PEKANBARU, KOMPAS – Sidang Komisi Informasi Provinsi Riau menyatakan bahwa Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Riau adalah informasi yang tidak boleh ditutup-tutupi. Draf Ranperda RTRW tersebut bukan rahasia negara yang boleh dikesampingkan sesuai isi Undang-Undang No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Informasi yang dimohonkan oleh pemohon adalah informasi publik dan (bersifat) terbuka,” kata Jufra Irwan, Ketua Majelis Komisi Informasi saat membacakan putusan sengketa informasi publik yang diajukan oleh organisasi Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau terhadap DPRD Riau, di Pekanbaru, Rabu (4/4/2018).
Dengan putusan itu, berarti DPRD Riau harus segera membuka dan memberikan isi Ranperda RTRW Riau kepada pihak-pihak yang menginginkannya. Tidak ada alasan lagi buat DPRD untuk menutup-nutupi Ranperda dimaksud dengan dalih rahasia yang dapat menimbulkan keresahan di masyarakat.
Gugatan Jikalahari bermula dari surat permintaan kepada DPRD Riau agar memberikan draf Ranperda RTRW Riau, pada 6 September 2017. Surat itu tidak ditanggapi DPRD. Jikalahari kemudian membuat surat keberatan kepada DPRD Riau pada 26 September.
Namun lagi-lagi, surat itu didiamkan. Pada awal Desember 2017, Jikalahari mengajukan penyelesaian sengketa informasi ke Komisi Informasi Provinsi Riau.
Dalam persidangan sebelumnya DPRD Riau melalui kuasa hukumnya, Yan Dharmadi, Elly Wardhani, Ardis Handayani, Hermanto dan Khuzairi tetap tidak bersedia memberikan dokumen Ranperda RTRW Provinsi Riau. Termohon (DPRD) beralasan bahwa Ranperda tersebut tengah dievaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri.
Apabila draf atau ranperda yang belum ditetapkan sebagai peraturan daerah dibuka kepada publik, dikhawatirkan dapat menimbulkan kesimpangsiuran informasi.
Sebaliknya menurut kuasa hukum Jikalahari, Okto Yugo, alasan DPRD Riau itu justru bertentang dengan semangat keterbukaan yang diusung UU KIP. Pada UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, justru berisi petunjuk untuk mengedepankan asas keterbukaan dalam pembentukan perda.
Bahkan masyarakat, berhak mendapatkan informasi rancangan peraturan daerah berserta dokumen pendukunganya sebagaimana diatur pasal 96 UU No 12/2011 yang menyatakan : Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Bunyi perundang-undangan lain, yaitu Peraturan Pemerintah No 45/ 2017 tentang Partisipasi Publik dalam Penyelenggaran Pemerintah Daerah juga mengamanatkan hal yang lebih rinci soal keterbukaan. Pasal 2 ayat (2) PP dimaksud menjelaskan bahwa peraturan daerah dan kebijakan daerah yang mengatur dan membebani masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: rencana tata ruang, pajak daerah, retribusi daerah, perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah, perizinan, pengaturan yang memberikan sanksi kepada Masyarakat, dan pengaturan lainnya yang berdampak sosial.
“Pada pasal 4 PP itu bahkan menyebutkan, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, Pemerintah Daerah harus menyosialisasikan rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan kepala daerah melalui media informasi yang mudah diakses oleh masyarakat dan mengembangkan sistem informasi penyusunan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah berupa layanan daring," kata Okto.
Jadi, tambah Okto, draf Ranperda dan dokumen pendukungnya adalah informasi yang terbuka. Bahkan masyarakat semestinya tidak harus meminta. Pemerintah yang harus proaktif menyampaikan melalui media– media yang mudah diakses oleh masyarakat.
Manurut Okto, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang juga memberikan ruang besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam memberi masukan dalam penyusunan, pelaksanaan dan pengawasan. Perintah itu tertuang dalam pasal 60 II Np 26/2007.
Kontroversial
Sayangnya, meski sudah memutuskan Ranperda RTRW Riau adalah informasi publik yang bersifat terbuka, dua dari tiga anggota majelis KI Provinsi Riau membuat putusan lain yang berbau kontroversial. Putuan itu adalah, KI Provinsi Riau menolak menyelesaikan sengketa informasi yang diajukan Jikalahari terhadap DPRD Riau.
Dalam pertimbangannya, dua majelis KI yaitu Hasna Gazali dan Alnofrizal menyatakan permohonan Jikalahari belum sesuai dengan Tata Cara Permohonan yang tertuang dalam Peraturan Komisi Informasi no 1/2010 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik. Hal itu disebabkan dalam permohonannya, Jikalahari menggugat “Ketua DPRD Riau” selaku Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di DPRD Riau. Adapun dalam strukturnya, PPID di DPRD Riau diketuai oleh “Sekretaris Dewan”.
Ketua Majelis Jufra Irwan justru menyatakan tidak mempersoalkan tata cara tersebut dan menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan dua anggotanya. Namun majelis KI Provinsi Riau mempersilakan Jikalahari mengajukan permohonan ulang untuk persoalan yang sama.
“Saya tidak habis pikir mengapa majelis kembali mempersoalkan tentang tata cara permohonan. Masalah itu sudah pernah dibahas di persidangan dan majelis menyatakan tidak bermasalah. Mengapa sekarang soal itu diungkit lagi dan dituangkan dalam putusan,” kata Okto.
Sebagai lembaga yang terbilang baru atau belum terlalu dikenal masyarakat, kata Okto, KI semestinya tidak menggagalkan permohonan hanya karena pemohon tidak mengikuti tata cara peraturan internal KI. Yang lebih penting adalah substansi permohonan sudah sesuai dengan ketentuan undang-undang.