Yang Untung dan Buntung dari Pembangunan
Jumantara (36), petani Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, tampak galau. Tanah dan rumahnya masuk dalam rencana pembangunan akses jalan menuju bandara.
”Enam tahun lalu, saya pindah dari Desa Bantarjati ke Sukamulya. Tanah saya dulu sekarang sudah jadi bandara,” katanya, akhir Maret 2018.
Ketika tergusur dari tanahnya yang kini jadi bandara, ia mendapat penggantian Rp 147 juta untuk dua rumah di lahan seluas 560 meter persegi.
Dengan uang itu, Jumantara tak bisa mendapat lahan dengan luas yang sama di Sukamulya. Uangnya hanya cukup untuk membeli lahan 280 meter persegi. ”Sisanya tidak cukup untuk membangun rumah. Saya terpaksa utang Rp 30 juta kepada tetangga,” ujarnya lirih.
Jika sebelumnya ia bekerja sebagai petani mandiri, di Sukamulya, Jumantara jadi buruh tani, dan dibayar Rp 80.000 per hari. ”Untung lahan di sini subur. Bisa dua kali tanam padi dan sekali palawija dalam setahun. Buruh tani seperti saya bisa punya banyak pekerjaan,” katanya.
Sukamulya terletak 35 kilometer dari pusat kota Majalengka. Produksi padi di desa itu sekitar 7 ton per hektar. Desa itu juga menjadi sentra cabai merah dengan produksi rata-rata 8,7 ton per hektar.
Namun, rumah dan pekerjaan Jumantara bakal jadi sejarah. Desa Sukamulya yang luasnya 740 hektar sebentar lagi akan digunakan untuk pengembangan bandara agar mencapai target luas 1.800 hektar.
Sukamulya menjadi desa terakhir setelah Desa Bantarjati, Sukakerta, Kertajati, dan Kertasari yang dihuni ribuan keluarga tergusur pembangunan bandara. Berdasarkan data Desa Sukamulya, saat ini ada sekitar 1.000 orang bertahan di sekitar lokasi rencana pembangunan bandara.
”Tidak terbayang kalau harus pindah lagi. Tanah saya dulu dibeli Rp 50.000 per meter persegi. Sekarang tanah di luar desa mencapai Rp 6 juta untuk 14 meter persegi,” ujarnya.
Padahal, 90 persen warga setempat adalah petani. ”Nanti kalau sudah jadi bandara, saya enggak tahu akan kerja apa, tahunya cuma bertani,” ujar Jumantara, tamatan sekolah dasar.
”Masyarakat, mah, tidak menolak pembangunan bandara. Hanya, harus ada jaminan hidup lebih baik jika kami pindah dan menyerahkan lahan,” ujar Herry Susana Kalangi (70), tokoh masyarakat setempat.
Sekretaris Desa Kertajati Wawan Wirawan mengatakan, memang ada pengaruh ekonomi dari pembangunan fisik Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Warga menyediakan kamar kontrak dan warung makan bagi pekerja proyek BIJB. Akan tetapi, semuanya rentan hilang jika proyek BIJB rampung.
Lapangan kerja baru
Di sisi lain, ada yang beruntung dengan kehadiran BIJB. Setidaknya, 140 orang diterima bekerja di BIJB sebagai petugas keamanan, pengatur pergerakan pesawat, hingga pemandu penumpang.
Salah satunya Ade Fikriana (21), warga Desa Cidulang, Kecamatan Cikijing, Majalengka. Dia diterima sebagai petugas keamanan penerbangan bandara. Tugas utamanya adalah menjamin keamanan penerbangan dan keselamatan para calon penumpang di darat dan udara.
”Rasanya bangga sekali. Perekrutan pada pertengahan 2017. Yang mendaftar 7.000-an orang, diterima 46 orang,” kata lulusan SMK itu, Selasa (3/4).
Ade bersama 45 orang lainnya mengikuti pendidikan dan latihan kebandarudaraan di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug, Tangerang, Banten, selama sebulan.
Pemkab Majalengka juga mendapat berkah. Dinas Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (DPPTPM) Majalengka mencatat, hingga 2017 ada 38 perusahaan mengajukan proposal investasi.
Salah satunya perusahaan sepatu berorientasi ekspor. Kepala Bidang Pengendalian dan Pelaporan DPPTPM Entang Sukarna mengatakan, investasi pabrik sepatu itu 8 juta dollar AS dengan target serapan tenaga kerja hingga 5.000 orang. Upah minimum Majalengka relatif rendah Rp 1,6 juta per bulan jadi pemikat. Jauh lebih murah dibandingkan Kota Bekasi yang Rp 3,9 juta per bulan.
Menurut Entang, lapangan kerja diprediksi menyerap 154.989 pekerja pada pembangunan tahap pertama bandara. Kemudian, 399.680 pekerja pada tahap pengembangan.
”Teman saya banyak dari Kertajati. Kami sudah tiga bulan kerja,” ujar Fikri Hadi Brata (19), lulusan SMKN 1 Maja yang jadi petugas keamanan bandara.
Pengusaha lokal bisa memanfaatkan gairah kehadiran BIJB. Direktur Utama PT BIJB Virda Dimas Ekaputra mengatakan, BIJB menyediakan lahan untuk pembangunan hotel berbintang 2, 3, dan 4.
Hotel bintang 3 akan dibangun oleh BUMD Jabar. Adapun dua hotel lain ditawarkan kepada investor dengan
skema bangun-guna-serah dengan jangka waktu maksimal 30 tahun.
Saat ini, kurang tiga bulan diresmikan Presiden Joko Widodo, baru ada satu hotel berbintang di Majalengka, yakni Hotel Fitra, yang berjarak sekitar 30 km dari BIJB. Hotel bintang 3 yang diresmikan pada Oktober 2017 itu punya 113 kamar. Di sekitar Hotel Fitra hanya ada hotel kelas melati. Kamis, dua pekan lalu, hotel dipenuhi pengunjung. Rombongan awak dan pengisi acara musik dangdut artis Ibu Kota memadati halaman hotel.
Sales Executive Hotel Fitra. Criesta Oktarina Kurniawan Mas’an, optimistis tempat kerjanya jadi pilihan utama hingga saat BIJB beroperasi. Pesaing tidak mudah dan cepat bisa hadir membangun hotel di sana.
Virda menyatakan, BIJB bakal menjadi bandara pertama di Indonesia yang terintegrasi dengan aerocity seluas 3.480 hektar. Ini merupakan konsep pembangunan abad 21. Di sekitar bandara akan ada perumahan, pusat teknologi, hingga pusat logistik. Bandara akan terhubung dengan jalur kereta api. Untuk itu, disediakan lahan 2 hektar di depan terminal.