Mantan Terpidana Dilarang Jadi Caleg
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum serius mengantisipasi praktik korupsi pada Pemilu 2019. Dalam Rancangan Peraturan KPU, mantan terpidana korupsi dilarang menjadi peserta pemilu atau calon legislatif.
Selain itu, caleg harus menyertakan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) sejak masa pendaftaran.
KPU, Kamis (5/4/2018), melakukan uji publik pada rancangan PKPU yang mengatur pencalonan anggota DPR, DPRD, dan DPR, serta Presiden dan Wakil Presiden. Uji publik dihadiri perwakilan partai politik, penyelenggara pemilu, dan masyarakat sipil.
Perubahan besar terjadi pada peraturan caleg. Pada Pemilu 2019, peserta caleg tidak boleh diikuti mantan terpidana korupsi. Selain itu, peserta juga harus menyertakan LHKPN pada masa pendaftaran sebelum terpilih menjadi penyelenggara negara.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, PKPU itu dibuat untuk memastikan pemilu berintegritas. Penyesuaian peraturan sebagai respons atas maraknya penangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi pada calon kepala daerah Pilkada 2018.
”Yang perlu dilihat adalah bagaimana semangat KPU untuk membaca kegelisahan yang ada di masyarakat terhadap korupsi. Dengan perubahan itu, kami ingin membuat kandidat dalam pemilu memiliki integritas. Juga merupakan bagian dari upaya pencegahan korupsi,” kata Arief seusai uji publik di Gedung KPU.
Anggota KPU, Ilham Saputra, mengatakan, dua peraturan baru itu memastikan masyarakat mendapatkan pilihan caleg yang bersih. Hal itu dapat dipastikan melalui syarat rekam jejak yang tidak pernah tersandung kasus korupsi dan tidak ada yang mencurigakan dalam laporan kekayaannya.
Larang mantan koruptor
Pelarangan mantan terpidana korupsi untuk menjadi caleg tercantum dalam rancangan PKPU Pasal 8 Huruf j. Disebutkan, mantan terpidana boleh mencalonkan diri asalkan membuka status itu kepada publik, kecuali mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.
Menurut Arief, pengecualian itu sudah terdapat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Bedanya, pada UU tersebut hanya bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak yang menjadi pengecualian.
”Dua kejahatan itu tidak berlaku, sama halnya dengan mantan terpidana korupsi. Karena korupsi itu kejahatan luar biasa dan itu perlu ditambahkan. Setelah didiskusikan, kasus korupsi penting untuk dibentengi,” ujar Arief.
Ilham mengatakan, mantan koruptor tentunya bermasalah karena telah merugikan hak-hak masyarakat. Di lain sisi, banyak koruptor yang sudah bebas justru mengulangi tindak pidana yang sama. Untuk itu, peraturan ini belum tentu melanggar hak memilih dan dipilih.
Hadir pada uji publik, Ketua Dewan Perwakilan Partai Hanura Sutrisno Iwantono, berpendapat, kejahatan korupsi merupakan pidana khusus untuk itu perlakuannya harus sama dengan kejahatan seksual terhadap anak dan bandar narkoba.
Di sisi lain, kata Sutrisno, tidak ada yang bisa menjamin mantan koruptor tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.
”Bukan karena sudah dihukum, maka sudah insaf dan tidak melakukan lagi. Bukan seperti itu. Untuk itu, kami sepakat dengan larangan mantan napi koruptor jadi caleg,” ujarnya.
Pendiri Constitutional and Electoral Reform Center (Correct), Hadar Nafis Gumay, menilai, keputsan KPU sudah tepat. Kejahatan atau pidana merupakan hal serius yang merusak bangsa.
”Terobosan peraturan ini sangat diperlukan. Ini bukan isu pemilu saja, bukan isu KPU saja, bukan isu caleg saja, ini adalah isu serius bangsa kita,” tuturnya.
Mantan Komisioner KPU itu menambahkan, PKPU tidak akan mendiskrimnasi siapa pun. Mantan koruptor masih boleh menjadi pemimpin, tetapi tidak untuk mewakili rakyat. Kesempatan itu dinilai lebih baik dibandingkan terpidana koruptor di negara lain yang mendapatkan hukuman tembak mati.
Sementara itu, anggota Badan Pengawas Pemilu, Fritz Edward Siregar, kurang sependapat dengan larangan tersebut. Menurut dia, seharusnya mantan terpidana korupsi bisa mengikuti pileg.
Pada Pilkada 2018, mantan terpidana korupsi boleh menjadi peserta. Artinya, pileg juga harus sejalan dan memperbolehkannya. Hal itu dinilai penting untuk menjaga kesetaraan hukum.
Fritz mengatakan, tidak semua terpidana kehilangan hak untuk dipilih. Untuk itu, mantan napi yang tidak kehilangan hak itu berhak untuk menjadi peserta pemilu karena masih memiliki hak konstitusional.
”Kami mendukung setiap orang yang hak pilihnya tidak dicabut, ya silakan saja menjadi calon. Kan putusan pengadilan tidak mencabut haknya. Jadi, saya kira boleh-boleh saja,” kata Fritz.
Perwakilan dari PDI-P, Eko Sigit Rukminto, mengatakan, mantan terpidana sudah menebus perbuatannya dengan vonis hukuman. Untuk itu, tidak boleh lagi dihakimi dengan melarang mencalonkan diri sebagai caleg.
Politisi PDI-P itu berpatok pada UU No 7/2017 tentang Pemilu, yang memperbolehkan mantan napi untuk mencalonkan diri selama jujur pada masyarakat terkait statusnya.
”Kita begitu fasis menerabas ini. Semangat kita tentu ingin memperbaiki republik tercinta ini. Kita harus menghargai hukum yang ada karena memang seperti itu,” kata Eko.
Serahkan laporan kekayaan
Selain itu, permasalahan LHKPN juga menuai pro dan kontra pada uji publik itu. Ketua DPP Bidang Hukum dan Advokasi Partai Perindo Christophorus Taufik mengatakan, LHKPN tidak diperlukan karena peserta baru calon belum menjadi penyelenggara negara.
”Ini kan baru calon. Iya, kalau kepilih, kalau tidak bagaimana? Biasanya ketika sudah terpilih baru wajib dilaporkan ke KPK. Mestinya peraturan seperti ini bisa kita eliminasi,” kata Christophorus.
Sementara itu, Fritz setuju dengan syarat LHKPN. Menurut dia, peraturan itu sudah diterapkan pada calon kepala daerah dan calon presiden. Untuk itu, seharusnya hal sama diterapkan ke calon legislatif. ”Kalau dia tidak terpilih, ya tinggal dihapus nanti,” katanya.
Syarat tersebut, ujar Fritz, dapat mewujudkan transparansi pejabat. Lewat itu, rekam jejak caleg dapat terlihat dengan jelas. Hal itu dinilai dapat menjadi poin lebih bagi caleg yang ingin maju.
Fritz menambahkan, penyerahan pada pendaftaran merupakan masa percobaan untuk kesiapan para calon. Harapannya, setelah terpilih, caleg tersebut dapat dengan rutin menyerahkan LHKPN.
Dalam data KPK, anggota legislatif yang menyerahkan LHKPN tidak mencapai 10 persen.
Dalam data KPK, anggota legislatif yang menyerahkan LHKPN tidak mencapai 10 persen. Biro Hukum KPK Wulan mengatakan, syarat tersebut dalam mempermudah pencegahan karena menjamin KPK memegang LHKPN caleg.
Hasil diskusi pada uji publik ini akan menjadi pertimbangan untuk merampungkan rancangan PKPU. Pada Senin (9/4) mendatang, KPU akan membawa rancangan itu untuk rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR.