Solidaritas Pembentuk Identitas
”Saya sempat tergabung sampai pangkat letnan dua,” ujar Bhea di Jakarta, Jumat (31/3/2018).
Akan tetapi, karier Bhea tidak bertahan lama. Ia terlibat pelanggaran yang berakibat pada pemenjaraan. Setelah keluar dari rumah tahanan militer (RTM), alih-alih kembali ke kesatuan, ia justru desersi, lari dari dinas ketentaraan.
Desersi rupanya tidak membawa kelegaan baginya. Lelaki asal Surabaya itu sulit mendapatkan pekerjaan. Untuk bertahan hidup, ia mengerjakan apa pun meski tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalamannya.
Pada 1998-2013, Bhea bekerja menjadi sopir, mulai dari sopir di Kedutaan Besar Brunei Darussalam untuk Indonesia, sopir pribadi direksi perusahaan, hingga sopir pribadi seorang menteri. Akan tetapi, pekerjaan itu juga ia tinggalkan. Pada 2014, ia memutuskan untuk menjadi pengojek pangkalan di Bekasi Utara, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Selain dari ranah profesi, taraf kehidupan Bhea juga menurun. Ia yang biasa tinggal di rumah milik sendiri harus mengontrak rumah seluas 25 meter persegi di Bekasi Utara. Berat badannya pun turun dari 82 kilogram menjadi 60 kilogram.
Harapan Bhea untuk memperbaiki taraf hidup mulai muncul ketika usaha aplikasi angkutan daring hadir. Pada awal 2015, ia bergabung menjadi mitra perusahaan penyedia aplikasi Grab. Setahun setelahnya, ia mendaftarkan diri sebagai mitra Go-Jek. Hingga hari ini, harapan itu masih ia pupuk. Sudah lebih dari dua tahun Bhea menjadi pengojek daring di kedua perusahaan tersebut.
Selain Bhea yang menggantungkan hidup sebagai pengojek daring, ada pula Badai Asmara (39). Mantan wartawan itu mulanya tergiur untuk menjadi pengojek daring karena iming-iming penghasilan setidaknya Rp 8 juta per bulan. Pada awal 2015, sambil tetap bekerja sebagai wartawan, penghasilannya dari mengojek daring mencapai Rp 1,1 juta dalam dua hari.
Penghasilan yang menjanjikan itu mendorong Badai untuk meninggalkan pekerjaan utamanya. ”Awalnya saya hanya coba-coba, sekarang jadi pekerjaan satu-satunya,” ujar Badai.
Pekerjaan sebagai pengojek daring memang menarik bagi banyak orang. Di samping penghasilan yang besar dan kelonggaran waktu kerja, ia juga menawarkan pergaulan yang luas.
Sebagaimana dirasakan Fidin Prasetyo (42), pengusaha percetakan dari Cilincing, Jakarta Utara, yang melirik pekerjaan tersebut setelah berinteraksi secara intens dengan para pengojek daring yang kerap memesan atribut di percetakannya.
Fidin menambahkan, atribut yang dipesan biasanya diambil dari lambang komunitas pengojek daring. Bentuknya mulai dari emblem bordir, bros, jaket, rompi, hingga stiker.
Bagi pria asal Kendal, Jawa Tengah, itu, inisiatif untuk memvisualisasikan lambang komunitas merepresentasikan kebanggaan dan solidaritas yang kuat. Ia yang sejak sekolah menengah atas (SMA) aktif di sejumlah organisasi merasa tertarik. Nalurinya untuk berorganisasi kembali membuncah.
Selama menjadi pengojek daring, saya lebih aktif berorgansasi ketimbang mencari uang.
”Selama menjadi pengojek daring, saya lebih aktif berorganisasi ketimbang mencari uang,” kata Fidin sambil tertawa lepas. Saat ini, ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Tim Khusus Antibegal (Tekab) Indonesia, salah satu komunitas pengojek daring di Jakarta.
Simbol identitas
Perkembangan kegiatan komunitas pengojek daring diiringi dengan semarak kemunculan simbol identitas. Untuk berkegiatan, para pengojek daring tidak cukup mengenakan atribut seperti jaket dan helm berlogo perusahaan saja.
Bhea, misalnya, menempeli bagian depan kanan dan kiri jaket Go-Jek miliknya dengan emblem dan pin Tekab Indonesia, komunitas tempatnya bernaung. Selain itu, ada pula pita merah putih di tangan kanan jaketnya.
Kreativitas pengojek juga berkembang dalam emblem logo komunitas tersebut. Beberapa pengojek di Kramatjati, Jakarta Timur, tampak menempeli bagian belakang jaketnya dengan bordiran helm bersayap dengan tulisan Go-Jek Solidaritas. Logo yang sama juga mereka cetak pada gantungan kunci yang menggantung di tas mereka.
Bagi Bhea, mengenakan jaket dengan berbagai logo komunitas memunculkan kebanggaan tersendiri bagi para pengojek daring. Bahkan, kebanggaan tersebut juga mendorong mereka untuk mendikotomikan pengguna jalan ke dalam dua golongan, yaitu ojol (pengojek daring) dan sipil (warga dengan pakaian tanpa atribut ojek daring).
Kami sangat sulit mendapatkan jaket ini, harus mengantre berjam-jam untuk mendaftar menjadi pengojek daring. Jadi yang tidak menggunakan atribut, kami sebut warga sipil.
”Kami sangat sulit mendapatkan jaket ini, harus mengantre berjam-jam untuk mendaftar menjadi pengojek daring,” kata Bhea. ”Jadi yang tidak menggunakan atribut, kami sebut warga sipil,” kata Bhea.
Antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Paschalis Maria Laksono, mengatakan, beragam simbol identitas yang dibuat komunitas pengojek daring merupakan wujud penolakan atas penyeragaman.
Perusahaan yang merekrut mereka sebagai mitra mengharuskan pengojek mengenakan jaket dan helm yang sama. Selain itu, mereka juga diseragamkan melalui penerapan prosedur kerja yang serupa.
Penyeragaman juga hadir dalam bentuk lain, yakni pembentukan istilah-istilah khusus. Mereka menciptakan istilah-istilah baru yang mengacu pada kegiatan yang tercipta bersamaan dengan munculnya aplikasi ojek daring dan berbagai teknologinya.
Perusahaan yang merekrut mereka sebagai mitra mengharuskan pengojek mengenakan jaket dan helm yang sama. Selain itu, mereka juga diseragamkan melalui penerapan prosedur kerja yang serupa.
Contohnya, istilah ngebid saat ini digunakan selayaknya frasa narik ojek. Istilah ngebid ini diadopsi dari sebuah tombol di aplikasi untuk mengaktifkan layanan ojek daring. Sementara itu, singkatan PM bukan berarti peraturan menteri atau private message, melainkan putus mitra, yakni ketika perusahaan aplikasi memberhentikan mitra pengojek daring secara permanen. Hal ini biasanya disebabkan oleh pelanggaran yang dilaporkan oleh penumpang.
Selain istilah-istilah yang berasal dari teknologi aplikasi tersebut, banyak kata lain yang muncul dalam semangat kekeluargaan dari pengojek daring. Menurut Laksono, para pengojek daring membutuhkan bahasa khusus, yang menampung kode-kode yang mereka sepakati. ”Dalam bersolidaritas, komunitas membutuhkan media yang spesifik untuk berkomunikasi,” kata Laksono.
Istilah-istilah tersebut, seperti sipil: yang mengacu pada anggota masyarakat yang tidak mengenakan atribut ojek daring; taruna: anggota komunitas ojek daring; pos pantau: tempat berkumpul para pengojek daring, bisa dalam bentuk warung atau pos warga.
Laksono mengatakan, reaksi tersebut merupakan jawaban untuk mengatasi keberagaman latar belakang pengojek. ”Kalau di jalan mereka bertemu teman-teman, mengerubung, mengobrol. Mereka juga butuh mangkal tempat-tempat untuk berkerumun. Mereka juga akan takut kalau sendirian. Jadi komunitas dan identitasnya itu merupakan mekanisme pertahanan diri,” ucapnya.
Oleh karena itu, para pengojek yang berasal dari beragam latar belakang itu menciptakan simbol identitas untuk menonjolkan diri. ”Mereka diseragamkan secara masif. Oleh karena itu, pada titik tertentu mereka menjadi merasa tidak berdaya,” kata Laksono.
Para pengojek yang berasal dari beragam latar belakang itu menciptakan simbol identitas untuk menonjolkan diri. Mereka diseragamkan secara masif. Oleh karena itu, pada titik tertentu mereka menjadi merasa tidak berdaya.
Sore itu, Bhea tampak sedikit menyesal tidak mengenakan jaket miliknya yang lain. Jaket itu, ujar Bhea, penuh terpasang akan bros identitas komunitas. Dengan sedikit menyeringai, Bhea mengatakan, ada 2.392 bros yang terpasang di jaket tersebut. Katanya, berat jaket itu sampai 16 kilogram.
”Itu semua kenang-kenangan yang diberikan oleh setiap komunitas pengojek yang pernah saya temui. Jiwa saya tidak bisa abai terhadap rekan sejawat,” kata Bhea.