Mantan Pasien Merasakaan Manfaat Pengobatan Terawan
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah mantan pasien yang pernah menjalani metode pengobatan digital substracion angiography atau DSA merasakan manfaat dari metode ini. Metode yang dicetuskan dokter Terawan Agus Putranto ini menuai polemik karena dianggap melangggar kode etik kedokteran.
Para mantan pasien yang pernah ditolong oleh dokter Terawan menyayangkan keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Andri Teja, seorang pengusaha, telah menjalani lima kali metode DSA untuk pemulihan penyakit stroke yang dideritanya.
”Awalnya saya terserang penyakit stroke pada Agustus 2015. Saya dirujuk ke salah satu rumah sakit, tetapi tidak ditangani dengan baik oleh dokter. Selama tiga hari, saya hanya diinfus,” ujarnya di Jakarta, Kamis (5/4/2018).
Karena takut terlambat ditangani, akhirnya Andri memutuskan untuk pindah ke RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Ketika itu, ia segera ditangani dokter Terawan.
”Awalnya leukosit saya tinggi sehingga dokter Terawan menyarankan untuk menunda proses pengobatan. Setelah leukosit saya turun, saya diperiksa dengan magnetic resonance imaging (MRI) dan menjalani metode DSA,” ujarnya.
Menurut Andri, metode DSA yang diterapkan Terawan mampu menunda kerusakaan saraf-saraf yang masih baik. Sistemnya hanya membuka sumbatan di pembuluh darah dengan DSA.
”Saraf-saraf yang rusak memang sudah tidak bisa diperbaiki, tetapi kerusakan dan penyebaran saraf rusak bisa dicegah dengan proses ini,” ujarnya.
Andri mengatakan, ia menjalani lima kali proses DSA bukan karena kegagalan metode, melainkan akibat pola hidupnya yang tidak sehat.
”Setelah menjalani DSA, saya masih merokok sehingga kembali terserang stroke. Mungkin, saya adalah pasien yang paling sering menjalani metode DSA ini,” ujarnya.
Untuk sekali DSA, pasien dikenakan biaya Rp 20 juta hingga Rp 40 juta tergantung fasilitas yang diinginkan. Menurut Andri, biaya ini sudah meliputi cek MRI dan proses pengobatan DSA.
”Kalau rawat inap, biasanya bisa sampai Rp 40 juta. Namun, kalau hanya DSA, hanya Rp 20 juta,” ujarnya.
Terkait surat yang dikeluarkan oleh MKEK, Andri sangat menyayangkan hal tersebut. Menurut dia, pasien yang menjalani metode ini akan merasa bingung, apakah praktik ini sudah dihentikan atau masih berjalan.
”Saya mempertanyakan keputusan MKEK. Ini polemik yang sulit karena memang metode DSA belum teruji secara ilmiah. Namun, saya merasakan sendiri manfaat dari metode ini,” katanya.
Manfaat yang Andri rasakan adalah ketika terkena stroke ia sulit bicara karena terjadi penyumbatan di pembuluh darahnya.
”Setelah menjalaninya, saya bisa bicara dengan lancar. Kemudian, setelah menjalani metode DSA, saya tidak diberikan obat tambahan oleh dokter. Hanya perlu perbanyak minum air putih agar cairan kontras yang masuk ke tubuh bisa keluar,” katanya.
Marsda TNI (Purn) Johnny Fritz Pandapotan, seorang mantan pasien Terawan, menjelaskan, ia telah dua kali menjalani metode DSA ini. Ia pertama kali menjalani pengobatan pada tahun 2012.
”Awalnya saya mengalami pengapuran tulang leher, kemudian saya menjalani DSA dan merasa lebih baik setelah itu,” ujarnya.
Sebelum Johnny pensiun dari TNI, Terawan menyarankan supaya Johnny kembali cek MRI. Dari hasil cek, Jonny didiagnosis terkena gejala stroke ringan.
”Akhirnya, pada 2015, saya kembali menjalani metode DSA,” katanya.
Secara terpisah, Ketua MKEK PB IDI Prijo Sidipratomo menyampaikan, putusan terhadap dokter Terawan sudah dipertimbangkan dengan tujuan keselamatan pasien. Tata laksana yang dilakukan berdasarkan sumpah dokter dan kode etik kedokteran Indonesia (Kodeki).
Ia menyatakan, jika putusan majelis tersebut murni masalah etika profesi kedokteran. Tidak ada pertimbangan akademik dan prosedur standar operasional tindakan kedokteran, seperti metode pengobatan yang dilakukan Terawan.
”Diharapkan semua pihak bisa menghormati dan menghargai apa yang menjadi putusan MKEK. Jika yang bersangkutan (Terawan) masih merasa anggota IDI, mohon ikuti aturan yang berlaku. Sementara bagi pihak yang tidak paham persoalan profesi dan etika kedokteran, saya harap tidak memperkeruh keadaan. Ini masalah profesi,” katanya.
Sebelumnya, (Rabu, 4/4), anggota Komisi I DPR, Dave Laksono, menjelaskan, sebaiknya MKEK bisa mencabut putusan ini.
”Mengapa MKEK atau IDI tidak memproses dokter-dokter yang melakukan tindakan malpratik saja. Sementara metode yang diterapkan Terawan jelas-jelas bermanfaat,” ujarnya.
Dave pernah menjalani metode cuci otak yang dicetuskan oleh Terawan. ”Awalnya saya merasakan migrain serta pusing yang cukup sering. Kemudian, saya coba mengikuti pengobatan ini. Proses awalnya, otak saya di-scan terlebih dahulu,” katanya.
Dave menuturkan, setelah di-scan, akan dikonsultasikan kepada tim medis, apakah proses DSA diperlukan atau tidak.
”Akhirnya saya menjalani metode cuci otak ini. Prosesnya tidak lama, hanya sekitar setengah jam. Saya dipasangi kateter dari kaki, kemudian disuntikkan obat,” ujarnya.
Setelah itu, penyumbatan di kepala Dave terlihat. Kemudian penyumbatan ini dibuka dan didorong sehingga plak lemak di otak hilang. ”Efeknya, saya menjadi jarang pusing dan penglihatan saya menjadi lebih jelas,” katanya.