Satu Hari Jelang Kompas Lintas Sumbawa 320K: Lari dan Pencerahan
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelari ultramaraton dan peserta Kompas Lintas Sumbawa 320K, Gatot Sudariyono (56), berjanji akan terus mengabarkan perjuangannya mencapai garis finis di Ndoro Canga, kaki Gunung Tambora, Dompu. Titik awal pemberangkatan akan dilangsung Rabu, 4 April 2018, di Lapangan Pototano, Sumbawa Barat, pukul 15.00.
”Sampai bertemu pada foto-foto kami di lintasan Sumbawa. Besok kami start pukul 15.00,” tulis Gatot yang rutin mengirimkan catatan hariannya di Kompas.id. Bagi Gatot yang mengikuti Kompas Lintas Sumbawa 320K untuk kedua kalinya, berlari baginya akan mendapatkan pencerahan. Seperti apa pencerahan yang diperolehnya, berikut tulisan Gatot di Kompas.id.
Siapa tidak ingin mendapat pencerahan? Pada saat banyak masalah muncul dalam hidup. Pada saat kita bertemu banyak pertanyaan dan berbagai pilihan dalam hidup kita hari ini yang bergerak sangat cepat dan tergesa-gesa (run away world).
Mungkin kata pencerahan (enlightment) terlalu luas untuk diacu, bisa jadi yang tepat adalah ilham, percikan pemikiran, ide-ide dan perspektif baru yang kita dapatkan saat berlari jauh.
Dengan berlari jauh yang seringnya memerlukan waktu tenggat (Cut Off Time) 18 jam untuk 100KM, 72 jam untuk 320KM dan tantangan lintasan yang menguras fisik, sering sekali muncul ”pencerahan” dalam pikiran saat menapaki jalanan. Seringnya hal tersebut terjadi setelah melalui proses self talk yang mungkin jarang kita lakukan di saat sehari-hari di rumah.
Pencerahan seperti apa yang pernah saya peroleh?
Izinkan saya berbagi empat contoh di bawah ini.
Pertama, berlari adalah berkah. Pencerahan saya ini diafirmasi oleh tiga digital poster yang saya temukan di internet yang menyebutkan hal yang sama. Running is a gift dari Nike.
Dan poster lain mengatakan: Run grateful. Every mile is a gift. Bahkan ada yang lebih menyentuh hati saya, dengan redaksi sebagai berikut: I run because I can. When I get tired. I remember those who can’t run. What they would give to have the simple give I take for granted. And I run harder for them. I know they would do the same for me. Saya berlinang air mata dengan pencerahan di atas.
Kedua, sering kali kami para pelari jauh adalah orang-orang yang diberi predikat melarikan dari kenyataan kerasnya hidup sehari-hari baik di tempat kuliah, bekerja atau rumah tangga. Pada saat berlari dimalam hari, terngiang juga usikan di atas.
Dan sering muncul juga dalam pikiran saya: ”Apakah arti semua siksaan dan biaya yang telah dikeluarkan untuk mendukung aktivitas berlari jauh yang saya kerjakan?”. ”Apakah memang saya harus menempuh semua ini?”
Pertanyaan di atas bisa jadi pertanyaan teknis berlari belaka. Tapi bisa jadi lanjutannya adalah pertanyaan falsafati mendasar, sebagai berikut: ”Apa arti hidup ini?”. ”Apakah ini pilihan cara hidup paling benar yang harus saya jalani?”
Bukannya itu pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab semua orang dari berbagai generasi? Dan tentu saja jawaban dari semua pertanyaan di atas kembali kepada pribadi masing-masing pelari.
Ketiga, sering dalam kami mengkuti event harus berakhir dengan DNF (did not finish) alias dengan berbagai sebab yang kami punya, kami tidak sanggup menyelesaikan langkah hingga finis.
Dan menyusul rangkaian pertanyaan, sebagai berikut: ”Apakah cuma sekian kemampuan saya? Atau saya harus mengambil remedial (mengulang) event yang sama di tahun depan?”. Pertanyaan di atas harus kita hadapi sendiri. Dan jawabannya akan kita dapat setelah kembali dari lomba.
Keempat, sebagai acuan lain saya sampaikan novel dari salah satu novelis favorit saya, Haruki Murakami. Dia menulis novel dari pengalaman maratonnya.
Dia bercerita bagaimana pengalaman spiritual saat sedang berlari. Perasaannya saat tidak mencapai finis tapi tetap melakukan yang terbaik.
Pada intinya dia memaknai semua dorongan dan perilakunya pada saat: menjelang, saat berlangsung, dan pasca turut sebuah event maraton.
Dan judul bukunya adalah: What I talk about when I talk about running
Kini tibalah saya izin mengakhiri rangkaian tulisan hitung mundur Lintas Sumbawa 2018 ini. Terima kasih sudah mengikuti semua cerita dan pengalaman saya yang ada. Semoga kita saling dapat berbagi manfaat.
Mohon doa dan dukungannya untuk kami ber-50 para pelari. Masing-masing kami memiliki 1.000 alasan untuk mengikuti event ini dan tentu saja ada 1.000 alasan untuk kami harus kuat hingga tiba di garis finis.
Sampai bertemu pada foto-foto kami di lintasan Sumbawa besok Start hingga 72 jam berikutnya.
Salam hormat.
Kembali saya menyampaikan saya berlari di Lintas Sumbawa 320K, akan saya dedikasikan untuk Yayasan Jantung Indonesia (YJI) menggalang dana untuk operasi jantung bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu.
Semoga sahabats berkenan berbagi untuk donasi di atas melalaui link di bawah ini: