Asa Para Korban Kepada Wakil Rakyat…
Sekitar tiga tahun lalu, Ny Dna (51), warga di Jawa Barat menghadapi kenyataan pahit ketika mengetahui putri bungsunya mengalami kekerasan seksual dari suaminya, ayah kandung putrinya. Ketika Ny Dna melaporkan kasus pemerkosaan yang dialami putrinya ke kepolisian setempat, tidak langsung diterima di unit Pelayanan Perempuan dan Anak, tetapi di tempat pengaduan umum.
Pertanyaan-pernyataan anggota kepolisian yang tidak sensitif jender dan tidak berpihak kepada korban justru membuat sang anak tambah trauma. Apalagi pelaku sempat dibebaskan. Belakangan kepolisian mengoper kasus tersebut ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Namun di P2TP2A ternyata tidak ada petugas yang melayaninya.
Ny Dna tak menyerah. Didampingi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, dia memperjuangkan keadilan bagi putrinya hingga ke pengadilan. Pelaku yang adalah suaminya akhirnya divonis bersalah.
Pascaperistiwa tersebut, Ny Dna terus berjuang untuk memulihkan kondisi anaknya, terutama memulihkan dari trauma yang dialaminya.
“Setelah proses pidana, bagaimana dengan nasib anak saya. Saya sangat kesulitan dalam pelayanan lanjutan. Ini berat sekali. Saya merasakan sekali, pelayanan (semenjak proses hukum) yang susah payah, sakit, tapi sangat tidak manusiawi. Kami mohon ini diperhatikan nasib anak saya, sampai sekarang masih ada rasa takut yang luar biasa,” ujar Dna, saat bertemu dengan Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR, Selasa (27/3/2018), di salah satu ruang komisi di DPR.
Hari itu Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan berdialog dengan Ketua Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Marwan Dasopang dan tim panja lainnya, yakni Diah Pitaloka (Fraksi PDI-P), Rahayu S Djojohadikusumo (Fraksi Partai Gerindra), dan Abdul Halim (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan). Para penyintas hadir bersama FPL menyampaikan sejumlah masukan dan dukungan kepada anggota DPR terkait proses pembahasan draf RUU tersebut.
Penyandang disabilitas
Tak hanya Dna, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu juga hadir menyerahkan asa dari penyandang disabilitas terutama anak-anak perempuan disabilitas yang selama ini menjadi korban kekerasan seksual kepada pada wakil rakyat. Mereka berharap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera dibahas dan disahkan menjadi undang-undang.
Pada kesempatan itu, Maulani membantah berbagai anggapan sejumlah orang bahwa pemerkosaan terjadi karena penampilan, cara berpakaian atau paras yang cantik. Sebab, terbukti anak-anak penyandang disabilitas yang tidak berpenampilan seperti itu justru paling sering dan rentan mengalami pemerkosaan. Korban penyandang disabilitas berada dalam situasi yang tidak bisa membela diri, dan belum mempunyai kekuatan di hadapan hukum.
“Jadi orang-orang yang sangat lemah, sangat tidak menarik pun menjadi korban. Mereka berada dalam situasi yang sangat tidak beruntung dan tidak terlindungi hak-haknya, pelayanan dari mulai saat kejadian hingga setelah kejadian. Ada orangtua korban harus bolak-balik kantor polisi, karena polisi tidak bisa menyelesaikan kasus ini dengan cepat,” paparnya.
Orang-orang yang sangat lemah, sangat tidak menarik pun menjadi korban.
Dua bulan lalu HWDI berdialog dengan 60 penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, sebagian besar adalah korban kekerasan seksual. Para korban mayoritas anak perempuan disabilitas berusia 14-16 tahun. Mereka datang dengan menggendong anak akibat pemerkosaan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat mereka.
Dari berbagai kasus yang menimpa perempuan dan anak-anak perempuan disabilitas tersebut itulah, HWDI sangat dukung dan mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera dibahas DPR dan pemerintah agar disahkan menjadi UU.
“Ini bukan soal kita bercanda. Kita tidak bicara alat reproduksi atau alat kelamin seorang, tapi kita bicara bagaimana korban-korban adalah orang yang menjadi sengsara kehidupannya, masa depannya dipertaruhkan,” kata Maulani.
Pengalaman yang disampaikan penyintas dan HWDI, setidaknya membawa pesan yang kuat bagi anggota DPR dan pemerintah, untuk memperjuangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU.
Jalan keluar dari kebuntuan
Karena selain akan memberikan perlindungan komprehensif bagi para korban kekerasan, kehadiran undang-undang yang mengatur penghapusan kekerasan seksual sudah ditunggu lama oleh para korban. Aturan ini akan menjadi jawaban atau jalan keluar dari semua kebuntuan yang dihadapi para korban selama ini. Artinya, negara benar-benar hadir memberikan perlindungan bagi para korban kekerasan seksual.
Sebab dari pendokumentasian yang dilakukan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2002-2010 menunjukkan dari 900.939 kasus yang dilaporkan, hampir 25 persen adalah kekerasan seksual. Artinya, setiap hari 35 perempuan termasuk anak perempuan mengalami kekerasan seksual.
Setiap hari 35 perempuan termasuk anak perempuan mengalami kekerasan seksual.
Hal ini juga sejalan dengan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2016 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) atas permintaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Hasil survei menunjukkan, satu dari tiga perempuan Indonesia berusia 15-64 tahun atau sekitar 28 juta perempuan pernah mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual oleh pasangan dan selain pasangannya. Dalam satu tahun terakhir, 8,2 juta perempuan atau 9,4 persen mengalami kekerasan fisik dan seksual.
Lalu mengapa RUU Penghapusan Kekerasan seksual mendesak disahkan menjadi UU? Karena kekerasan seksual dari tahun ke tahun berkembang cepat dan beragam, sementara hukum materiil dan formal yang mengaturnya sangat terbatas. Saat ini, tidak semua jenis kekerasan seksual yang terjadi di tengah masyarakat dapat diproses secara hukum karena tidak tersedia perangkat hukumnya.
Berdasarkan data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak 1998 hingga 2013, setidaknya ada 15 jenis kekerasan seksual yang terjadi di tengah masyarakat. Kekerasan seksual tersebut adalah, perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, intimidasi/ancaman/percobaan perkosaan, prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, perdagangan perempuan untuk tujuan komersial, kontrol seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan perempuan, dan pemaksaan sterilisasi/ kontrasepsi.
Dalam draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, jenis-jenis kekerasan seksual tersebut dirumuskan dalam sembilan jenis yakni pelecehan seksual, eksploitasi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati menyatakan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak dibahas dan disahkan sebagai UU karena dari jenis-jenis kekerasan seksual yang terjadi saat ini, hanya sebagian yang dikenal sistem hukum nasional. Beberapa memang sudah diatur dalam aturan perundang-undangan, seperti perkosaan, namun pengertiannya masih sangat sempit.
Adapun pelecehan seksual tidak dikenali oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selama ini, jika ada kasus pelecehan seksual, penegak hukum mengggunakan pasal percabulan yang hanya bisa digunakan jika pelecehan seksual dilakukan secara fisik. Padahal, realita saat ini pelecehan seksual tidak hanya terjadi secara fisik.
Realita saat ini pelecehan seksual tidak hanya terjadi secara fisik.
Karena itulah, proses legislasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR saat ini sangat dinantikan para korban kekerasan seksual dan masyarakat. Sebab, selain memuat definisi dan sembilan jenis kekerasan, RUU tersebut mengatur penanganan, perlindungan, serta pemulihan korban, keluarga korban, dan saksi, termasuk terobosan dalam pelaporan dan pembuktian ketika kasus kekerasan seksual masuk peradilan.
Bagi korban, RUU ini diharapkan membawa keadilan karena mengatur pidana pokok berupa penjara, restitusi, rehabilitasi khusus bagi pelaku, serta pidana tambahan. Upaya pencegahan juga diatur dalam RUU tersebut, yakni mengatur peran dan tugas lembaga negara, korporasi, dan organisasi masyarakat untuk melakukan penghapusan kekerasan seksual.
Terus dikawal
Untuk mewujudkan RUU tersebut menjadi UU, Komnas Perempuan dan Lembaga Pengada Layanan bagi korban kekerasan yang tersebar di 32 provinsi, berbagai organisasi masyarakakat sipil terus memberikan dukungan kepada DPR. “Komnas Perempuan siap menjadi mitra utama Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam pembahasannya, agar dapat diselesaikan tahun ini sebagai warisan negara dalam pemajuan perlindungan perempuan di Tanah Air,” ujar Nurherwati.
Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) yang beranggotakan lebih dari 40 lembaga/organisasi yang fokus pada pemberdayaan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan juga mengawal proses RUU tersebut. Kamis (29/3), JKP3 melakukan pembahasan Definisi 9 Jenis Kekerasan Seksual RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan beberapa anggota panja di Komisi VIII DPR.
Walaupun semangat dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah memberikan perlindungan kepada para korban kekerasan seksual, di tengah proses legislasi tersebut ada sejumlah kelompok yang menolak RUU tersebut. RUU ini dinilai diskriminatif karena fokus pada perempuan dan menempatkan lelaki sebagai pelaku kekerasan kepada perempuan. Bahkan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dituding mengusung paradigma feminis yang tak sesuai norma yang dianut umumnya keluarga dan masyarakat Indonesia.
Bagaimana dengan DPR? sejauh ini, menurut Marwan Dasopang, tim panja masih melanjutkan kerja-kerja yang terkait dengan pembahasan draf RUU tersebut baik dengan internal DPR maupun pihak eksternal termasuk meminta pandangan dan masukan terkait RUU tersebut. Prosesnya memang masih berlanjut. Semoga asa para korban bisa segera diwujudkan para wakil rakyat.