Posyandu Belum Dijadikan Prioritas
Posyandu merupakan kunci layanan kesehatan terutama pada balita dan ibu. Namun kehadirannya belum dianggap prioritas oleh pemerintah dalam kerangka pencapaian SDGs.
JAKARTA, KOMPAS – Posyandu sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di ranah preventif dan promotif belum mendapatkan perhatian yang optimal dari pemerintah. Beberapa masalah ditemukan dalam peningkatan kapasitas bagi kader posyandu, pemenuhan sarana, dan pelaksanaan kebijakan. Apabila hal itu tidak dibenahi, maka ditakutkan dapat mengurangi kualitas pelayanan kesehatan di tingkat dasar.
Permasalahan itu muncul dalam hasil audit yang dilakukan oleh Kalyanamitra, pusat komunikasi dan informasi perempuan, terhadap program dan layanan posyandu di Kelurahan Cipinang Besar Utara (Jatinegara, Jakarta Timur), Kelurahan Penjaringan (Penjaringan, Jakarta Utara), dan Desa Banjaroya (Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta). Audit yang dilakukan pada periode 2016-2018 itu meliputi kebijakan posyandu, program posyandu, kapasitas kader posyandu, dan anggaran posyandu.
Ketua Kalyanamitra, Listyowati, mengatakan, posyandu merupakan kunci layanan kesehatan terutama pada bayi lima tahun (balita) dan ibu. Namun, kehadiran posyandu belum dianggap prioritas oleh pemerintah untuk ikut membantu dalam kerangka pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
“Kalau pemerintah mau memaksimalkan peran posyandu, usaha-usaha promotif dan preventif di posyandu bisa dilakukan, beri informasi penyuluhan kepada ibu-ibu berisiko tinggi. Hal itu sederhana, tetapi sangat berkontribusi menurunkan angka kematian ibu dan bayi,” ujar Listyowati dalam acara Jambore Posyandu di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur, Selasa (3/4/2018).
Sekitar 80 kader dari ketiga posyandu yang telah diaudit itu berkumpul dalam jambore tersebut. Hadir juga perwakilan Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), dan pemerintah daerah terkait.
Listyowati menuturkan, berdasarkan laporan audit tiga posyandu, salah satunya, pemerintah belum serius dalam peningkatan mutu dari para kader posyandu. Akibatnya, para kader kebingungan dalam memberikan penyuluhan kesehatan kepada ibu-ibu hamil.
“Peningkatan kapasitas tidak diberikan, jadi bagaimana ibu-ibu bisa beri penyuluhan dan rajin keliling. Kalau pemerintah seakan-akan melepas itu, mereka jadi gagap dan akhirnya kerjaannya hanya menimbang-nimbang berat badan bayi saja,” kata Listyowati.
Menjadi kendala
Salah satu kader posyandu dari Kelurahan Penjaringan, Amin Warsini (43), mengatakan, selama empat tahun menjadi kader dirinya tidak pernah mendapatkan pelatihan dari pemerintah setempat. Hal itu menjadi kendala dalam memberikan informasi kesehatan yang akurat dan faktual kepada masyarakat.
“Kami juga tidak bisa memberikan penyuluhan sembarangan sesuai ilmu kami sendiri. Jadi kami juga takut untuk muter ke rumah warga,” ujarnya.
Salah satu kader posyandu dari Desa Banjaroya, Eka Purwanti (41) juga mengatakan, para kader di desanya kurang mendapatkan pendampingan dalam penyusunan sistem informasi posyandu (SIP). Dirinya juga mengaku tidak pernah mendapatkan penyuluhan untuk warga lanjut usia.
“Padahal, SIP itu ujung tombak untuk data di tingkat paling bawah. Gimana kami bisa menyajikan data-data yang akurat kalau kader tidak punya kapasitas yang bagus, dalam pencatatan, pelaporan,” ucapnya.
Sedangkan kader posyandu dari Cipinang Besar Utara, Sabar Intan (42), menyayangkan pemerintah tidak memberikan insentif kepada para kader posyandu. Padahal, mereka memiliki tanggung jawab besar. Bahkan, tak jarang, dia kerap mengeluarkan uang sendiri karena pemerintah daerahnya tidak mengalokasikan dana khusus untuk pemberian makanan tambahan (PMT).
Tugas bersama
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Pattiselano Robert Johan mengatakan, tingkat keaktifan dari posyandu saat ini sebesar 57 persen dari sekitar 280 ribu posyandu di Indonesia. Karena itu, peningkatan kapasitas kader posyandu menjadi penting agar para kader bisa bergerak kembali.
“Ini merupakan tugas bersama antara pemerintah daerah, lurah, camat, dan kementerian. Harus ada strategi perencanaan dan pelaksanaan program yang komprehensif dengan sistem lintas sektor,” ujarnya. Terkait insentif bagi para kader, John menilai, itu sesuai alokasi dana desa masing-masing.
Kepala Subdirektorat Promosi Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas Entos Zainal mengatakan, Indonesia masih memiliki masalah dalam kebijakan kesehatan, salah satunya posyandu. Karena itu, arah kebijakan strategi antarkementerian dan pemerintah daerah harus satu dan tidak tumpang tindih.
“Dana desa memang harus difokuskan kepada posyandu, di daerah juga ada dana penguatan RW yang salah satunya untuk posyandu. Itu harus diawasi betul agar berjalan sesuai peruntukkannya,” katanya.
Ketua Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Yogyakarta Gusti Kanjeng Ratu Hemas mengatakan, di Daerah Istimewa Yogyakarta, setiap kader posyandu mendapatkan insentif, setidaknya Rp 30.000 per kader per bulan. Insentif ini untuk menghargai kerja para kader.
“Kalau ada rapat desa, mereka bersuara. Memang seharusnya para kader satu suara untuk ikut menentukan seberapa banyak yang harus diberikan pada kader dan sarana apa yang dibutuhkan,” ujarnya.
Meski demikian, kata Hemas, angka kematian ibu dan anak di DIY tergolong masih tinggi karena sulitnya akses antardusun. Karena itu, ia mendorong agar ibu-ibu hamil rutin memeriksakan kehamilannya.