Kusta Masih Jadi Ancaman Warga di Daerah Bencana
JAKARTA, KOMPAS — Penyakit kusta masih mengancam warga terutama yang tinggal di daerah bencana dan terdampak kemiskinan. Kondisi mereka semakin buruk karena fasilitas kesehatan dan jumlah tenaga kesehatan minim.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah kasus baru penyakit kusta per 100.000 penduduk di 34 provinsi pada 2016 adalah 11.755 kasus. Adapun jumlah kasus tertinggi terjadi di Jawa Timur sebanyak 3.636 kasus.
Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, Irmadita Citrashanty di Jakarta, Rabu (4/4/2018), mengatakan, dari 3.636 kasus tersebut, kejadian terbanyak terjadi di Pulau Madura. Pada 2017, terjadi 273 kasus baru di sana.
Kondisi masyarakat yang menderita kusta pun beragam, mulai dari yang ringan, yaitu timbul bercak putih atau merah di kulit yang mati rasa, hingga dalam kondisi kronis, seperti jari-jari telah putus karena luka.
Irmadita melanjutkan, penyakit yang disebabkan oleh infeksi itu menjadi-jadi karena lingkungan yang tidak sehat. Masyarakat kekurangan air bersih. Kondisi rumah mereka pun tidak memadai. Ventilasi, pencahayaan, dan tingkat kelembaban tidak memenuhi syarat.
[video width="640" height="352" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2018/04/WhatsApp-Video-2018-04-04-at-20.45.09.mp4"][/video]
Selain itu, kesadaran masyarakat untuk memeriksakan kondisi tubuhnya juga masih kurang. Mereka terkungkung stereotip bahwa menderita kusta adalah hal yang memalukan sehingga akan dikucilkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, warga cenderung enggan memeriksakan kondisinya agar tidak diketahui warga lainnya.
”Kondisi itu semakin buruk karena minimnya tenaga kesehatan,” kata Irmadita seusai jumpa pers Vaseline Healing Project di Jakarta, Rabu. Dalam acara itu, hadir pula Personal Care Director PT Unilever Indonesia Tbk Ira Noviarti, Brand Manager Vaseline Mahnessa Siregar, Ketua Tim Pelaksana Vaseline Healing Project di Desa Batukarang, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, dr Apsari Diana Kusumastuti, dan aktris Meisya Siregar.
Kesadaran masyarakat memeriksakan kondisi tubuhnya masih kurang. Mereka terkungkung stereotip bahwa menderita kusta adalah memalukan sehingga akan dikucilkan masyarakat. Warga cenderung enggan memeriksakan kondisinya agar tidak diketahui warga lainnya.
Irmadita mencontohkan, di Desa Tambak Pocok, Kabupaten Bangkalan, Madura, hanya ada satu dokter yang bertugas. Tenaga kesehatan lain yang membantu dokter adalah kader warga yang pengetahuannya mengenai kusta terbatas.
Selain itu, fasilitas kesehatan juga minim. Pusat kesehatan masyarakat dan rumah sakit hanya ada di ibu kota kabupaten. Untuk mengaksesnya, masyarakat perlu menempuh perjalanan selama tiga jam.
Kondisi serupa juga terjadi di Desa Batukarang, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Apsari mengatakan, Desa Batukarang merupakan terdampak erupsi Gunung Sinabung dengan populasi penduduk terpadat, yaitu 7.000 orang.
Dari 7.000 orang tersebut, sekitar 10 persen menderita penyakit kulit, salah satunya kusta. Menurut Apsari, yang sudah berkegiatan bersama masyarakat sejak erupsi Gunung Sinabung berlangsung pada 2010, masyarakat terserang penyakit kulit karena kekurangan sumber air bersih.
Sejak tujuh tahun lalu, belum ada penambahan sumber air bersih di Desa Batu Karang. Sebanyak 7.000 orang mengambil air dari tiga sumur bor.
Sebagian besar masyarakat hidup dalam kemiskinan. Erupsi yang dapat terjadi kapan saja membuat mereka kehilangan pekerjaan utama, yaitu bertani. Akibatnya, sebagian besar menjadi pengangguran.
Kemiskinan itu menyebabkan mereka tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan. Jarak antara desa dan puskesmas sejauh 4 kilometer harus ditempuh dengan menaiki angkutan umum. Namun, mereka tidak mampu membayar ongkos angkutan umum. ”Untuk mendapatkan uang Rp 4.000-Rp 5.000 saja membutuhkan usaha sangat besar bagi mereka,” ujar Apsari.
Dalam lingkup nasional, kondisi fasilitas kesehatan untuk kusta juga minim. Dalam data Kementerian Kesehatan disebutkan, jumlah rumah sakit khusus kusta terus menurun dari 2012-2016. Jumlah rumah sakit kusta berturut-turut dari 2012 adalah 22 turun menjadi 18, 16, 13, dan 12 pada 2016.
Penanganan dan perawatan
Menurut Irmadita, penanganan kasus kusta harus dilakukan secara berkepanjangan. Selain menyembuhkan masyarakat yang terkena kusta, mereka juga perlu dilatih agar memiliki pengetahuan untuk merawat.
Dia menjelaskan, penyakit kusta menyerang saraf di kulit sehingga menyebabkan mati rasa. Oleh karena itu, pasien tidak merasakan apa-apa ketika kulitnya terluka. Luka yang parah menyebabkan bagian tubuh pasien harus dimutilasi.
Sebelum luka, kulit pasien menjadi kering. Di saat itu, kata Irmadita, kulit perlu dijaga kelembabannya, salah satu caranya dengan membalurkan petroleum jelly. Meski tidak menyembuhkan kusta, penggunaan petroleum jelly dapat mengurangi risiko munculnya luka akibat kekeringan kulit.
”Petroleum jelly selalu kami resepkan untuk para pasien kusta,” ujar Irmadita.
Pengalaman serupa juga dialami oleh ahli dermatologi Grace Bandow dan Samer Jaber. Saat mengunjungi Jordania pada 2015, mereka menemukan bahwa petroleum jelly merupakan bahan yang paling banyak digunakan warga di kamp pengungsian untuk menangani penyakit kulit mereka.
Mahnessa mengatakan, Vaseline sebagai salah satu merek dagang yang memproduksi produk berbahan dasar petroleum jelly juga berkomitmen untuk membantu masyarakat. Vaseline menyumbangkan satu juta produk petroleum jelly ke 41 negara, termasuk Indonesia.