TALIWANG, KOMPAS — Lomba Lari Lintas Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, sejauh 320 kilometer, Rabu (4/4/2018), dimulai di Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat. Kali ini, 47 orang mengikuti lomba yang dibagi dalam dua kategori, yakni relay (estafet) dan full ultra (individu). Lomba ini sebagai upaya mempromosikan pariwisata di Pulau Sumbawa.
”Kami senang sekali lomba lari yang ekstrem ini menjadi kegiatan tahunan. Kegiatan ini membantu kami untuk mempromosikan potensi wisata di Pulau Sumbawa dan Nusa Tenggara Barat umumnya,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Nusa Tenggara Barat Lalu Mohammad Faozal, di Mataram, Lombok, Senin (2/4).
Lomba Lari Lintas Sumbawa merupakan yang keempat kalinya diselenggarakan harian Kompas yang bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi NTB. Tahun ini, kegiatan tersebut didukung Telkomsel, PT PLN (Persero), dan Bank NTB. Hingga kini, lomba lari itu masih menjadi yang terjauh di Asia Tenggara.
Direktur Perlombaan Lexi Rohi mengatakan, lomba kali ini diikuti 27 orang untuk kategori full ultra 320 km dan 20 orang atau 10 pasangan untuk kategori estafet masing-masing 160 km. Ini terdiri dari 7 pasangan pria dan 3 pasangan putri. Para pelari itu 70 persen berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang. Sisanya berasal dari sejumlah wilayah Indonesia, antara lain Medan, Padang, Semarang, Bali, Makassar, dan Ambon.
Di antara para pelari itu, ada juara full ultra 2017 dan 2016 asal Ambon, Matheos Berhitu; juara full ultra 2017 putri. Eni Rosita; pasangan juara relay 2017, Oktavianus QuaasalmyRizki Triadi Dewata, yang kali ini masing-masing akan tampil di full utlra. Sebagian lagi adalah pelari baru yang umumnya terjun di relay.
Lexi mengatakan, selama ini Lomba Lari Lintas Sumbawa selalu ditunggu para peminat. Buktinya, dalam tiga hari dibuka, langsung terdaftar 51 orang sehingga panitia langsung menutup pendaftaran karena sudah sesuai kuota. Padahal, empat tahun lalu saat pertama kali digelar full ultra di Sumbawa, hanya didapatkan delapan peserta selama beberapa bulan.
”Sebenarnya, minat para pelari yang ingin mendaftar Lomba Lari Lintas Sumbawa kali ini jauh lebih banyak. Peminat lari ultra terus meningkat, tetapi karena keterbatasan fasilitas akomodasi, kami membatasi peserta hanya 51 orang. Inilah yang harus menjadi pekerjaan rumah pemerintah daerah jika ingin sektor pariwisata lebih berkembang,” kata Lexi.
320 kilometer
Para pelari full ultra individu harus menempuh jarak 320 kilometer dengan batas waktu 72 jam. Adapun peserta relay akan bergantian menempuh jarak 320 kilometer, masing-masing 160 kilometer dibatasi maksimal 32 jam. Selama di tengah perjalanan, disediakan tujuh check point atau tempat istirahat. Setiap check point berjarak 40 kilometer. Namun, dalam jarak itu peserta dibatasi waktu tempuh maksimal 9 jam. Melewati batas itu, peserta dinyatakan gugur.
Menurut Lexi, tantangan terberat yang akan dihadapi peserta dalam lomba kali ini adalah suhu udara pada siang hari di Sumbawa yang berkisar 38-40 derajat celsius. Hal itu bisa memicu dehidrasi. Dibutuhkan kesanggupan untuk mengelola diri agar bisa mencapai finis di bawah waktu yang ditetapkan panitia. ”Ini yang membuat Lomba Lari Lintas Sumbawa itu dianggap ekstrem dan selalu membuat penasaran para peserta untuk terus mengikuti kegiatan tersebut,” ujarnya.
Para peserta sadar dengan tantangan yang mereka hadapi. Bahkan, peserta yang pernah ikut lomba tahun-tahun sebelumnya mengatakan panas ekstrem Sumbawa layaknya menghadapi sengatan dari sembilan matahari.
”Di sini, tantangan paling berat menghadapi cuaca yang begitu panas, yang rasa-rasanya mataharinya ada sembilan,” kata pelari asal Jakarta, Adlan Djohan (57), yang merupakan peserta paling senior dalam lomba kali ini. Dia sudah dua kali mengikuti lomba lari Lintas Sumbawa, yakni pada 2016 dan 2017.
Kendati akan menghadapi tantangan berat, hal itu tak menggoyahkan tekad peserta untuk mengikuti lomba tersebut. Bagi peserta, tingkat kesulitan dalam Lomba Lari Lintas Sumbawa justru menjadi ”virus” yang membuat mereka ingin ikut lagi. ”Virus” tersebut terutama menjangkiti para pelari yang gagal finis pada keikutsertaan mereka pada tahun-tahun sebelumnya.
”Saya dua kali ikut full ultra Lintas Sumbawa pada 2016 dan 2017, tetapi gagal masuk finis. Pada 2016, saya menyerah di 130 kilometer. Pada 2017, saya mundur di 145 kilometer karena blister (kepalan) di tapak kaki. Rasanya, ada yang belum tuntas. Jadi, saya ikut lagi tahun ini,” kata Djohan.
Bagi pelari yang pernah juara, mengikuti lagi lomba pada tahun 2018 karena ingin memperbaiki catatan waktu. Matheos Berhitu, misalnya. Pelari asal Ambon itu juara full ultra pada 2016 dengan catatan waktu 71 jam 17 menit dan juara full ultra pada 2017 dengan catatan waktu 69 jam 12 menit. ”Kali ini saya ingin memperbaiki rekor. Target saya ingin finis di bawah 60 jam,” ujarnya.