Lari Ultra Jauh: Lebih Tua, Lebih Berjaya
Urusan kemampuan finansial memang bisa menjadi jawaban mengapa mayoritas peserta maraton ultra adalah para master. Namun, hal itu tentu bukan jawaban atas fakta, para pelari yang berprestasi di nomor-nomor lari berjarak ekstrem ini adalah juga mereka yang berusia 30-an tahun atau lebih.
Para peneliti Swiss menemukan dalam kurun 1969-2012, para pelari yang finis dalam urutan 10 besar adalah mereka yang berusia 30-an hingga 40-an tahun. Selain itu, ada kecenderungan, semakin jauh nomor lari dalam maraton ultra, semakin tua pula mereka yang ada dalam kelompok 10 besar (top ten finishers), putra maupun putri.
Hasil dalam Tambora Challenge terlihat sealiran dengan penelitian di Swiss. Pada 2015, gelar pelari tercepat diraih Alan Maulana asal Bandung yang saat itu berumur 29 tahun (62 jam 28 menit). Setahun kemudian, predikat tercepat diraih pelari putra Maluku, Matheos Berhitu (43 tahun), dengan membukukan waktu 71 jam 17 menit.
Tahun lalu, waktu tercepat dikembalikan ke kisaran 60-an jam oleh insinyur teknik sipil Eni Rosita yang pelari putri. Usianya pada 2017 itu adalah 38 tahun. Pencapaian waktunya 63 jam 42 menit. Matheos yang tetap berpartisipasi juga masih menjadi putra tercepat. Waktunya masih 71 jam.
Usia 10 Tercepat Lari Ultra 1969-2012 (dalam tahun)
50 km | 100 km | 200 km | 1.000 km | |
Laki-laki | 34+/-6 | 32+/-4 | 44+/-4 | 47+/-9 |
Perempuan | 40+/-4 | 34+/-7 | 42+/-6 | 41+/-5 |
”Age and Ultra-marathon Performance 50 to 1,000 km distances from 169-2012”; Tobias Romer, Christoph Alexander Rust, Matthias Alexander Zingg, Thomas Roemann, Beat Knechtle; www.ncbi.nlm.nih.gov
Merujuk lebih jauh, merangkaknya usia dalam prestasi puncak—dahulu populer disebut dengan usia emas, golden age—yang berbanding lurus dengan jarak tempuh pada maraton ultra sesungguhnya selaras dengan nomor-nomor lari lainnya di atletik. Nomor lari dengan jarak terpendek dalam atletik, 100 meter, memiliki atlet dengan golden age—memiliki kecepatan puncak tertinggi—yang paling muda. Usia golden age sprinter 100 meter putra ada di usia 22,8 tahun dengan rentang pergeseran 2,3 tahun (lebih tua atau lebih muda).
Di nomor 200 meter, pelari elite dengan kecepatan puncak dimiliki mereka yang ada di usia lebih tua, 23,5 tahun. Pergeseran usia yang menua terus berlari seiring dengan semakin jauhnya jarak lari hingga maraton yang usia emasnya ada di kisaran 28,9 tahun untuk putra dan 29,8 tahun untuk putri.
Usia ”Emas” (Peak Running Speed) Nomor Lari
Sprint | Menengah | Jauh | ||||
100 m | 200 m | 800 m | 1.500 m | 10 K | Maraton | |
Laki-laki | 22,8+/-2,3 | 23,5+/-2,1 | 23,7+/-2,7 | 24,8+/-2,9 | 23,3 | 28,9+/-3,8 |
Perempuan | 22,8+/-2,3 | 23,5+/-2,1 | - | - | - | 29,8+/-4,2 |
Usia ”Emas” (Peak Running Speed) Ultra-Maraton
78 km (pegunungan) | 250 km (multistages Des Sables) | 217 km (Badwater) | 24 jam | |
Laki-laki | 33,9+/-4,2 | 37+/-8 | 41,3+/-2,5 | 42,1+/-2,4 |
Perempuan | 34,4+/-2,5 | - | 41,9+/-4 | 43,4+/-2,7 |
”Runners in their forties dominate Ultra-marathons from 50 to 3.100 miles”; Matthias Alexander Zingg, Christoph A Rust, Thomas Rosemann, Romuald Lepers, Beat Knehtle; Clinical Science; Juli 2013
Berkah penurunan fungsi fisiologis
Dominasi para pelari berusia master dan mengapa mereka adalah kelompok yang paling mampu bertahan di lomba lari maraton ultra ditunjang oleh beberapa faktor. Salah satu faktor adalah penurunan fungsi fisiologis yang justru menjadi berkah. Sejak menjelang usia 30 tahun, kualitas komponen kebugaran fisik seseorang memang akan mengalami penurunan: kecepatan, kekuatan, kelenturan, dan juga daya tahan aerobik (endurance)-nya.
Sejak usia tersebut, seiring dengan kian bertambahnya usia dari tahun ke tahun, kecepatan dan kekuatan menurun relatif signifikan. Tidak demikian halnya dengan endurance yang antara lain ditandai lewat kapasitas optimal paru-paru menyerap oksigen (VO2 max). Endurance dapat dijaga agar mengalami grafik penurunan kualitas yang landai hingga sebelum usia 60 tahun.
Baru setelah usia tersebut, penurunan drastis terhadap VO2 max tak lagi dapat ditahan. Tabel kebugaran kardiovaskular (VO2 max) yang disusun oleh Kenneth H Cooper bisa menjadi gambaran karena klasifikasi VO2 max versi Cooper dinilai cocok diterapkan pada orang-orang yang terlatih—mereka yang rutin dalam kegiatan olahraga dan tidak harus seorang atlet.
Cooper adalah seorang dokter Angkatan Udara AS. Pada 1960-an, dia menjadi salah satu pelopor dalam metode pengujian kemampuan daya tahan aerobik. Menurut Cooper (seperti juga klasifikasi yang dibuat oleh para ahli olahraga lainnya), besaran VO2 max dalam kategori ”sangat baik” akan berbeda-beda, bergantung pada usia. Semakin tua, besaran VO2 max tersebut akan semakin menurun, tetapi relatif stabil hingga usia 60 tahun.
Ambil contoh bagi kelompok usia (KU) 13-19 tahun. VO2 max di kategori sangat baik ada di rentang lebih dari 51 mililiter oksigen per kilogram berat badan per menit. Dalam tes, angka sebesar itu dicapai jika seorang dalam KU tadi mampu berlari sekurangnya 2,76 kilometer dalam tempo 12 menit.
Pada kelompok usia 20-29 tahun, kategori sangat baik diperoleh jika dalam tes, mereka bisa mencapai jarak 2,64 kilometer. Lebih pendek 120 meter kelompok usia 13-19 tahun. Pada KU 30-39 tahun, kategori daya tahan aerobik sangat baik diperoleh jika bisa berlari 130 meter lebih pendek dari KU 20-29 tahun. Kategori sangat baik di KU 40-49 tahun bahkan ditandai dengan selisih kemampuan jarak lari yang cuma 50 meter dari KU di bawahnya.
Rentang jarak mencolok baru terlihat pada kelompok usia di atas 60 tahun. Mereka yang punya daya tahan kardiovaskular sangat baik di kelompok ini, dalam tes, berlari 200 meter lebih pendek dibanding KU di bawahnya (50-59 tahun).
Kemampuan Aerobik dari Tes Lari (Cooper) 12 Menit
Kategori Sangat Baik
Laki-laki | 13-19 th | 20-29 th | 30-39 th | 40-49 th | 50-59 th | 60 th- |
VO2 Max | >51 | >46,5 | >45,0 | >43,8 | >41,0 | >36,5 |
Jarak Tempuh (km) | >2,76 | >2,64 | >2,51 | >2,46 | >2,32 | >2,12 |
Perempuan | 13-19 th | 20-29 th | 30-39 th | 40-49 th | 50-59 th | 60 th- |
VO2 Max | >39,0 | >37,0 | >35,7 | >32,9 | >31,5 | >30,3 |
Jarak Tempuh (km) | 2,28 | >2,16 | >2,08 | >2,00 | >1,90 | >1,76 |
Buku Pedoman Biomekanik dan Kebugaran Jasmani, Kemenpora, 2008
Agaknya, kemampuan seseorang mempertahankan kualitas endurance dalam waktu yang lama disebabkan komponen kebugaran tersebut dapat ditingkatkan dengan persentase paling besar. Teknokrat olahraga Paulus Pasurney adalah salah satu pelatih senior Indonesia yang tak lelah mengingatkan untuk rajin melatih kapasitas aerobik.
Pasalnya, endurance dapat ditingkatkan hingga 800 persen. Itu jauh lebih tinggi dari peningkatan kekuatan (strength) yang 400 persen atau dari komponen kecepatan (speed) yang maksimal bisa ditingkatkan sebanyak 20 persen. Meningkatkan hingga 800 persen memang tidak mudah dan tak mungkin cepat. Tetapi, begitu diperoleh, endurance yang prima bernilai amat tinggi dalam waktu yang lama. Sulit diperoleh, tetapi begitu didapat tak mudah hilang (dengan catatan, tetap rutin menjaganya dalam latihan).
Ilustrasinya, seseorang perlu kerja keras—dan nasib baik—dalam tempo yang lama untuk mampu membeli mobil Mercedes Benz seharga Rp 3 miliar. Beberapa tahun kemudian, dengan perawatan yang bagus, harga mobil itu mungkin akan jatuh Rp 500 juta lebih murah jika dijual kembali. Namun, tetap saja Rp 2,5 miliar hasil penjualan Mercedes itu masih bisa digunakan untuk membeli rumah yang molek di real estat elite.
Bandingkan dengan sepeda motor skutik. Mungkin Anda hanya perlu menabung tak lama untuk bisa membelinya. Katakanlah harganya Rp 15 juta. Namun, setelah beberapa tahun—juga dengan perawatan yang bagus—Anda hanya akan memperoleh Rp 10 juta saat menjual skutik itu. Uang sebanyak itu agaknya hanya cukup untuk membeli sepeda yang lumayan bagus, bukan sepeda motor bagus.
Seperti pemilik Mercedes, para pelari sanggup melakoni maraton ultra (endurance sport) karena mereka punya modal luks tahan lama berupa endurance yang baik, tak mengapa jika kecepatan dan kekuatan mereka telah banyak menurun. Yang pasti, komponen endurance seperti itu telah mereka pupuk sejak lama.
Satu penurunan fisiologis yang juga menjadi berkah bagi para pelari maraton ultra—yang usia master itu—adalah berkurangnya serabut otot putih. Menurut dua ilmuwan medis dari Lund University, Swedia, William J Evans dan Jan Lexell, penambahan usia berdampak pada menyusutnya serabut otot putih. Sementara dampak penambahan usia terhadap kondisi serabut otot merah tak mencolok (”Human Aging, Muscle Mass, and Fiber Type Composition”, dalam Journal of Gerontology, https://academic.oup.com)
Serabut otot putih mengacu pada warnanya yang merah pucat dan dalam bahasa Inggris disebut fast twitch fibers. Disebut ”serabut berkejang cepat” karena memang menghasilkan kontraksi yang cepat, eksplosif, hasil dari banyaknya pemanenan energi anaerobik—tanpa perlu oksigen. Serabut otot putih dalam jumlah relatif besar membuat orang dapat melakukan gerakan yang cepat—seperti lari sprint—dengan baik. Namun, energi yang dihasilkannya tak tahan lama. Begitu habis, otot ini memerlukan waktu pengisian zat gizi bahan bakar agar kembali dapat dipanen dalam proses glikolisis yang terjadi dalam cairan sel otot (sitoplasma).
Adapun serabut otot merah—mengacu pada warna merahnya yang gelap dinamakan slow twitch fibers dalam bahasa Inggris—”serabut berkejang lambat”. Sel-sel otot tulang kerangka dalam serabut ini kaya akan mitokondria, materi atau organel berbentuk kacang merah. Mitokondria adalah pabrik energi dalam proses aerobik (memerlukan oksigen). Meski tenaga yang dihasilkan lebih lambat, tidak instan dan eksplosif seperti proses anaerobik, energi yang dipanen banyak dan tahan lama.
Dengan serabut otot merah yang tetap banyak dan serabut otot putih yang telah jauh berkurang, para pelari master mampu merajai maraton ultra karena tubuh mereka secara alamiah bisa ”berkonsentrasi” pada kerja aerobik yang relatif lamban dan stabil dalam tempo lama. Ini amat klop di saat mereka tetap memiliki kapasitas maksimal serapan oksigen yang tinggi.
Sebaliknya, konsentrasi seperti itu tak mudah bagi pelari muda. Tubuh mereka secara alamiah akan menuntut, ”Hai, kita punya serabut otot putih, kita bisa berlari cepat. Ayo gunakan!”
Begitu ”godaan” tersebut dituruti, konsekuensinya adalah rasa lelah yang hadir lebih cepat karena tubuh serta-merta mengisyaratkan bahwa ”bahan bakar” telah habis dan saatnya berhenti guna pengisian ulang. Alhasil, si muda bisa berlari lebih cepat, tetapi memerlukan waktu istirahat yang lebih banyak dan lebih lama dibanding si master.
Ini mirip dongeng anak-anak tentang seekor kelinci dan seekor kura-kura yang berlomba lari. Si kelinci melesat cepat dan dengan singkat meninggalkan kura-kura. Setelah jauh, kelinci berleha-leha sambil makan wortel yang dia petik di kebun di tepi jalan. Saat kura-kura mendekat, kembali si kelinci melesat. Fragmen seperti itu terjadi berulang, sampai akhirnya si kelinci terlena ketiduran di masa rehatnya. Tanpa disadari, kura-kura yang berjalan lamban, tetapi terus-menerus, sampai di garis finis lebih dahulu.
Eni Rosita pun tak berlari seperti sang kelinci saat menjuarai Tambora Challenge tahun lalu. Menurut dia, sejak awal dia memutuskan untuk berlari dalam tempo yang cukup santai, tetapi stabil. Dengan begitu, dia dapat menghemat tenaga dan tidak memerlukan waktu istirahat yang lama (untuk pemulihan) pada ketujuh titik peristirahatan besar (check point) yang ada.
”Saya istirahat paling lama mungkin sekitar 2 jam pada check point di Kilometer 200,” ujar Eni mengenang. Pada lokasi-lokasi pengedropan air (water station) yang ada di tiap 20 kilometer lomba, Eni pun berhenti sekadarnya, sekitar 5 menit. Sekadar minum, mengisi ulang bekal air, atau makan kudapan. Itu pun tak selalu dia harus berhenti.
Menurut catatan Lexi, total waktu istirahat Eni di lomba tahun lalu berkisar 10 jam. Artinya, jarak 320 kilometer Eni tempuh dengan berlari selama 53 jam 42 menit. Kecepatannya berkisar 6 kilometer per jam atau 1,6 meter per detik. Itu kecepatan joging yang sabar, jauh lebih lambat dari rata-rata kecepatan pelari pria berusia 50 tahunan dalam lomba maraton yang berkisar 2,3 meter per detik atau hampir empat kali lebih lambat dari kecepatan pelari maraton elite dunia.
Pengalaman, pengetahuan, mental
Tentu saja, uraian faktor fisiologis di atas tidak serta-merta menjelaskan, mengapa seseorang mampu berlari menempuh jarak begitu jauh dalam maraton ultra dan mengapa mereka yang berusia master yang ”berkuasa”. Faktor lain yang menentukan dalam olahraga daya tahan dan amat vital dalam maraton ultra menurut peneliti Swiss, Tobias Romer, dan kawan-kawannya adalah: pengalaman dan pengetahuan.
Pengalaman lari akan memperkaya pengetahuan tentang cara berlari yang lebih efektif dan efisien. Untuk mereka yang akhirnya bisa finis di maraton ultra ratusan kilometer, pengalaman itu tak bisa diperoleh dalam waktu singkat. Menurut Lexi, ada syarat bagi mereka yang ingin ikut lomba lari 320 kilometer, yaitu sudah pernah mengikuti lomba lari 100 kilometer. Untuk bisa berlari dalam lomba 100 kilometer, seorang pelari secara teoretis harus lebih dulu mengenyam lomba maraton.
Sementara itu, ada ketentuan teoretis, lomba maraton—untuk tujuan prestasi, mencapai hasil optimal—cuma bisa diikuti paling banyak dua kali dalam setahun. Adapun nomor-nomor maraton ultra paling banyak sekali dalam setahun.
Katakanlah si Sukab (nama tokoh imajiner yang sering hadir dalam cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma) mulai suka dengan olahraga lari tahun ini. Setelah sekian bulan berolahraga lari secara rutin dalam frekuensi yang terus meningkat tiap pekan, dia memutuskan mencoba ikut lomba lari 5.000 meter dan 10.000 meter tahun itu juga.
Sukses. Maka, pada tahun kedua Sukab membidik lomba maraton. Sekali saja. Rupanya, bekal latihannya kurang. Endurance-nya belum mencukupi. Dia tak sukses di lomba maraton perdana itu. Maka, dia kembali menekuni hobi larinya untuk kemudian kembali ikut di lomba maraton pada awal tahun ketiga.
Sukses. Di akhir tahun itu pula Sukab terpanggil untuk lagi-lagi ikut lomba maraton. Sukses berulang. Maka, pada tahun keempat, Sukab yang semakin menggilai olahraga langkah kaki itu mendaftar ikut lomba maraton ultra 100 kilometer. Berhasil. Tahun kelima, Sukab pun memberanikan diri terjun di maraton ultra 320 kilometer.
Sukses? Bisa ya, bisa juga belum. Bagaimanapun, tingkat kesuksesan mencapai finis pada lomba maraton ultra tidak besar. Secara global, jumlah peserta yang mencapai finis berkisar 17,5 persen hingga 82,5 persen, bergantung pada jarak lomba dan jenis kelamin peserta. Pada Tambora Challenge, ujar Lexi, keberhasilan para peserta mencapai finis masih di bawah 10 persen.
Sukab perlu waktu lima tahun untuk memperoleh pengalaman yang cukup—kemudian bekal pengetahuan yang memadai—guna mengikuti maraton ultra 320 kilometer pertamanya. Eni Rosita perlu pengalaman dua tahun sejak mulai menyukai lari sebelum mengikuti Tambora Challenge perdananya (dalam kurun 2 tahun itu, Eni bisa dikatakan telah menjelma lebih dari seorang pehobi lari. Dalam keseharian, dia menyempatkan diri berlari dua sampai lima kali sepekan. Umumnya setelah jam kantor usai).
Para peneliti Swiss menganalisis, seseorang baru berhasil mencapai finis di maraton ultra setelah tiga hingga tujuh tahun menekuni olahraga lari jarak jauh. Agaknya, hal ini pula yang akhirnya menjelaskan, mengapa pelari maraton ultra yang sukses adalah mereka yang telah melewati usia 30 tahun. Rentang waktu itu sekaligus menjawab cara seorang pelari maraton ultra memperoleh kualitas endurance mereka yang prima.
Pada akhirnya mental
Dalam satu perbincangan, pakar sports strength and conditioning Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta, Oktavianus Matakupan, memastikan, secara teoretis tubuh manusia memang mampu untuk menjalani tantangan ekstrem.
Tubuh manusia bisa ”dipaksa” untuk menuntaskan lari berjarak 320 kilometer dengan cut off time 72 jam. Tubuh manusia juga bisa ”digenjot” habis-habisan selama sekian hari tak henti dengan istirahat yang minim dalam seleksi minggu neraka di barak-barak pasukan khusus.
Teori dan penelitian terhadap metabolisme, fisiologis, antropometris, atau penerapan pengetahuan serta pengalaman bisa menerangkan kemampuan tubuh itu. Kekayaan endurance, pengetahuan, dan pengalaman, misalnya, menjadi penjelasan mengapa Eni sukses menjadi juara lewat ritme larinya yang relatif pelan. Ritme yang membuat denyut nadinya paling berkisar 120-140 denyut per menit, jauh di bawah zona optimal latihan yang 164-168 denyut per menit untuk perempuan seusianya.
”Permainan” di wilayah submaksimal itu membuat Eni berhasil menekan kebutuhan istirahatnya. Waktu pemulihan fisik pun diperoleh relatif lebih cepat. ”Tapi, gue tetap enggak pernah mengerti, ini kan jaraknya 320 kilometer,” ujar Oktaf, begitu dia disapa.
Lebih dari 20 tahun mengenal Oktaf, baru dalam kesempatan ini dia melontarkan rasa heran terhadap fenomena aktivitas jasmani dan olahraga. Oktaf takjub—sekaligus merasa belum juga memperoleh jawaban yang memadai—tentang mengapa ada orang (kelompok orang) yang mau dengan sukarela dan sukacita berlari menempuh jarak ratusan kilometer dalam sekali lomba.
Rasa heran Oktaf itu sendiri sesungguhnya memunculkan rasa heran yang lain. Oktaf yang penggila pendakian gunung—bahkan gunung-gunung es yang miskin oksigen—terkesima pada mereka yang menggilai aktivitas lari ultra jauh.
Ketersimaan itu mungkin bisa cukup terpuaskan lewat penjelasan profesor psikologi olahraga Universitas Otago Selandia Baru, Kenneth Hodge. Dalam salah satu risetnya, Hodge menyoroti kecenderungan orang yang bergiat pada kompetisi atau aktivitas fisik yang tak menarik perhatian publik. Kesimpulannya ada pada motivasi intrinsik (dari dalam diri sendiri) yang besar: pencarian kepuasan lewat kemampuan diri sendiri, bukan kepuasan yang didasarkan pada kemenangan atas kompetitor.
Apa sesungguhnya kepuasan yang dicari pelari lewat maraton ultra? Sama seperti pendaki gunung es, seperti orang yang sendirian mengarungi samudra dalam biduk layar, seperti para petualang, seperti pegiat olahraga ekstrem lainnya, jawaban itu sangat mungkin unik. Orang-orang tersebut merasakan motivasi itu hadir kian lama kian kuat. Namun umumnya, mereka tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata.