Penurunan pendapatan para pengojek daring terasa turun secara signifikan dibandingkan pada masa awal beroperasi di Jakarta sekitar 3 tahun yang lalu. Turunnya besaran upah atau bagi hasil dari perusahaan aplikasi dinilai menjadi penyebab utama berkurangnya pendapatan para pengojek. Nilai yang terlalu rendah inilah yang memicu demonstrasi besar pengojek daring Selasa (27/3/2018) lalu. Jumlah pesanan per hari yang lebih sedikit juga menjadi faktor yang berkontribusi pada penurunan kesejahteraan para pengojek. Pembatasan jumlah pengojek dirasa diperlukan.
Bhea Cameron (46), pengojek daring asal Bekasi Utara, mengatakan, saat ini tarif bagi hasil dari perusahaan aplikator Go-Jek adalah Rp 1.600 per kilometer setelah dipotong 20 persen. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan pada masa awal Cameron mengojek pada 2015, yakni sekitar Rp 4.000 per kilometer. ”Dahulu saya bisa membawa pulang Rp 600.000 setiap hari. Sekarang rata-rata saya hanya bisa mendapat Rp 100.000,” kata Cameron. Artinya, dalam sebulan, Cameron mendapat penghasilan sekitar Rp 3 juta.
Hal senada juga disampaikan Ardi (49), pengojek daring asal Slipi, Jakarta Barat. ”Sekarang bisa dapat Rp 200.000 itu udah capek banget,” kata Ardi, ayah dari lima anak tersebut.
Cameron mengatakan, untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya yang masih usia sekolah, ia membutuhkan Rp 100.000-150.000 per hari. Jika dihitung dengan upah Rp 1.600 per kilometer, ia harus berkendara sekitar 93 kilometer per hari agar mendapatkan Rp 150.000. ”Rasanya sudah lelah sekali harus jalan sejauh itu setiap hari,” kata Cameron.
Ia menilai, paling sedikit, upah per kilometer yang sesuai adalah Rp 2.500 setelah potongan 20 persen. Dengan upah yang lebih tinggi, tuntutan jarak tempuh lebih pendek sehingga tingkat keselamatan pengojek pun bisa lebih terjamin, kata Cameron.
Jika upah bagi hasil bagi pengojek dinaikkan, ada kemungkinan tarif yang dikenakan kepada penumpang akan juga naik. Tongki Ari (25), karyawan swasta asal Jakarta Selatan, mengatakan sudah siap dengan konsekuensi meningkatnya tarif ojek daring. ”Saya akan tetap memakai ojek daring untuk berangkat kerja selama di angkutan umum aksesnya masih sulit,” kata Tongki yang dalam seminggu menggunakan ojek daring lebih dari 10 kali. Ia memberi contoh, di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, angkutan umum yang tersedia hanyalah kopaja dan metromini yang jadwalnya tidak jelas.
Pembatasan diperlukan
Tuntutan untuk bisa menempuh 93 km per hari juga dipersulit dengan sedikitnya order (pesanan) yang masuk ke dalam ponsel pintarnya. Sekitar tiga tahun yang lalu, Cameron mengungkapkan, setiap hari ia bisa melayani belasan order. Namun, kini ia hanya mendapat paling banyak tujuh order setiap hari. Pengojek lain, Lukman (37), asal Pademangan, Jakarta Utara, mengatakan hal yang senada. Dulu, sehari ia bisa mendapat 20 order, kini paling banyak ia mendapat 13 order, penurunan sekitar 35 persen.
”Dulu, begitu nganterin penumpang bisa langsung dapat orderan lagi, tetapi sekarang harus nunggu dulu,” kata Cameron.
Dengan demikian, pembatasan jumlah pengemudi dirasa perlu oleh para pengojek. ”Pengojek saya rasa sudah cukup banyak. Pembatasan wajib dilakukan. Kami kan bekerja berdasarkan permintaan penumpang,” kata Cameron.
Namun, Cameron tidak setuju jika perusahaan aplikasi diminta mengurangi jumlah pengojek. ”Jangan dikurangi, nanti menimbulkan pengangguran. Lebih baik di-stop saja penerimaannya,” kata Cameron.
Cameron menilai sistem pendaftaran sebagai pengojek daring sudah cukup bagus dengan mewajibkan calon pendaftar melampirkan berbagai dokumen identitas. ”Untuk mendaftar harus menunjukkan KTP, SIM, STNK, dan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK),” kata Cameron.
Adi Karya (32), pengojek daring Palmerah, juga mengatakan hal senada. Ia menilai perusahaan aplikasi harus diminta menghentikan proses penerimaan pengojek karena jumlahnya akan terlalu banyak. ”Jangan sampai pendaftaran pengojek hanya dijadikan lahan mencari uang bagi perusahaan aplikasi,” kata Adi yang sering mangkal di Stasiun Palmerah. Ia menceritakan, setiap pengojek daring baru harus menyicil pembelian jaket dan helm sebesar Rp 70.000 selama 8 bulan.
Demi meningkatkan jumlah pesanan yang masuk pun, sebagian besar pengojek menggunakan lebih dari satu aplikasi. Menurut Cameron, tidak ada larangan menggunakan lebih dari satu aplikasi. ”Konsumen aja bisa pilih-pilih beberapa aplikasi, pengemudi juga bisa,” kata Cameron yang mendaftar aplikasi Grab sekitar setahun setelah menggunakan Go-Jek. Ardi dan Cameron pun menggunakan kedua aplikasi tersebut secara bersamaan.
Berbuat curang
Pendapatan yang menipis juga menyebabkan pengojek menggunakan cara curang, kata Cameron. Salah satu cara yang paling sering digunakan adalah penggunaan koordinat palsu (fake GPS). Dengan menggunakan metode ini, titik keberadaan pengojek dapat diposisikan di lokasi yang ramai. Dengan demikian, kemungkinan untuk mendapat orderan menjadi lebih besar.
”Dengan menggunakan fake GPS, lokasi pengendara bisa dilokasikan di titik yang ramai, misalnya di mal, stasiun, atau restoran,” kata Cameron. Ia mengatakan tidak ingin menggunakan metode curang karena ia tidak mau merisikokan satu-satunya mata pencariannya tersebut.
Tidak ada pilihan lain
Memilih menjadi pengojek daring dianggap menjadi progresi karier yang dan satu-satunya bagi Cameron dan Ardi. Sebab, sebelum menjadi pengojek daring, mereka bekerja sebagai ojek pangkalan. Ardi sudah bekerja sebagai ojek pangkalan di kawasan Slipi, Jakarta Barat, sejak 1994. ”Ya kalau ada pekerjaan lain, saya akan pilih pekerjaan lain. Tetapi, yang sesuai ya hanya sebagai ojek daring,” kata Ardi.
Cameron menilai, jika tidak ada penyesuaian besaran upah oleh perusahaan aplikasi, masa depan pengojek daring akan suram. Pengojek yang tidak bisa mencari pekerjaan di bidang lain akan terpaksa menerima upah di bawah standar tersebut.
”Apakah itu yang akan menjadi senjata terakhir para aplikator untuk memaksa orang yang tidak memiliki pilihan lain selain menjadi pengojek daring? Betapa tidak manusiawinya,” kata Cameron. (DD17)