi yang tidak dinaungi perusahaan mengancam posisi mereka, baik di perusahaan maupun di jalan, sehingga membutuhkan jaringan keamanan yang dibangun secara mandiri.
Asep menambahkan, ada fungsi jaring pengaman sosial (social safety net) yang ingin diraih melalui berkomunitas. ”Misalnya ada rekan mereka yang meninggal, kemudian mereka mengawal dan memberikan santunan,” kata Asep. Pembentukan komunitas ini juga bertujuan untuk meraih pengakuan dari masyarakat. Asep mengatakan, mereka ingin diakui seperti profesi yang lain.
Solidaritas internal yang kuat juga memberikan jalan untuk membangun posisi tawar bagi para pengojek daring kepada perusahaan aplikasi. ”Bargaining position kolektif ini bisa dilakukan untuk bernegosiasi terkait redistribusi pendapatan dan besaran bagi hasil, terlihat pada aksi demo kemarin,” kata Asep.
Namun, solidaritas internal yang kuat tersebut harus diwaspadai potensi-potensi negatifnya. Asep mengatakan, solidaritas internal yang kuat dapat membuat para anggota komunitas tersebut memiliki logika dengan pembenaran sendiri. ”Kalau sudah pakai atribut, mereka memiliki logika kolektif yang mempunyai pembenaran sendiri,” kata Asep.
Logika kolektif dengan pembenaran ini memunculkan tindakan yang sering melanggar peraturan, kata Asep. ”Seperti pengeroyokan yang sempat terjadi itu adalah bentuk dari mereka yang merasa butuh pengakuan,” katanya.
Asep menilai, perilaku pengojek daring semacam ini hanya bisa dikendalikan oleh perusahaan aplikasi masing-masing. Untuk itu, pemerintah harus dapat mengatur perusahaan-perusahaan tersebut, salah satunya dengan mengubah bentuk perusahaan penyedia aplikasi menjadi perusahaan jasa transportasi. Dengan menjadi perusahaan transportasi, hubungan kerja antara perusahaan dan pengojek menjadi lebih jelas. Pelanggaran di jalan pun bisa lebih dikendalikan.